TintaSiyasi.id -- Fakta berbicara, yang menjadi tumbal pembayaran bunga utang luar negeri dan utang pokok luar negeri adalah rakyat. Rakyat yang akan dicekik dengan tarikan pajak dan kenaikannya adalah rakyat. Dikutip dari Tempo (15-5-2025), Bank Indonesia mengumumkan utang luar negeri Indonesia pada triwulan I 2025 mencapai US$ 430,4 miliar atau sekitar Rp 7.144,6 triliun. Jumlah ini meningkat sebesar 6,4 persen dari triwulan IV 2024 sebesar 4,3 persen. Sudah utang terus meningkat, Prabowo Subianto akan menambah utang negara Rp781,9 triliun. Hal itu diketahui dari rancangan anggaran penerimaan dan belanja negara (RAPBN) 2026. Ini adalah rencana utang terbesar setelah pandemi. Pada saat pandemi 2021, pemerintah menarik utang Rp870,5 triliun. Kemudian, utang 2022 Rp696 triliun, 2023 Rp404 triliun, dan 2024 Rp558,1 triliun. Pada outlook 2025, utang pemerintah Rp 715,5 triliun.
Bayangkan, menjalankan roda pemerintahan dengan utang riba yang berimplikasi pada penarikan dan kenaikan pajak di berbagai lini kehidupan. Inilah kejam dan culasnya sistem kapitalisme sekuler. Ketika utang belum lunas, selama itu pula negara pemberi utang membelenggu negara dengan melakukan berbagai kerja sama atau perjanjian untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki negara. Walhasil, rakyat seperti ayam yang kelaparan di tengah lumbung pagi. Indonesia kaya raya, tetapi kekayaan SDA dikuasai asing. Rakyat tidak henti-hentinya dijadikan tumbal konsekuensi utang riba negara. Seharusnya negara berkaca pada kemampuannya. Jika belum mampu membangun infrastruktur mewah, ya sabar dan jangan memaksa. Kalau tidak mampu bangun ibu kota negara (IKN) di Kalimantan, bandara, dan sebagainya, tidak usah memaksa dengan utang luar negeri. Kalau terus memaksa membangun dengan utang riba, ini sama saja menjajah rakyatnya sendiri.
Korelasi Utang Luar Negeri dengan Neoimperialisme
Menteri Keuangan yang eksis dari zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga Prabowo Subianto, yakni Sri Mulyani Indrawati kembali menyampaikan pernyataan kontroversial terkait pajak. Dalam pidato di Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13-8-2025), Sri Mulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Padahal pajak dan zakat itu sangat berbeda jauh. Pajak dipungut secara paksa dan mengikat kepada seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan zakat. Zakat mal ditarik hanya kepada orang-orang yang dianggap mampu dan mencapai nisab, mereka wajib mengeluarkan zakatnya jika memenuhi haul (dimiliki harta tersebut selama satu tahun) dan nisab.
Begitu pun dengan zakat perdagangan, peternakan, atau pertanian, semua ada nisabnya. Soal wakaf hukumnya sunah, tidak ada paksaan sama sekali. Melainkan semuanya atas dorongan akidah, bukan paksaan yang menimbulkan konsekuensi. Jadi, antara pajak itu sangat berbeda dengan zakat dan wakaf. Apabila rakyat beli kebutuhan apa saja di toko, berapa pun barang atau makanan yang dibeli, semua kena pajak pertambahan nilai. Rakyat yang melakukan transaksi apa saja, negara menarik pajaknya. Seperti pajak tahunan dan lima tahunan pada kendaraan bermotot, pajak bumi dan bangunan, dan masih banyak pajak lain yang ditarik paksa kepada rakyat. Sungguh ini tidak bisa disamakan dengan zakat dan wakaf.
Penarikan pajak yang membabi buta ke rakyat, tidak lain hanyalah untuk menyiapkan anggaran hampir Rp600 triliun untuk membayar bunga utang tahun depan. Dikutip dan CNN Indonesia (18-8-2025), rencana itu tertuang dalam dokumen Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Jumlah bunga utang terdiri dari dua komponen. Pembayaran bunga utang luar negeri Rp60,7 triliun dan pembayaran bunga utang dalam negeri Rp538,7 triliun. Pembayaran bunga utang meliputi pembayaran kupon atas Surat Berharga Negara (SBN), bunga atas pinjaman, dan biaya lain yang timbul dalam rangka menjalankan program pengelolaan utang.
Di saat yang genting tersebut, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan 10 pajak baru yang diklaim bisa menghasilkan Rp388,2 triliun. Usul ini disampaikan kepada Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu. Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyu Askar meminta pemerintah tidak "berburu di kebun binatang" atau hanya fokus menyasar wajib pajak yang sudah teridentifikasi. Di sinilah letak ketidakadilan dan wajah kezaliman itu tampak dalam pengaturan kehidupan yang menggunakan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini, menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara. Parahnya, pajak ini terus digenjot untuk membayar bunga utang luar negeri yang jumlahnya terus membengkak dari utang pokok negara.
