TintaSiyasi.id -- Di tengah semakin lesunya ekonomi masyarakat, pemerintah malah menetapkan kenaikan PPN menjadi 12%. Tarif ini mulai berlaku sejak Januari 2025. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI. Dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. (tempo.co, 21/11/2024)
Keputusan ini menuai penolakan dari banyak pihak. Pada Kamis (21/11/2024), petisi menolak kenaikan PPN 12% berseliweran di media sosial twitter. Petisi tersebut dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Petisi dengan judul 'Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!' itu tercatat sudah diteken oleh 2.808 orang. (cnnindonesia, 21/11/2024)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP). Naiknya PPN 12% ini akan memunculkan efek domino. Harga barang dan jasa akan naik, yang akan menyebabkan semakin lemahnya daya beli masyarakat. Efeknya, masyarakat akan menekan konsumsi mereka. Ketika konsumsi masyarakat berkurang, penjualan pun akan berkurang. Maka, produsen harus mengurangi produksi dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Akibatnya, ancaman PHK pun tak terelakkan. Ini seperti lingkaran setan.
Padahal sebelum PPN naik menjadi 12% saja, ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat lemah. Ini ditunjukkan oleh adanya deflasi selama 5 bulan berturut-turut. Adanya gelombang PHK dan pengangguran, hingga hilangnya 8 juta kelas menengah. Namun, pemerintah tetap bersikukuh pada keputusannya menaikan PPN menjadi 12%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa keputusan ini diambil berdasarkan sejumlah alasan. Alasan tersebut diantaranya, untuk memperbaiki anggaran negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional. (m.antaranews.com, 22/11/2024)
Adanya kabinet gemuk, program makan siang gratis, membengkaknya utang luar negeri beserta bunganya jelas akan menambah beban APBN. Selama ini, sumber pendapatan utama negara bergantung pada pajak atau hutang luar negeri. Keduanya akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia kedepannya.
Hal ini tentu sangat ironis. Mengingat Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Harusnya, negara memiliki banyak sumber alternatif pendapatan lain, tidak bergantung pada pajak. Namun, alih-alih rakyat menjadi sejahtera, malah harus dibebani dengan pajak yang tinggi dan pengurangan subisidi. Di sisi lain, para oligarki bebas mengeksploitasi sumber daya alam ini untuk kepentingan sendiri. Selain dimanjakan dengan kemudahan akses dalam otak-atik kebijakan negara, mereka juga dimanjakan dengan adanya tax amnesty. Sangat tidak adil. Belum lagi, maraknya korupsi di kalangan para pejabat negara yang disebabkan semakin buruknya penegakkan hukum terhadap korupsi. Ini juga berpengaruh pada APBN. Inilah gambaran carut marut tata kelola negara yang disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme sekuler.
Dalam sistem Islam, dharibah (pajak) tidak dijadikan sumber utama pemasukan negara. Ia bersifat insidental, yakni ditarik saat keadaan baitul mal kosong. Negara tidak menarik pajak secara terus-menerus kepada rakyatnya, baik yang kaya maupun yang miskin. Pajak ini hanya ditarik dari orang-orang kaya saja, setelah kebutuhan mereka terpenuhi.
Kalau bukan dari pajak, lantas dari mana negara Islam mendapatkan sumber pendapatannya? Ada banyak alternatif sumber pendapatan dalam Islam. Pertama, bagian fai dan kharaj, meliputi ghanimah, anfal, fai, jizyah dan dharibah; bagian kharaj; dan status tanah yang meliputi tanah milik umum, tanah milik negara, tanah usyriyah dan tanah terlarang. Kedua, bagian yang terdiri dari kepemilikan umum berupa sumber daya alam seperti tambang migas, listrik, perairan, pertambangan, hutan, dan padang rumput. Ketiga, bagian sedekah, meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, dan zakat ternak. Dengan demikian, negara Islam tidak menggantungkan pendapatannya pada pajak atau utang luar negeri. Sehingga kesejahteraan rakyat pun akan terealisasi. Wallahu a'lam bishowab
Oleh: Seni Fitriyani
Aktivis Muslimah