"Teknologi selalu seperti
pisau bermata dua, ada banyak manfaat tapi ada banyak mudarat. Kalau di dalam
kaidah, jadi mencegah kemudaratan harus didahulukan daripada meraih
kemaslahatan," ucapnya di kanal YouTube UIY Official; Indonesia
Darurat Kekerasan Seksual, Ahad (04/05/2025).
Lanjutnya, ia menjelaskan jika
harus memilih antara mendapat kebaikan dari teknologi dan di saat yang sama
harus menerima kemudaratan, maka didahulukan mencegah kemudaratan meski tidak
memperoleh kemanfaatan.
"Ada langkah-langkah ekstrem
seperti misalnya di beberapa negara yang pernah saya dengar itu melarang sama
sekali internet karena basisnya kan itu. Kalau orang tidak punya akses internet
tidak akan mungkin bisa menikmati itu semua," terangnya.
Jika tidak dapat dilarang, UIY
menyarankan dilakukan dengan cara pemabatasan. “Dengan akses yang limited,
menjadikan setiap orang tidak secara bebas bisa mengakses internet,” usulnya.
"Dan sekarang akses makin
hari makin unlimited. Mengapa? Karena sekarang ini menjadi semacam standar, katakanlah
misalnya seperti café. Kalau cafe tidak menyediakan akses wifi tidak
akan pernah didatangi orang, apalagi anak muda. Atau dia menyediakan akses tapi
dibatasi misalnya, yang dikejar pasti yang menyediakan dan membebaskan, free
akses," ungkapnya.
Sehingga ia melihat harus ada
regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk mencegah rangsangan terjadinya
kekerasan seksual melalui internet. "Internet, sosial media itu
berpengaruh buruk kepada anak muda khususnya dan saya kira bukan hanya anak
muda karena pelakunya ada banyak juga orang tua, kepada masyarakat dan publik
secara umum," jelasnya.
Terlebih, ia menilai dengan
internet membuat dunia itu seperti one village atau satu desa yang tidak
ada lagi tapal batas. “Akhirnya, penyebabnya belum tentu berasal dari
Indonesia, namun dari sebuah negara yang mengindahkan batasan nilai-nilai
aturan apalagi syariat.” ungkapnya.
"Jadi yang bisa kita lakukan
membatasi atau mengontrol akses tadi. Karena ini (internet) ibarat seperti
udara bebas yang semua orang bisa menghirup. Yang bisa kita atur adalah kita
sendiri jangan menghirup udara kotor, tetapi menghirup udara bersih dan
sebagainya," tuturnya.
Lebih lanjut, cendekiawan ini
menuturkan, udara tidak dapat diatur sama halnya dengan mengatur konten di
sosial media yang bisa diproduksi siapa pun. “Alhasil isi konten menjadi bebas
dan tanpa terkontrol,” sebutnya menyayangkan.
"Betul-betul dunia yang
liberal, dunia yang bebas sebebas-bebasnya, tidak ada aturan. Ketika Islam dulu
berjaya dia bisa menyebarkan etika yang benar, aturan yang benar, kesadaran
yang benar. Ini hari kekuatannya sekuler, kekuatan liberal yang akhirnya
dipancarkan itu ya nilai-nilai liberal. Jadi saya kira itu ya
berkorelasi," tutupnya.[] Taufan