Utang luar negeri, ratusan triliun tersebut tentu memiliki konsekuensi logis pembayaran bunga atau riba tiap jatuh tempo. Utang pokoknya saja sudah banyak, apalagi bunga utang yang makin lama makin membengkak jika tidak segera tidak dibayar. Inilah mengapa utang luar negeri disebut sebagai penjajahan gaya baru (neoimperialimse) karena dapat melumpuhkan negara tanpa menggunakan senjata apa pun. Utang riba ini membelenggu negara sehingga negara tunduk ketika aset atau kekayaan negara diekploitasi oleh negara pemberi utang riba tersebut. Namun, hal ini tidak segera disadari oleh pemerintah. Pemerintah terus menerus utang luar negeri demi menjalankan program kerjanya. Mereka tidak mengukur kemampuan keuangan yang dimiliki, tetapi terus menggenjot pembangunan infrasrtuktur dengan utang riba. Parahnya, pembangunan infrastruktur dengan dana utang riba dikhawatirkan mandeg dan mangkrak karena salah kelola dana atau dikorupsi. Inilah lingkaran setan sistem kapitalisme sekuler.
Dampak Persiapan Pembayaran Bunga Utang Terhadap Rakyat
Persiapan pembayaran bunga utang luar negeri yang jatuh tempo sudah dilakukan sejak sekarang. Pemerintah mulai memikirkan pajak yang terus digenjot dan dinaikkan. Kebijakan grusa-grusu sejumlah pemerintah daerah menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB menampakkan kekhawatiran dan karena berkurangnya pendapatan daerah akibat efisiensi anggaran pemerintah pusat. Tidak hanya menambah beban warga, kebijakan tersebut juga berpotensi memicu gejolak di masyarakat. Kenaikan PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) salah satunya terjadi di Pati, Jawa Tengah. Bupati Pati Sadewo memutuskan untuk menaikkan besaran PBB-P2 hingga 250 persen dari tarif sebelumnya.
Di saat yang sama, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi membantah anggapan bahwa kebijakan kenaikan pajak di sejumlah daerah muncul karena kurangnya anggaran dari pemerintah pusat. Prasetyo menyebutkan anggaran daerah tidak menjadi faktor penentu kebijakan di tiap wilayah. Pemerintah pusat seolah lepas tangan menanggapi sikap kepala daerah yang ramai-ramai menaikkan PBB. Padahal, pemerintah daerah melakukan hal tersebut karena efisiensi anggaran dan tentunya atas restu dari pemerintah pusat. Jalur komunikasi pemerintah pusat dan daerah seolah tidak kondusif dan tidak nyambung.
Dampak persiapan pembayaran bunga utang yang dilakukan negara terhadap rakyat adalah sebagai berikut. Pertama, pemerintah mulai menyasar pungutan pajak dan berencana akan menaikkannya. Kenaikan pajak ini tentu menambah draf kesengsaraan rakyat. Sudah biaya hidup meningkat, tekanan pajak pun juga naik. Kedua, pemerintah berpotensi menarik pajak baru terhadap rakyat. Ketiga, pemerintah berpotensi menambah utang luar negeri untuk membayar utang. Inilah lingkaran setan yang diiciptakan debt trap. Dampak politik akibat utang riba luar negeri yang paling mencolok adalah proyek-proyek infrastruktur yang dikuasai asing. Sudah SDA dieksploitasi asing, sekarang ruang publik juga dikuasai asing atas nama proyek strategis nasional yang menggusur paksa warganya sendiri.
Implikasi nyata dari penerapan sistem sekuler ini adalah segala dana yang diutang riba ke luar negeri berpotensi jadi bancakan nasional para koruptor. Makin ke sini korupsi berjalan saling mengikat kepentingan politik masing-masing. Sistem yang bersujud pada uang membuat segala perangkat hukum mendukung adanya kecurangan dalam pengelolaan dana pemerintah. Selain itu, biaya kontestasi politik juga fantastis, sehingga ketika mereka menjabat memikirkan dana untuk mengembalikan modal dan mempersiapkan modal ke depan untuk nyalon lagi. Beginilah sistem demokrasi kapitalisme menyuburkan korupsi dan yang jadi korban atas segala kelicikan demokrasi adalah rakyat.
Strategi Islam dalam Mengelola Keuangan sehingga Tidak Terjebak Utang Luar Negeri
Islam memiliki sistem ekonomi dan keuangan yang unggul, sehingga bisa bebas pajak maupun utang luar negeri. Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, menjelaskan panjang lebar dan gamblang pos-pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya. Dalam kitab tersebut, Abu Ubaid menulis sejumlah pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya seperti fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan tentu saja, zakat.
