Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Perempuan Pilar Ketahanan Keluarga: Membanggakan atau Membebankan?

Kamis, 06 November 2025 | 07:45 WIB Last Updated 2025-11-06T00:45:48Z
TintaSiyasi.id -- Di banyak podium, kata “pemberdayaan perempuan” selalu terdengar indah. Begitu pula ketika BKOW Kalsel menggagas penguatan Kampung KB Mandiri di Kabupaten Banjar, dengan narasi bahwa perempuan adalah pilar ketahanan keluarga. (klikkalsel.com, 27/10/2025).

Beberapa media lain juga menguatkan narasi sinergi organisasi perempuan dan penguatan Kampung KB. Bahkan RRI (22/10/2025) menyorot dorongan istri Wagub Kalsel agar perempuan terus meningkatkan daya saing.

Kalau melihat sekilas, semua tampak anggun: perempuan kuat, keluarga tangguh, kampung mandiri. Seolah solusinya sudah kita temukan. Namun, mari kita tidak terburu-buru larut dalam slogan. Karena yang sering membuat rakyat tersandung bukan kurangnya motivasi, tapi realitas yang tak dipotret dalam panggung seremonial.

Pertanyaan sederhana—ketahanan keluarga itu benar-benar diberdayakan, atau justru diserahkan sepenuhnya kepada pundak perempuan? Memberi perempuan gelar “pilar ketahanan keluarga” tentu terdengar mulia. Tapi tanpa dukungan nyata: akses ekonomi, pelayanan kesehatan yang memadai, jaminan sosial, keberpihakan sistem, apa jadinya? Gelar itu berubah menjadi beban. Perempuan bekerja di rumah, bekerja di luar rumah, menjaga anak, mengurus orang tua, mengikuti program, menghadiri pelatihan, menjadi relawan posyandu, mengawal nutrisi keluarga—dan masih dituntut tersenyum atas nama “ketahanan”.

Ini persoalan klasik dalam paradigma pembangunan sekuler: alih-alih memperkuat negara untuk menyejahterakan keluarga, negara justru meminjam tenaga perempuan untuk menutup lubang sistem. Narasi “mandiri” terdengar merdeka, tetapi dalam banyak kasus, ia menjadi alasan lembut untuk mundurnya tanggung jawab negara.

Ketika ekonomi rapuh, bantuan minim, layanan publik belum merata, dan lapangan kerja layak sulit diakses, siapa yang paling terdampak? Ibu-ibu di dapur yang harus memastikan nasi tetap ada, anak tetap sekolah, rumah tetap berdiri, sementara negara mengangkat spanduk sukses program.

Dan bukankah sejarah sudah mengajarkan, ketahanan keluarga bukan lahir dari slogan, tetapi dari sistem yang berpihak? Islam sejak awal menempatkan keluarga sebagai institusi ibadah dan kemaslahatan. Laki-laki dan perempuan itu saling melengkapi, bukan saling menumpuk beban. Negara dalam Islam bukan sekadar fasilitator pelatihan, tetapi penjamin kesejahteraan: menyediakan nafkah umum, membuka akses kesehatan, mengatur ekonomi agar adil, dan menjaga stabilitas sosial.

Perempuan dalam Islam dimuliakan karena nilai dirinya, bukan karena berfungsi sebagai bumper sosial. Rasulullah Saw. mendudukkan perempuan di derajat mulia: ibu, pendidik generasi, penjaga martabat umat. Khalifah Umar bin Khattab bahkan menyediakan baitul mal bagi perempuan yang tidak mampu, menjamin hak mereka tanpa menjadikan mereka alat stabilitas negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memastikan distribusi zakat sampai perempuan tak lagi meminta—bukan memaksa mereka “mandiri” tanpa dukungan.

Kalau negara menempatkan perempuan terhormat seperti itu, apa kita layak membiarkan perempuan hari ini memikul fungsinya sendiri sementara sistem hanya memberi tepuk tangan?

Perempuan tidak butuh gelar pilar tanpa tiang yang menyangga. Mereka butuh negara yang benar-benar hadir. Program boleh jalan, pelatihan boleh ada, tapi jangan jadikan perempuan tameng atas kelemahan sistem. Jangan jadikan ibu rumah tangga sebagai perisai terakhir, sementara institusi negara duduk nyaman menonton.

Ketahanan keluarga sejati hanya lahir bila sistemnya kuat. Dan sistem kuat hanya hadir bila nilai yang melandasinya benar. Islam sudah memberi kerangka itu: negara wajib menyejahterakan, masyarakat saling menopang, keluarga menjadi pusat peradaban. Bukan perempuan memikul semuanya, bukan negara menyembunyikan tanggung jawab di balik huruf “mandiri”.

Jika benar kita ingin perempuan mulia, mari berhenti menaruh beban di bahu mereka tanpa perlindungan. Yang kita butuhkan bukan slogan penguatan, tapi penataan ulang: dari sistem yang hanya sebagai fasilitator dan regulator, menjadi sistem yang melayani dan melindungi, dari program simbolik, menjadi keberpihakan struktural.

Perempuan tidak diminta lebih kuat. Perempuan hanya berharap dunia ini lebih adil. Semua itu hanya akan terwujud jika Negara diatur oleh syariat Allah secara Kaffah dalam institusi Khilafah Islamiyah. 

Wallahu'alam

Oleh: Tuty Prihatini, S. Hut. 
Aktivitas Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update