TintaSiyasi.id -- Penyebab sebagian Muslim kerap menyalahpahami seruan untuk meninggalkan demokrasi dan menegakkan khilafah sebagai ajakan menuju kediktatoran lantaran dalam persepsi mereka lawan dasri demokrasi adalah diktator.
“Sebagian Muslim ketika diserukan untuk meninggalkan demokrasi seraya menegakkan khilafah, menyalahpahaminya sebagai ajakan untuk menegakkan kediktatoran. Sedangkan khalifah (kepala negara khilafah) disalahpahami sebagai diktator. Itu terjadi lantaran dalam persepsinya, lawan dari demokrasi adalah diktator,” tuturnya kepada tintasiyasi.id, Ahad (27/7/2025).
Dia menjelaskan, dalam sistem kediktatoran, diktator sebagai penguasa menerapkan aturan yang dibuatnya sendiri. Jika diktator ingin menerapkan sebagian syariat Islam, ia dapat melakukannya. Namun jika tidak ingin, syariat tersebut tidak diterapkan.
Sementara itu, dalam sistem demokrasi, penguasa menerapkan aturan yang dibuat oleh wakil rakyat. Jika penguasa ingin menerapkan syariat Islam, ia harus mendapatkan persetujuan mayoritas wakil rakyat untuk setiap syariat yang ingin diterapkan. Jika tidak mendapat persetujuan, syariat tidak dapat diterapkan.
“Sedangkan dalam sistem khilafah, khalifah menerapkan syariat Islam secara kaffah. Hanya itu tugasnya. Kalau menerapkan selain hukum Islam, walau satu aturan saja, baik hukum buatan sendiri maupun wakil rakyat, sama sekali tidak boleh,” ujarnya.
Menurutnya, dari sudut pandang Islam hanya khilafah yang legal atau sah ditegakkan oleh kaum Muslim. Hal ini, jelas Joko, karena banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang mewajibkan penerapan syariat Islam secara kaffah serta mengharamkan penerapan satu saja aturan di luar ajaran Islam.
“Sistem pemerintahan apa namanya yang fungsinya untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah? Khilafah, demokrasi, atau diktator?,” pungkasnya.[] Nabila Zidane
