Tintasiyasi.id.com -- Lebih dari dua ribu jiwa dilaporkan tewas dalam pembantaian massal di kota Al-Fashir, Darfur, Sudan. Tragedi ini diungkap dalam laporan muslimahnews.net (3/11/2025) berjudul “Di Balik Pembantaian Dua Ribu Orang di Darfur, Sudan, Ada Amerika!”
Artikel itu mengutip keterangan juru bicara kelompok dakwah ideologis internasional wilayah Sudan yang menegaskan adanya jejak tangan Amerika di balik kekejaman Rapid Support Forces (RSF).
Dunia kembali menyaksikan darah Muslim tumpah di tanahnya sendiri, sementara para penjaga HAM internasional diam membisu seperti biasa.
Darah yang tumpah di Darfur bukan sekadar tragedi lokal. Ia adalah noda yang menampar wajah kemanusiaan global. Kota El-Fashir kini bukan lagi tempat hidup, tapi museum kehancuran.
Rumah-rumah dibakar, perempuan dinodai, anak-anak dibunuh tanpa ampun. Mereka yang selamat hanya menatap langit dengan doa yang tak kunjung dijawab dunia. Dunia sibuk rapat, media sibuk mencari angle, dan negara-negara besar sibuk menghitung untung-rugi politiknya.
“Dan janganlah kamu mengira Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari di mana mata mereka terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42)
Tragedi Darfur adalah cermin dunia yang telah kehilangan nurani karena menuhankan materi. Di balik pembantaian, ada aroma geopolitik dan ekonomi yang busuk. AS dan sekutunya telah lama mengincar wilayah Sudan bukan karena kasihan pada rakyatnya, tetapi karena kekayaan mineral dan posisinya yang strategis di Afrika Timur, dekat Laut Merah.
Maka, perang dipelihara, konflik disuburkan, dan milisi bersenjata dibiarkan membantai asal kepentingan kapital tak terganggu.
Kapitalisme adalah sistem yang hidup dari darah manusia. Ia bernafas dari konflik. Saat bom meledak, pabrik senjata menari. Saat Darfur terbakar, saham perusahaan militer di Wall Street melambung. Kapitalisme tak mengenal belas kasihan, hanya mengenal profit.
Seperti yang ditegaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizhamul Islam,
“Sistem kapitalis menjadikan manfaat sebagai standar, hingga kehormatan manusia ditukar dengan keuntungan materi.”
Dan benar saja, di bawah sistem yang menuhankan manfaat, kemanusiaan mati. Pembantaian menjadi statistik. Anak-anak yatim menjadi angka di laporan PBB. Dunia seolah netral, padahal netralitas dalam kezaliman adalah bentuk kejahatan baru.
Lembaga internasional seperti PBB, Uni Afrika, bahkan para penguasa negeri-negeri Muslim hanya diam. Mereka bersembunyi di balik istilah “proses diplomatik” dan “kedaulatan negara” padahal hakikatnya pengecut politik yang tak berani melawan tirani global.
Syaikh Abu Rustah menulis,
“Selama dunia dipimpin oleh sistem kufur, maka darah kaum Muslim tidak akan aman.”
Inilah wajah dunia sekuler. Mereka berteriak HAM tapi menutup mata ketika peluru mengenai dada Muslim. Mereka berkoar tentang perdamaian tapi hidup dari perang. Mereka mengutuk genosida tapi mendanai penjajah. Ketika Gaza dibombardir, mereka bilang “Isra3l berhak membela diri.” Ketika Darfur dibantai, mereka bilang “konflik internal Sudan.” Dunia telah lumpuh moral di bawah bayang kapitalisme.
Padahal Islam tak pernah mengajarkan netralitas terhadap kezaliman. Rasulullah Saw bersabda,
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)
Mengubah kemungkaran adalah kewajiban politik, bukan sekadar amal sosial. Dalam Islam, darah manusia itu suci, dan tanggung jawab melindunginya berada di pundak pemimpin, yaitu Khalifah. Di bawah khilafah, satu nyawa Muslim di ujung dunia akan menggetarkan kursi kekuasaan pusat.
Khalifah al-Mu’tashim dulu mengirim pasukan besar hanya karena satu wanita Muslimah dilecehkan oleh bangsa Romawi. Sekarang? Dua ribu orang dibantai, tapi para pemimpin Muslim sibuk pidato dan memamerkan kostum di konferensi global.
Inilah mengapa dunia butuh sistem, bukan sekadar simpati. Butuh kepemimpinan yang memandang darah manusia lebih berharga daripada dolar dan tambang emas.
Dunia Butuh Khilafah
Khilafah bukan utopia, ia adalah perisai umat sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“Sesungguhnya Imam (khalifah) itu adalah perisai, di baliknya kaum Muslim berperang dan kepadanya mereka berlindung.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Di bawah naungan khilafah, tidak akan ada ruang bagi milisi yang menjual nyawa rakyat untuk proyek geopolitik. Tidak akan ada negara asing yang bisa mengatur arah politik Afrika atau Asia demi keuntungan segelintir elit global.
Khilafah akan melindungi Darfur, Gaza, Suriah, Yaman, dan semua negeri yang kini menangis di bawah bendera palsu demokrasi dan kapitalisme. Karena sejatinya, Darfur bukan hanya kisah Sudan. Ia adalah potret seluruh dunia Islam yang kehilangan tamengnya. Ketika sistem Islam dicabut, kehormatan, nyawa, dan harta umat jadi mainan tangan penjajah modern.
Maka, jalan keluar bukan di meja perundingan PBB, bukan pada sanksi, bukan pada konferensi donor. Jalan keluar hanya satu, yaitu mengembalikan kepemimpinan Islam yang kaffah.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa...”
(QS. An-Nur: 55)
Darfur adalah luka umat. Tapi dari luka itu, seharusnya lahir tekad baru untuk menyatukan kekuatan umat di bawah panji tauhid. Karena selama dunia masih tunduk pada kapitalisme, darah akan terus jadi komoditas. Dan selama umat Islam belum punya perisainya, tragedi akan terus berulang dari Gaza, Suriah, hingga Darfur.
Ya Allah, jadikan kami bagian dari kebangkitan itu, bangkitnya perisai umat, yang melindungi darah, kehormatan, dan masa depan Islam.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)