Pajak dalam Islam adalah alternatif terakhir yang dilakukan jika seluruh pos penerimaan Baitulmal kosong. Hal itu dilakukan jika kondisi negara sedang kritis dan tidak ada jalan pemasukan lain kecuali memungut dari rakyat. Sekalipun ada tarikan pajak, itu hanya ditarik kepada orang-orang yang kaya atau memiliki kelebihan harta. Sekali lagi tidak dipungut paksa ke seluruh rakyatnya. Jadi, tidak dipukul rata dan mencekik setiap saat, tetapi hanya dalam kondisi mendesak dan darurat saja dilakukan penarikan pajak dalam sistem pemerintahan Islam, khilafah.
Alasan sistem ekonomi Islam bebas dari penjajahan dan penjarahan adalah sebagai berikut. Pertama, sistem ekonomi Islam mengatur soal kepemilikan. Ada kepemilikan publik, kepemilikan negara, dan individu. Maka, sektor publik tidak akan boleh dikuasai oleh individu. Sektor kepemilikan publik ataupun negara itu juga jelas tuntunannya. Tidak berdasarkan hawa nafsu manusia, melainkan bersumber dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, tidak akan ditemukan sektor publik dikapitalisasi ataupun diswastanisasi.
Kedua, sistem ekonomi Islam memiliki mata uang dinar dan dirham yang membebaskan dari ancaman inflasi dan penjajahan dolar oleh Barat. Ketiga, sistem ekonomi Islam mengharamkan riba di berbagai aspek kehidupan. Sungguh riba ini sejatinya pembawa kesengsaraan hari ini. Tetapi itu malah dinikmati dan dijadikan sumber penghasilan ekonomi kapitalisme. Sungguh zalim bukan?
Keempat, negara sebagai pengawas dan penegak hukum atas segala transaksi ekonomi yang terjadi. Sehingga jika ada muamalah yang tidak syar'i, maka negara akan menegakkan hukum padanya. Kelima, orientasi penerapan sistem ekonomi Islam menyeluruh dengan sistem Islam secara totalitas. Karena melaksanakan hukum Islam adalah bagian dari ketaatan yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak.
Khilafah tidak akan utang ke luar negeri kalau hal ini berpotensi menjerat negara di bawah tekanan negara kafir penjajah. Utang luar negeri tidak akan dilakukan dalam bentuk apa pun kalau utang tersebut menggadaikan kepentingan Islam. Negara akan berpikir logis sembari meminta pertolongan Allah Swt. atas segala permasalahan yang ada. Sungguh betapa unggul sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem khilafah. Pertanyaannya maukah negeri ini hijrah ke arah yang lebih baik dengan menerapkan sistem Islam yang unggul di berbagai aspek kehidupan? Sebagai seorang Muslim tentunya tidak boleh menolak ajakan mulia ini. Karena tidak ada keselamatan kecuali hanya dengan Islam.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Utang luar negeri, ratusan triliun tersebut tentu memiliki konsekuensi logis pembayaran bunga atau riba tiap jatuh tempo. Utang pokoknya saja sudah banyak, apalagi bunga utang yang makin lama makin membengkak jika tidak segera tidak dibayar. Inilah mengapa utang luar negeri disebut sebagai penjajahan gaya baru (neoimperialimse) karena dapat melumpuhkan negara tanpa menggunakan senjata apa pun. Utang riba ini membelenggu negara sehingga negara tunduk ketika aset atau kekayaan negara diekploitasi oleh negara pemberi utang riba tersebut. Namun, hal ini tidak segera disadari oleh pemerintah. Pemerintah terus menerus utang luar negeri demi menjalankan program kerjanya. Mereka tidak mengukur kemampuan keuangan yang dimiliki, tetapi terus menggenjot pembangunan infrasrtuktur dengan utang riba. Parahnya, pembangunan infrastruktur dengan dana utang riba dikhawatirkan mandeg dan mangkrak karena salah kelola dana atau dikorupsi. Inilah lingkaran setan sistem kapitalisme sekuler.
2. Khilafah tidak akan utang ke luar negeri kalau hal ini berpotensi menjerat negara di bawah tekanan negara kafir penjajah. Pajak dalam Islam adalah alternatif terakhir yang dilakukan jika seluruh pos penerimaan Baitulmal kosong. Hal itu dilakukan jika kondisi negara sedang kritis dan tidak ada jalan pemasukan lain kecuali memungut dari rakyat. Sekalipun ada tarikan pajak, itu hanya ditarik kepada orang-orang yang kaya atau memiliki kelebihan harta. Sekali lagi tidak dipungut paksa ke seluruh rakyatnya. Jadi, tidak dipukul rata dan mencekik setiap saat, tetapi hanya dalam kondisi mendesak dan darurat saja dilakukan penarikan pajak dalam sistem pemerintahan Islam, khilafah.
Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)
MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 20 Agustus 2025. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst