Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hukum Menjadi Auditor Bank, Ahli Fikih: Tidak Boleh

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 04:11 WIB Last Updated 2025-08-15T21:11:35Z

Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam Kiai Shidiq Al-Jawi, M.Si. mengatakan bahwa menjadi auditor bank itu tidak boleh. “Menjadi auditor bank itu tidak boleh,” jelasnya dalam saluran WhatsApp KH M. Shiddiq Al-Jawi, Ahad (03/08/2025).

 

"Tidak boleh menjadi auditor bank, baik bank konvensional maupun bank syariah, karena kedua bank tersebut melakukan transaksi riba." jelasnya

 

Kiai Shiddiq Al-Jawi mencontohkan bahwa transaksi riba yang dimaksud, misalnya bunga di bank konvensional, atau bagi hasil mudarabah di bank syariah. “Semua ini adalah riba,” tegasnya.

 

"Maka dari itu, auditor tidak boleh melakukan audit, karena auditor setelah mengaudit akan memberi penilaian atas laporan keuangan bank dalam bentuk predikat, misal WTP (wajar tanpa pengecualian), dan sebagainya, serta membubuhkan tanda tangannya sebagai auditor." jelasnya

 

Kiai menukil hadis sahih dari Jabir bin Abdillah ra. bahwa:

 

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

 

Rasulullah saw. telah melaknat pemakan riba (pemungut riba), pembayar riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua orang saksinya (transaksi riba).

 

“Kata Rasulullah saw., semuanya sama dalam dosa,” sebutnya menyitat HR Muslim No. 1598.

 

Ia juga menambahkan mengapa bisa muncul transaksi riba di bank syariah. “Jadi begini, kita tahu bahwa terhadap tabungan di bank syariah itu, ada penjaminan (dhomān) yang diberikan bank syariah kepada para nasabahnya, berdasarkan program penjaminan simpanan yang diikuti oleh bank di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),” bebernya.

 

“Ini berarti jika bank syariah menjadi bank gagal, dana nasabah tidak akan hilang (hangus), melainkan akan dikembalikan oleh bank syariah kepada nasabah,” ujarnya.

 

“Adanya penjaminan ini, sesungguhnya telah mengubah status modal mudarabah yang disetor nasabah, menjadi pinjaman (qardh),” ulasnya.

 

Konsekuensinya, lanjut Kiai, jika mudarabah itu mendapatkan laba dan bank syariah membagikan keuntungannya, yang terjadi sesungguhnya bukanlah bagi hasil (profit sharing), melainkan bagi riba (riba sharing).

 

Dengan demikian, jelaslah bagi hasil dari mudarabah hakikatnya adalah riba, bukan bagi hasil yang halal.

 

“Ini karena tabungan mudarabah itu hakikatnya telah berubah menjadi pinjaman (qardh, –karena adanya penjaminan tadi–) sehingga bagi hasil yang muncul dari akad qardh, sebenarnya adalah riba yang haram diambil,” jelas Kiai.

 

Ia pun menukil sabda Rasulullah saw.:


كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

 

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba. Wallahu a’lam,” pungkasnya seraya menukil HR Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).[] Indah Setyorini

Opini

×
Berita Terbaru Update