Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bunuh Diri Anak Meningkat: Bukti Sistem Pendidikan Sekuler Gagal Mendidik Generasi

Rabu, 05 November 2025 | 20:03 WIB Last Updated 2025-11-05T13:03:31Z

Tintasiyasi.id.com -- Beberapa media ramai memberitakan kasus tragis yang bikin dada sesak. Dikutip dari kompas.id (28/10/2025), dalam sepekan terakhir dua anak ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat.

Kasus serupa juga terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat. Dua siswa SMP ditemukan bunuh diri di sekolah, bahkan salah satunya di ruang OSIS. Polisi menyatakan tidak ada indikasi bullying. 

Di sisi lain, dikutip dari kompas.id (30/10/2025) Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan data mencengangkan, dari 20 juta anak yang diperiksa dalam program kesehatan jiwa gratis, lebih dari dua juta mengalami gangguan mental.

Astaghfirullah, ini bukan lagi sekadar “alarm darurat”, tapi sirene panjang tanda sistem sudah benar-benar rusak. Pertanyaannya, kenapa bisa sampai begini?
Apakah generasi kita memang selemah itu, atau sistemnya yang bikin mereka rapuh?

Kalau mau jujur, ini bukan soal bullying semata. Banyak yang bunuh diri bukan karena dihina, tapi karena kehilangan makna hidup. Anak-anak zaman sekarang dibesarkan dalam sistem sekuler yang mengajarkan bahwa nilai hidup ditentukan oleh nilai rapor, bukan nilai iman. Selama ranking bagus, dianggap sukses meski hatinya kosong.

Pendidikan hanya mencetak kepala pintar, bukan jiwa yang kuat. Agama diajarkan sebatas teori, bukan pondasi hidup. Padahal Rasulullah Saw bersabda,

“Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hati anak-anak kita sedang rusak bukan karena mereka jahat, tapi karena sistemnya gagal memberi arah. Barat menetapkan usia dewasa 18 tahun. Jadi, walaupun sudah balig dan punya tanggung jawab syariat, anak-anak kita masih dianggap “belum siap”. 

Akhirnya mereka tumbuh dalam kebingungan identitas, secara biologis sudah siap, tapi secara sosial dan spiritual dibiarkan gamang. 

Islam justru sebaliknya, begitu anak balig, ia diarahkan menuju aqil, yaitu kedewasaan berpikir berdasarkan akidah. Itulah kenapa dalam Islam, pendidikan anak sebelum balig harus fokus mematangkan pola pikir dan pola sikap Islamnya.

Sekulerisme gagal melakukan itu. Ia hanya fokus pada kompetensi akademik, sementara sisi ruhiyah dibiarkan kering. Akibatnya, begitu anak menghadapi masalah entah tekanan ekonomi, perceraian orang tua, atau kegagalan sosial, maka mereka tak punya pegangan. 

Ketika iman tidak kuat, masalah kecil terasa seperti akhir dunia. Maka terjadilah tragedi, seperti gantung diri, lompat dari gedung, atau overdosis obat penenang.

Jangan lupa, faktor eksternal juga memperparah. Media sosial memamerkan standar bahagia palsu, sekaligus membuka ruang komunitas “sharing bunuh diri”. Di sinilah kapitalisme memainkan peran jahatnya. Semua yang seharusnya diatur syariat malah dijadikan konten.

Ada remaja curhat ingin mati, bukannya ditolong malah dapat “like” ribuan. Parahnya, negara cuma sibuk buat webinar kesehatan mental tapi tidak menyentuh akar masalah.

Padahal Islam sudah menyediakan solusi yang sempurna:

Pertama, Islam membangun sistem pendidikan dengan akidah sebagai asas. Setiap pelajaran bahkan matematika dan sains dihubungkan dengan iman kepada Allah. 

Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tapi membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah). Anak-anak diajari mengenal siapa dirinya, untuk apa dia hidup, dan kepada siapa dia akan kembali.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56,

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Artinya, sejak kecil anak harus paham bahwa hidup ini bukan untuk mengejar nilai, uang, atau popularitas, tapi untuk meraih ridha Allah. Kalau pondasinya ini yang dibangun, jangankan nilai jelek, ditinggal teman pun dia tidak akan kehilangan arah. Karena dia tahu bahwa yang paling penting bukan how people see me, tapi how Allah values me.

Sistem pendidikan Islam juga tidak akan membiarkan anak tumbuh dalam tekanan duniawi. Khilafah bahkan menata kurikulumnya dengan dua pilar utama, yaitu penguatan kepribadian Islami dan penguasaan ilmu kehidupan. 

Anak bukan cuma paham rumus, tapi juga punya kekuatan akidah yang membuatnya tangguh menghadapi ujian hidup. Inilah yang dulu melahirkan generasi luar biasa seperti Muhammad al-Fatih, yang di usia 21 tahun sudah menaklukkan Konstantinopel. Mereka bukan generasi “fragile”, tapi generasi strong with iman.

Sementara sistem sekarang? Setiap kali ada anak bunuh diri, mereka sibuk bilang “perlu psikolog tambahan di sekolah”. Ya boleh, tapi itu cuma tambal sulam. Yang harus diganti bukan guru BK-nya, tapi paradigmanya. 

Islam memandang masalah ini dari akarnya, selama manusia jauh dari Allah, gangguan jiwa akan terus meningkat. Karena hati yang kosong dari iman tak akan pernah tenang, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Kedua, negara khilafah menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, seperti sandang, pangan, papan. Sehingga orang tua tidak stres karena ekonomi. Hubungan keluarga harmonis karena hukum Islam menjaga peran ayah, ibu, dan anak secara proporsional. 

Tidak ada “broken home” karena perceraian sepele. Dan yang paling penting adalah arah hidup jelas. Semua diarahkan menuju ketundukan pada Allah.

Oleh karena itu, solusi terbaik bukan deteksi dini versi KPAI, tapi penerapan sistem Islam secara kaffah. Negara harus kembali menanamkan akidah sebagai pondasi pendidikan, menegakkan sistem sosial dan ekonomi yang adil, serta membangun lingkungan yang mendekatkan manusia kepada Allah, bukan menjauhkan.

Karena jujur saja, selama anak-anak kita dididik dengan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, jangan heran kalau mereka terus kehilangan arah dan kalau arah hidupnya sudah hilang, maka hidup pun kehilangan makna.[]

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update