TintaSiyasi.id -- Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa, Dr. Ahmad Sastra MM, mengungkapkan kapitalisme modern membuka ruang besar oligarki mengakses sumber daya alam Indonesia.
"Kapitalisme modern dalam bentuk regulasi ekstraktif seperti Omnibus Law dan UU Minerba telah membuka ruang lebih besar bagi pelaku modal besar dan oligarki untuk mengakses sumber daya alam Indonesia," ungkapnya dikutip TintaSiyasi.id, Sabtu (20/12/2025).
Ia mengatakan, struktur kebijakan Indonesia, termasuk liberalisasi perizinan melalui Omnibus Law dan pelonggaran aturan pertambangan melalui UU Minerba mempermudah akses pelaku modal besar terhadap sumber daya alam tanpa kontrol yang kuat terhadap dampak lingkungan.
"Kebijakan ini memperkuat dominasi oligarki dan menempatkan logika akumulasi modal di atas perlindungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal," terangnya.
Kemudian, Omnibus Law dibuat dengan tujuan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan menyederhanakan regulasi.
Ia memaparkan, sejumlah studi akademik menunjukkan bahwa undang-undang ini secara signifikan mengubah rezim perlindungan lingkungan:
Pertama, pengurangan kewenangan pemerintah daerah. "Penelitian menunjukkan Omnibus Law mengurangi otoritas pemerintah daerah dalam pengelolaan izin lingkungan dan pengawasan, sehingga respon terhadap persoalan lokal menjadi kurang efektif," jelasnya.
Kedua, penghapusan dan penyederhanaan perizinan lingkungan. "Proses AMDAL dan perizinan lingkungan yang semula lebih komprehensif kini disederhanakan menjadi “persetujuan lingkungan”, yang dikhawatirkan mengurangi kewajiban kajian dampak lingkungan," terangnya.
Ketiga, kontradiksi dengan hak lingkungan yang sehat. "Studi yuridis menilai penyederhanaan ini bertentangan dengan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945," ungkapnya.
Selain itu, ia menambahkan, kritik akademik menunjukkan bahwa penghapusan prinsip strict liability (pertanggungjawaban mutlak) bagi korporasi dalam kasus kerusakan lingkungan membuat penegakan hukum terhadap pelaku usaha lebih lemah, sehingga perusahaan umumnya tidak dituntut secara efektif meskipun terlibat dalam deforestasi besar.
"Penelitian lain mengkaji bahwa pelemahan instrumen perlindungan lingkungan dalam Omnibus Law dan revisi UU Minerba berpotensi menghambat pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Hal ini karena hukum lingkungan yang dilonggarkan memungkinkan investasi tinggi karbon dan intensifikasi kegiatan ekstraktif," terangnya.
Ia mengutip, UU No. 3/2020 tentang Minerba bertujuan memperkuat investasi dan kontribusi sektor tambang terhadap ekonomi nasional.
Kemudian, ia menjelaskan analisis kritis akademik menunjukkan bahwa:
Pertama, fokus ekonomi yang mengesampingkan lingkungan. "Kritik terhadap UU Minerba menunjukkan bahwa undang-undang ini lebih menekankan orientasi pemanfaatan sumber daya daripada perlindungan ekologis, sehingga konten pro-ekologi cenderung minim," terangnya.
Kedua, sentralisasi perizinan. "Pemberian kewenangan lebih besar pada pemerintah pusat dalam perizinan tambang dapat mengurangi pertimbangan spesifik kondisi lingkungan regional," ungkapnya.
Ketiga, kelemahan penegakan dan korupsi. "Studi normatif menemukan bahwa berbagai ketentuan hukum yang kompleks serta potensi korupsi di sektor perizinan memperburuk kondisi perlindungan lingkungan di sektor pertambangan," imbuhnya.
Keempat, kritik lain juga mencatat bahwa mekanisme pengawasan pasca-tambang (reklamasi, revegetasi) lemah sehingga kerusakan lingkungan jangka panjang sering terjadi tanpa kompensasi efektif.
Oleh karenanya, Pulau Sumatera telah mengalami deforestasi yang parah akibat perluasan tambang batubara, serta konflik ekologis lainnya. Aktivitas pertambangan skala besar tidak hanya menghancurkan habitat hutan dan biodiversitas, tetapi juga mengubah tata guna lahan sehingga meningkatkan risiko banjir dan longsor di musim hujan.
"Beberapa bencana baru-baru ini dikaitkan dengan perubahan hidrologi akibat pengurangan tutupan vegetasi dan lansekap yang rusak akibat pertambangan dan pembangunan infrastruktur ekstraktif," cecarnya.
Walaupun data ilmiah khusus mengenai hubungan kausal langsung antara Omnibus Law/UU Minerba dengan banjir di Sumatera belum sepenuhnya dirilis dalam jurnal ilmiah, banyak laporan dan kajian lokal mencatat kekhawatiran terhadap perizinan yang longgar dan aktivitas ekstraktif yang tidak terkendali sebagai faktor pendorong kerusakan ekologis di pulau ini.
"Dari perspektif akademik, kebijakan yang mempermudah perizinan dan melemahkan kontrol lingkungan dapat dipahami sebagai bagian dari logika kapitalisme neoliberal yang menempatkan akumulasi modal sebagai tujuan utama," jelasnya.
"Dengan struktur hukum yang lebih “ramah investasi,” pelaku usaha besar atau oligarki diberikan ruang yang luas untuk mengekstraksi sumber daya tanpa cukup memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial. Kebijakan semacam ini kerap disebut sebagai legalisasi keserakahan kapitalistik karena secara formal mempermudah akumulasi modal oleh segelintir entitas ekonomi, dengan biaya ekologis dan sosial yang besar," tambahnya.
Ia berpendapat bahwa penataan ulang hukum dalam Omnibus Law dan UU Minerba cenderung mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.
"Hasilnya, negara dan pasar seolah memberi “izin” kepada kapital besar untuk mengekstraksi sumber daya secara agresif, memperbesar ketimpangan alamiah antara kepentingan modal dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat," pungkasnya.[] Alfia