Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Keserakahan Kapitalis Memicu Polusi Mikroplastik

Rabu, 05 November 2025 | 19:54 WIB Last Updated 2025-11-05T12:54:30Z

Tintasiyasi.id.com -- Pada 17 Oktober 2025, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mempublikasikan hasil riset yang mencengangkan: hujan di Jakarta mengandung rata-rata 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari. Sumbernya? Debu ban kendaraan, serat sintetis pakaian, dan residu pembakaran plastik yang beterbangan di udara (en.antaranews.com, 17/10/2025).

Fenomena ini bukan sekadar “hujan kotor,” tapi bukti nyata bahwa udara yang kita hirup dan air yang kita minum sudah terkontaminasi kerakusan sistem kapitalis yang menuhankan laba.

Dilansir dari ipb.ac.id menuliskan bahwa riset dari IPB University juga menemukan bahwa mikroplastik kini mengkontaminasi hampir semua perairan Indonesia, dari laut Jawa hingga Danau Toba. 

Artinya, polusi ini sudah masuk ke rantai makanan, tubuh manusia, bahkan udara yang kita hirup.

Kapitalisme: Ideologi yang Menjual Alam

Dalam sistem kapitalis, nilai tertinggi bukan ridha Allah, melainkan profit tanpa batas.
Kapitalisme memandang alam bukan sebagai amanah, tapi komoditas bahan mentah yang harus terus dieksploitasi.

Gunung ditambang sampai menjadi lembah. Laut disedot untuk tambang pasir dan minyak. Hutan ditebang sampai botak dan dibakar demi sawit dan properti. Yang penting, cuan mengalir.

Padahal Allah telah berfirman dengan tegas dalam Al-Qur'an surah Al-A’raf ayat 56,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Namun, dalam sistem kapitalis, kata “baik” hanya berlaku selama ada keuntungan di neraca laba rugi.
Lingkungan rusak, rakyat sakit, anak-anak menghirup udara beracun itu semua hanyalah “biaya eksternal” dalam laporan ekonomi.

Polusi: Anak Kandung Kapitalisme

Bumi kini seperti pasien di ruang ICU. Setiap detik, ada “infus karbon” dari cerobong pabrik dan knalpot kendaraan. Mengapa? Karena kapitalisme menolak berhenti memproduksi barang yang bahkan tidak kita butuhkan.

Kapitalisme menciptakan culture of consumption, yaitu gaya hidup yang terus mendorong manusia membeli, memakai, lalu membuang.

Dampaknya? 400 juta ton plastik diproduksi setiap tahun, dan hanya 9% yang didaur ulang. Sisanya mencemari laut, sungai, udara, hingga hujan yang jatuh di kepala kita. Riset internasional bahkan menunjukkan partikel mikroplastik ditemukan dalam plasenta bayi yang baru lahir (Environmental Science & Technology, 2023).

Artinya, bahkan generasi yang belum melihat dunia sudah “mewarisi” polusi dari sistem yang serakah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fil Islam menulis,

“Kapitalisme mengubah kepemilikan umum menjadi milik individu dan perusahaan, padahal itu sumber kehidupan manusia. Akibatnya, kerusakan meluas dan keseimbangan alam pun hancur.”

Begitulah, bumi rusak bukan karena alamnya gagal, tapi karena sistemnya kufur. Kapitalisme membuat manusia menjadi serigala bagi alam. Atas nama “pembangunan,” hutan tropis dibabat.

Atas nama “investasi,” sungai diracuni limbah tambang.
Atas nama “lapangan kerja,” langit Jakarta disesaki polutan kendaraan dan ketika bumi merintih lewat banjir, longsor, dan badai, mereka menyalahkan “perubahan iklim” seolah itu makhluk misterius, bukan hasil kebijakan manusia sendiri.

Allah sudah berfirman dalam Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 41,

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Sistem Islam Menjaga Keseimbangan Alam

Islam datang bukan sekadar memberi nasihat, tapi membawa sistem yang menyeimbangkan hubungan manusia dan alam.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah sang pengelola bumi, bukan penghisapnya.

Ada tiga prinsip utama Islam dalam menjaga lingkungan,

Pertama, kepemilikan umum dilindungi. Rasulullah Saw bersabda,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).”
(HR. Abu Dawud, Ahmad)

Maka hutan, sungai, dan sumber energi tak boleh dimiliki individu atau korporasi. Negara hanya mengelola untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, larangan israf (berlebih-lebihan). Allah Swt berfirman,

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’raf: 31)

Islam membentuk budaya qana’ah dan tanggung jawab, bukan hedonisme konsumtif seperti yang dihasilkan kapitalisme.

Ketiga, pertanggungjawaban akhirat. Rasulullah Saw bersabda,

“Dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kamu khalifah di dalamnya untuk melihat bagaimana kamu berbuat.”
(HR. Muslim)

Maka setiap perusakan alam bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi dosa yang akan dihisab.

Fakta Sejarah: Pembangunan Ramah Lingkungan di Era Khilafah

Islam bukan teori kosong. Sejarah membuktikannya. Pada masa Khilafah Abbasiyah, kota-kota seperti Baghdad, Kufa, dan Cordoba dibangun dengan tata ruang yang memperhatikan keseimbangan ekosistem. Saluran air bersih, taman publik, pengelolaan limbah, hingga kanal irigasi ditata tanpa merusak alam.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kebijakan kehutanan diterapkan dengan ketat. Setiap penebangan pohon harus diganti dengan penanaman baru. Bahkan, pada era Harun al-Rasyid, sungai Tigris dan Eufrat dijaga kebersihannya dengan pengawasan ketat agar tidak tercemar limbah manusia.

Khilafah tidak mengenal istilah “proyek tambang untuk investasi asing.”
Tidak ada korporasi yang berhak memperjualbelikan air atau udara.
Sumber daya alam adalah milik umat dikelola dengan amanah, diawasi oleh negara, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Bandingkan dengan zaman sekarang, di mana satu perusahaan bisa memiliki lahan seluas provinsi, sementara rakyat kehilangan rumah akibat banjir dan longsor.

Solusi Islam

Syaikh Abu Rustah menulis dalam Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah,

“Ketika manusia mengatur dunia tanpa wahyu, maka kerusakan menjadi keniscayaan. Tidak ada keseimbangan kecuali dengan syariat Allah.”

Maka, solusi dari polusi mikroplastik, pemanasan global, atau rusaknya ekosistem bukan sekadar reduce, reuse, recycle.
Itu hanya perban di luka dalam.
Yang kita butuhkan adalah operasi sistemik, yaitu mengganti ideologi rusak dengan ideologi Islam.

Dalam sistem khilafah
Alam tidak bisa dijadikan komoditas. Produksi diatur berdasarkan kebutuhan, bukan nafsu pasar. Kebijakan lingkungan berdasar hukum syariat, bukan tekanan korporasi.

Dengan begitu, bumi kembali tenang, hujan kembali suci, dan langit kembali menjadi rahmat bukan ancaman. Allah telah berjanji,

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...”
(QS. Al-A’raf: 96)

Selama bumi ini masih dipimpin sistem kapitalis, maka hujan akan terus membawa racun.
Namun ketika hukum Allah ditegakkan dalam naungan Khilafah Islamiah, maka hujan akan kembali membawa berkah, bukan bencana.[]

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update