Tintasiyasi.ID -- Ahli Fikih Islam Kiai Shidiq Al-Jawi, M.Si. mengatakan bahwa menjadi auditor bank itu tidak boleh. “Menjadi auditor bank itu tidak boleh,” jelasnya dalam saluran WhatsApp KH M. Shiddiq Al-Jawi, Ahad (03/08/2025).
"Tidak boleh
menjadi auditor bank, baik bank konvensional maupun bank syariah, karena kedua
bank tersebut melakukan transaksi riba." jelasnya
Kiai Shiddiq Al-Jawi
mencontohkan bahwa transaksi riba yang dimaksud, misalnya bunga di bank
konvensional, atau bagi hasil mudarabah di bank syariah. “Semua ini adalah riba,”
tegasnya.
"Maka dari itu,
auditor tidak boleh melakukan audit, karena auditor setelah mengaudit akan
memberi penilaian atas laporan keuangan bank dalam bentuk predikat, misal WTP
(wajar tanpa pengecualian), dan sebagainya, serta membubuhkan tanda tangannya
sebagai auditor." jelasnya
Kiai menukil hadis
sahih dari Jabir bin Abdillah ra. bahwa:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Rasulullah saw.
telah melaknat pemakan riba (pemungut riba), pembayar riba (nasabah yang
meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua orang saksinya (transaksi
riba).
“Kata Rasulullah saw.,
semuanya sama dalam dosa,” sebutnya menyitat HR Muslim No. 1598.
Ia juga menambahkan
mengapa bisa muncul transaksi riba di bank syariah. “Jadi begini, kita tahu
bahwa terhadap tabungan di bank syariah itu, ada penjaminan (dhomān)
yang diberikan bank syariah kepada para nasabahnya, berdasarkan program
penjaminan simpanan yang diikuti oleh bank di LPS (Lembaga Penjamin Simpanan),”
bebernya.
“Ini berarti jika
bank syariah menjadi bank gagal, dana nasabah tidak akan hilang (hangus),
melainkan akan dikembalikan oleh bank syariah kepada nasabah,” ujarnya.
“Adanya penjaminan
ini, sesungguhnya telah mengubah status modal mudarabah yang disetor nasabah,
menjadi pinjaman (qardh),” ulasnya.
Konsekuensinya, lanjut
Kiai, jika mudarabah itu mendapatkan laba dan bank syariah membagikan
keuntungannya, yang terjadi sesungguhnya bukanlah bagi hasil (profit sharing),
melainkan bagi riba (riba sharing).
Dengan demikian,
jelaslah bagi hasil dari mudarabah hakikatnya adalah riba, bukan bagi hasil
yang halal.
“Ini karena
tabungan mudarabah itu hakikatnya telah berubah menjadi pinjaman (qardh,
–karena adanya penjaminan tadi–) sehingga bagi hasil yang muncul dari akad qardh,
sebenarnya adalah riba yang haram diambil,” jelas Kiai.
Ia pun menukil sabda
Rasulullah saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ
مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا
“Setiap-tiap
pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh),
maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba. Wallahu a’lam,” pungkasnya seraya menukil HR Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).[] Indah
Setyorini