TintaSiyasi.id -- Semenjak demokrasi memudar karena semakin liberal dan khawatir ditinggalkan rakyat. Elit politik mulai berfikir mengomunikasikan kembali demokrasi. Salah satunya memasang badan kyai. Pencalonan pun tak berlepas dari unsur keagamaan, meski hakikat demokrasi sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Pilihan yang pasti diambil untuk menarik daya dukung rakyat yang mayoritas muslim, demi kemenangan pada pemilihan.
Pilgub Jawa Timur 2024 memunculkan KH Marzuki Mustamar yang digadang PKB untuk maju menjadi rival Khofifah-Emil. Rencana koalisi dengan PDI-P yang rencana mengusung Tri Risma Harini. Marzuki-Risma, kolaborasi kyai dan tokoh perempuan publik harapan bisa menang dan menarik simpati mayoritas pemilih kalangan NU dan umum.
Pasang badan kyai tak lebih gaya komunikasi politik kearifan lokal. Kyai dengan keilmuan agama, sematan panggilan dengan posisi tinggi, serta massa yang berpengaruh di akar rumput. Demokrasi tak lebih dari hitung-hitungan suara, one man one vote. Setelah itu, suara rakyat kembali diam dan tak bergeming karena pesta pora selesai oleh elit politik.
Kenapa Pasang Kyai?
Partai politik berkuasa atas penentuan yang menjadi cagub-cawagub. Rekomendasi ketua partai sebagai tiket maju kotestasi demokrasi. Mendaftar sendiri atau direkomendasi maju adalah pilihan bagi siapapun yang ingin berlaga dalam pesta. Parpol juga akan berhitung dengan logistik dan sumber daya untuk menentukan tak-tik kemenangannya. Tak ingin merugi, maka calon yang digandeng pun bukan kaleng-kaleng.
Pengalaman pemilu di Indonesia, memasang badan kyai dianggap cukup efektif. Marketing politik berjalan di tengah kampanye dengan menarik massa yang besar. Terdapat beberapa analisis dari fenomena kyai yang terjun ke politik demokrasi. Berikut pemaparannya:
Pertama, demokrasi yang berasas sekuler berdasarkan sejarahnya mendobrak kalangan agamawan. Anggapan agamawan menggunakan agama demi kekuasaan. Ini seperti terjadi di Eropa. Tak mengherankan jika praktik di Indonesia berbeda dengan Eropa. Menyoba menyesuaikan jika kelompok kyai menjadi panutan umat yang ikhlas. Tak banyak memang kyai atau tokoh agama yang ingin berkuasa di Indonesia.
Kedua, komunikasi politik dalam demokrasi menjual nama ‘kyai’. Tujuannya sebagai bemper kekurangmampuan menghadirkan pemimpin yang diterima semua kalangan. Selama ini spektrum pemimpin seputar sektarian, kelompok, dan partai tertentu. Pemaksaan kehendak untuk diterima begitu tampak rakyat tidak diberikan pilihan lain.
Ketiga, kyai sebagai getting voter. Ini pilihan patas menuju jalan pintas kemenangan. Memosisikan kyai tanpa verifikasi apakah memahami politik kekinian atau sekedar jualan politik? Jika ini terjadi, maka sungguh kasihan tatkala menduduki posisi jabatan sekedar pajangan. Sementara tenaga ahli yang terpilih bekerja untuknya. Melihat percaturan politik demokrasi dengan memosisikan kyai seperti ini seperti pelecehan.
Keempat, hampir mayoritas kyai melepas otoritas pemahaman politiknya. Kehadiran politik demokrasi, tak banyak pembahasan di kitab kuning atau lama. Mengingat isi politik dalam kajian kitab klasik seputar idealita politik sesuai manhaj kenabian. Sementara itu, demokrasi yang lahir di abad akhir ini berasal dari sekulerisme. Pada akhirnya demokrasi menyebar di dunia Islam. Kemudian menyilaukan seolah-olah ini sistem politik yang baik dan sama dengan Islam.
Kelima, perlu waspada khususnya bagi ulama, agamawan, atau kyai yang dijagokan dalam pemilu demokrasi. Niatan baik tidak serta merta diiringi dengan kepentingan elit politik demokrasi yang saling sikut. Alhasil, pragmatisme menjangkiti kyai dan mengikuti arus permainan menipu politik demokrasi. Sikapnya yang dahulu kritis misalnya, bisa saja hilang dan berubah tujuan.
Karenanya, upaya pasang badan kyai pada kemerosotan demokrasi adalah pikiran jahat segelintir elit politik yang tak tahu asas. Posisi kyai yang seharusnya agung dan berdedikasi untuk umat, terselewengkan dengan kepentingan politik sesaat. Padahal jika ditilik kepada politik Islam, ada tugas yang wajib diemban.
Jangan Salah Arah
Kyai atau ulama kekinian wajib meneliti detail demokrasi. Mulai dari akar sejarah, aplikasinya, dan penerapannya. Pasalnya, demokrasi lahir dari rahim sekularisme yang bertentangan dengan Islam. Sumbernya pun tidak berasal dari al-Qur’an dan sunnah. Gagasan idenya lebih pada urusan keduniawian yang meniadakan agama. Sama sekali demokrasi tidak Islami. Upaya menyamakan Islam dan demokrasi, seperti menyatukan air dengan minyak.
Terlebih dalam hal kekuasaan. Kedaulatan yang menjadi sumber hukum Islam adalah syariah. Sementara demokrasi pada akal pikiran manusia yang lemah, terbatas, dan condong pada hawa nafsu. Kekuasaan yang dibangun dari demokrasi, lebih pada pemuasan nafsu dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat yang awalnya dipuja, lantas menggunakan suara rakyat untuk menginjak rakyat.
Sebenarnya tujuan politik Islam itu menjaga agama dan mengurusi urusan rakyat. Kyai atau ulama perlu memahami hakikat ini dikaitkan dengan fakta masa kini. Sebab manuver politisi yang licik dan picik, kerap menipu kyai dan menghinakannya ke dalam kebinasaan. Politik demokrasi saat ini sangat radikal dan liberal. Rakyat dinistakan suaranya ketika memberikan kritik dan masukan membangun.
Justru yang perlu dikerjakan kyai dan ulama saat ini ialah fokus pada amar ma’ruf nahi munkar. Menyeru penguasa yang berada di depan umat untuk menerapkan syariah kaffah jika ingin kekuasaannya selamat. Mencegah setiap kerusakan yang ditimbulkan penguasa dengan dakwah agar tidak menjadi beban rakyat. Maka, bagi siapapun agar memosisikan kemuliaan kyai dan ulama’. Jangan ditarik ke politik demokrasi yang malah menghancurkan reputasi dan daya kritis dalam amar ma’ruf nahi munkar. Ajaklah kyai dan ulama untuk perjuangan izzul Islam wal muslimin dalam mewujudkan kekuasaan Islam. Inilah esensi dari Islam rahmatan lil ‘alamin. []
Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media