Tintasiyasi.id.com -- Pemerintah berjanji akan memberikan tunjangan kinerja bagi dosen ASN. Akan tetapi, ketika tiba masa yang dijanjikan tukin dosen belum kunjung cair. Apakah tukin yang digaungkan sebelumnya untuk dosen hanya sekedar janji belaka?
Tukin Tiada
Anggaran tunjangan kinerja dosen sudah rampung terbentuk pada tahun 2020 silam melalui Permendikbud 49/2020. Terlebih tukin sudah dibentuk dalam sebuah regulasi yang menguraikan nama jabatan, kelas jabatan, dan pemberian besaran tunjangan kinerja jabatan fungsional dosen di tahun 2024 yang terdapat dalam Kepmendikbudristek 447/P/2024. Tidak hanya sampai disitu saja, tukin juga akan dijanjikan cair pada Januari 2025 (Kompas, 07-01-2025).
Nahasnya, Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Mendiktisaintek mengeluarkan pernyataan yang bertolak belakang dengan mentri pendidikan sebelumnya. Bahwa tidak akan ada tunjangan bagi dosen termasuk tukin pada tahun 2025. Pernyataan Satryo selaku menteri berwajah baru dikabinet merah putih tentu membuat banyak goresan di hati dosen ASN.
Alasan tiadanya anggaran tukin dosenpun telah dikemukakan oleh Togar M.Simatupang selaku Plt. Sekretaris Jendral Kemendiktisaintek. Adapun alasannya karena perubahan nomenklatur kementrian yang terus terjadi yang kemudian berdampak terhadap penyusunan anggaran.
Alasan yang dikemukakan oleh Togar tidak seharusnya terlontar.
Mengingat kasus ini dalam ranah yang cakupannya negara. Masa tidak terpikir upaya preventif agar janji yang telah dibentuk oleh kementrian sebelumnya tidak sekedar janji belaka.
Dosen Pilar Penting
Dosen merupakan pilar terpenting dalam membentuk mahasiswa yang kompeten dibidangnya. Lahirnya banyak ilmuwan besar, dokter hebat, insinyur dan berbagai profesi lainnya tidak terlepas dari peran dosen yang mengajar di perguruan tinggi.
Luar biasanya, peran dosen tidak sekadar mengajar saja. Tetapi, juga membimbing skripisi mahaiswa/i, menjadi penguji skripsi, tuntutan jurnal ilmiah, penelitian ke lapangan, dan beban administratif lain yang menggunung.
Sementara, gaji yang didapatkan dosen tidak sebanding dengan pengorbanan yang diberikan. Padahal dosen juga butuh hidup layak, dosen juga amat ingin terpenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan), kebutuhan sekunder dan tersier.
Belum lagi, harga barang yang serba naik karena efek domino diberlakukannya PPN menjadi 12%, tentu semakin menghantam jauh kehidupan dosen dari kata sejahtera. Sehingga tak jarang ditemui dosen banyak mengambil kerjaan sampingan, karena gaji yang dari jerih payah di perguruan tinggi tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Aturan Keliru
Inilah akaibat aturan dibuat oleh manusia yng dipenuhi oleh akal dan kepentingan. Berganti pemimpin berganti pula kebijakan. Bukankah baiknya diteruskan saja aturan yang telah disepakati, bukan merombak dengan dalih.
Di sisi lain, anggaran malah boncos untuk menutupi utang negara yang membludak. Tidak cukup sampai disana, masih ada proyek raksasa yang menggelontorkan dana tak sedikit dan tidak berkolerasi dengan kesejahteraan rakyat.
Peristiwa ini lumrah terjadi di sistem sekuler kapitalisme, yang membebaskan manusia membuat, merevisi, dan menghapus aturan. Dasar dalam pembuatan aturan pun berasal dari manusia. Alhasil perbedaan antara benang hitam dan benang putih tidak lagi jelas.
Seorang pejabat yang beriman pada Yang Maha Kuasa sepatutnya tidak dengan mudah membuat peraturan seenak jidatnya dan mengabaikan hak rakyat. Jika demikian adanya akan tampak sekali tindakan tersebut termasuk dalam salah satu kategori orang munafik yang disampaikan oleh Rasulullah yaitu “apabila ia berjanji, ia ingkar."(HR. Bukhari)
Aturan Shahih
Tentunya akan sangat berbeda jauh nasib dosen jika berada dalam sistem yang menerapkan aturan Islam. Sistem yang menjadikan kedaulatan hanya ditangan syariat bukan ditangan manusia.
Dikarenakan sumber aturan berasal dari sang pencipta, sejahtera bukan hanya bagi dosen saja, tapi bagi sekalian alam. Kemudian dosen tidak akan dibebani dengan berbagai administratif kampus dan haknya diberikan secara penuh bahkan menjadi salah satu perhatian utama oleh kepala negara (khalifah).
Salah satu contohnya di masa Khalifah Harun AR-Rasyid, gaji yang diberikan kepada guru mencapai 2000 dinar setara dengan Rp 12,75 miliar. Selanjutnya periwayat hadis dan ahli fikih mendapatkan gaji 4.000 dinar ( Rudhaifullah Yahya Az-zahrani, An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah).
Masalah anggaran khalifah tidak akan pusing tujuh keliling, karena telah disediakan khusus anggaran pendidikan di baitul mal. Adapun sumber pemasukan baitulmal yaitu; pos kepemilikan umum (minyak, gas, tambang emas, perak dll), pos fa’i dan kharaj serta pos waqaf.
Semua hak dosen di sistem Khilafah terpenuhi dengan nyata tanpa janji semata. Dan hal ini telah berlangsung selama belasan abad. Hilangnya kesejahteraan dosen dikarenakan tiadanya sistem yang melindungi hak-hak dosen yakni, Khilafah.[]
Oleh: Siska Ramadhani
(Aktivis Muslimah)