Tintasiyasi.id.com -- Kesejahteraan perempuan telah menjadi isu utama yang terus digaungkan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Program-program seperti bantuan sosial, akses pendidikan gratis, hingga kebijakan kuota keterwakilan perempuan dalam politik digadang-gadang sebagai langkah besar dalam pemberdayaan perempuan. Namun, benarkah semua ini mampu memberikan solusi sejati untuk memuliakan perempuan?
Kuota Perwakilan Perempuan: Harapan Semu
Salah satu narasi utama demokrasi dalam memperjuangkan hak perempuan adalah kuota keterwakilan perempuan di parlemen atau lembaga-lembaga pemerintahan. Meski di permukaan terlihat sebagai langkah besar menuju kesetaraan, kebijakan ini sejatinya hanyalah harapan semu.
Pertama, sistem demokrasi tidak benar-benar peduli pada aspirasi perempuan. Perempuan di parlemen sering kali hanya menjadi alat pencitraan politik, bukan agen perubahan nyata. Banyak kebijakan yang dihasilkan tetap berorientasi pada kepentingan kapitalis atau oligarki, tanpa menuntaskan persoalan mendasar yang dihadapi perempuan.
Kedua, keberadaan perempuan dalam politik tidak menjamin terjadinya perubahan struktural yang signifikan. Meski jumlah perempuan di parlemen bertambah, kasus kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi tenaga kerja, dan ketidakadilan sosial tetap terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah perempuan tidak terletak pada siapa yang memimpin, tetapi pada sistem yang diterapkan.
Ketiga, kuota keterwakilan perempuan lebih banyak digunakan sebagai alat propaganda politik untuk mendulang suara. Para politisi memanfaatkan isu pemberdayaan perempuan demi meraih dukungan tanpa benar-benar memberikan solusi atas persoalan perempuan. Setelah pemilu selesai, kepentingan perempuan sering kali terabaikan.
Jeratan Eksploitasi Struktural
Sistem kapitalisme menciptakan jeratan eksploitasi struktural yang menjadikan perempuan sebagai komoditas ekonomi, lumbung suara dan tenaga kerja murah. Sebagai komoditas ekonomi, perempuan dieksploitasi melalui media, industri hiburan, dan iklan.
Standar kecantikan yang dikonstruksi oleh kapitalisme menjadikan perempuan sebagai alat pemasaran untuk mendongkrak keuntungan bisnis.
Perempuan juga sebagai lumbung suara saat pesta demokrasi. Jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki sering kali dimanfaatkan demi memenangkan pemilu. Perempuan dijadikan "lahan suara" potensial melalui isu kesetaraan gender, meski kenyataannya aspirasi mereka jarang terakomodasi secara nyata.
Kapitalisme juga menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja murah. Kapitalisme mendorong perempuan masuk ke dunia kerja tanpa memberikan perlindungan yang memadai. Perempuan kerap menerima upah rendah dan bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi demi menekan biaya produksi.
Sebenarnya bukan hanya perempuan yang terjerat eksploitasi struktural. Laki-laki, anak-anak, remaja pun menjadi korban eksploitasi dari sistem kapitalisme yang tidak manusiawi ini.
Orientasi materi dari sistem kapitalisme membuat dengan mudah mengeksploitasi orang lain demi kepentingan pribadi. Inilah tidak manusiawinya sistem kapitalisme. Maka tak ada harapan bagi perempuan meraih kemuliaan di sistem kapitalisme.
Islam Kaffah: Solusi Hakiki untuk Memuliakan Perempuan
Berbeda dengan demokrasi kapitalisme, Islam kaffah menawarkan solusi menyeluruh yang benar-benar memuliakan perempuan. Islam tidak hanya memberikan hak kepada perempuan, tetapi juga menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut melalui penerapan syariat secara total.
Dalam Khilafah, negara memastikan bahwa setiap perempuan memiliki akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak akan membiarkan perempuan bergantung pada program sosial yang temporer atau eksploitasi tenaga kerja.
Dalam Islam, nafkah perempuan selamanya terjamin. Jika dia belum menikah, maka yang menanggung nafkahnya adalah ayahnya. Jika ayahnya tak ada, maka saudara laki-lakinya. Jika keduanya tak ada, maka saudara laki-lakinya ayahnya.
Dan seterusnya mengikuti garis nasab. Sedangkan jika dia telah menikah maka nafkahnya ditanggung oleh suaminya.
Negara akan membuka lapangan pekerjaan bagi para lelaki sehingga kewajibannya menafkahi keluarga menjadi ringan. Secara tidak langsung, negara telah melindungi perempuan dari perburuan remah-remah rupiah yang justru akan membuka pintu eksploitasi dirinya.
Islam melarang segala bentuk eksploitasi terhadap perempuan, baik sebagai alat pemasaran, pekerja murah, maupun objek politik. Kehormatan perempuan dijaga melalui penerapan aturan syariat yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan serta pembagian peran, kewajiban juga hak diantara keduanya.
Dalam Islam, pendidikan perempuan diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam dan mempersiapkan mereka sebagai ibu generasi. Perempuan dididik untuk memahami peran mulianya dalam membangun peradaban Islam. Sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, lalu ia mendidik mereka, mengasihi mereka, dan bertanggung jawab atas kebutuhan mereka, maka ia pasti masuk surga.” (HR. Ahmad).
Islam menegakkan sistem hukum yang melindungi perempuan dari segala bentuk kezaliman, seperti pelecehan, kekerasan, dan penelantaran. Pelaku kejahatan dihukum sesuai syariat, sehingga perempuan merasa aman dalam kehidupan mereka.
Khatimah
Kuota keterwakilan perempuan, bantuan sosial, dan akses pendidikan hanyalah solusi tambal sulam dalam demokrasi kapitalisme. Sistem ini tidak menyentuh akar persoalan perempuan, malah memperparah eksploitasi melalui jeratan struktural yang merugikan.
Sebaliknya, Islam kaffah memberikan solusi komprehensif yang menjamin kehormatan, keamanan, dan kesejahteraan perempuan.
Hanya dengan penerapan Islam kaffah, perempuan dapat terbebas dari eksploitasi dan mendapatkan kesejahteraan hakiki sebagaimana yang dijamin oleh syariat Islam. Wallahu a'lam []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)