Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mampukah Sistem Zonasi Memberi Pendidikan Merata dan Berkualitas?

Minggu, 23 Juni 2024 | 15:14 WIB Last Updated 2024-06-23T08:14:43Z

TintaSiyasi.id -- Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025 jalur zonasi akan segera dibuka mulai Juni hingga Juli. Di tahun ini, terdapat perbedaan aturan mengenai jalur zonasi untuk SD, SMP, SMA dan SMK.

Perlu diketahui, jalur zonasi merupakan salah satu jalur pendaftaran PPDB SD, SMP, SMA, dan SMK berdasarkan jarak dari rumah ke sekolah sesuai domisili. Domisili ini ditentukan berdasarkan alamat yang tercatat pada Kartu Keluarga (KK) yang dikeluarkan setidaknya satu tahun sebelum pembukaan pendaftaran PPDB.

Dalam PPDB 2024 jalur zonasi, terdapat ketentuan khusus untuk perhitungan jarak dari rumah ke sekolah. Jika sebelumnya penentuan zona didasarkan pada jarak dalam wilayah kabupaten/kota, maka sekarang penentuan zona dilakukan berdasarkan wilayah kelurahan/desa.(nasional.tempo.co, 7/5/2024)

Menurut kominfo.kulonprogokab.go.id, 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan sistem zonasi merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional.  

Dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit dipandang dapat memperuncing perbedaan dan memperbesar kesenjangan. Hal tersebut, menurut Mendikbud tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Untuk itu, penerapan kebijakan zonasi memerlukan dukungan semua pihak demi tujuan besar jangka panjang.

Memang, pendidikan yang merata dan berkualitas masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Sistem zonasi terkait penerimaan peserta didik baru dari jenjang SD hingga SMA merupakan kebijakan negara yang mulai diterapkan dinegeri ini sejak tahun 2017 yang lalu.

Peraturan tersebut diatur dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berharap dapat menghilangkan stigma sekolah favorit, pemerataan layanan pendidikan dan memberikan peluang sekolah yang bukan favorit untuk berproses lebih unggul. Namun sejak diberlakukan, bukannya memunculkan perbaikan kualitas dan pemerataan pendidikan, sistem zonasi justru dibayangi oleh praktik-praktik curang. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, telah ditemukan kecurangan dalam bentuk kartu keluarga (KK) palsu, alamat domisili yang tidak sesuai KK hingga praktek suap berupa jual beli kursi.

Di Jawa Barat pelaksana harian Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat Ade Afriandi menemukan modus penggunaan satu alamat domisili oleh delapan kartu keluarga yang didaftarkan di sistem PPDB dan enam pendaftar yang menggunakan satu alamat domisili yang sama. Modus pelanggaran lainnya adalah beberapa orang tua siswa ditemukan menggunakan alamat domisili yang pemiliknya telah dinyatakan meninggal.(tempo.co, 20/6/2024)

Begitulah, dugaan pemakaian dokumen kependudukan yang tidak sesuai dengan domisili calon peserta didik sebenarnya merupakan laporan berulang pada setiap PPDB. Ditambah lagi, kurangnya daya tampung jalur zonasi sekolah negeri sejatinya telah menambah persoalan PPDB.

Beberapa kalangan menilai bahwa alasan zonasi untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas layak ditinjau ulang, mengingat realita di lapangan yang justru membawa banyak praktik buruk yang berujung pada diskriminasi. Dilansir dari www.kompas.id (11/6/2024) Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang juga pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan mengatakan ketimpangan kualitas sekolah menjadi salah satu pemicu kecurangan dalam PPDB. Pemerataan kualitas sekolah akan menutup celah kecurangan PPDB. Jadi, jika tidak ingin masalah PPDB terus berulang, pemerintah secara bertahap harus meningkatkan pemerataan mutu pendidikan.

Kekacauan sistem PPDB di negeri ini sejatinya tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah sistem pendidikan sekuler kapitalis. Inilah akar persoalan sesungguhnya. Sistem pendidikan sekuler kapitalis meniscayakan pendidikan mahal sehingga sulit diakses oleh masyarakat.

Sebab, pendidikan dalam sistem ini dipandang sebagai jasa yang boleh dikomersilkan atau diperjualbelikan. Ditambah lagi, sistem pendidikan yang berada di bawah payung ideologi kapitalisme ini telah menempatkan negara sebagai regulator, bukan pengurus urusan rakyat.

Sistem politik demokrasi kapitalis yang diterapkan, meniscayakan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Alhasil, pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam pendidikan termasuk menyediakan sarana prasarana pendidikan. Bahkan pemerintah memandang bahwa kurangnya daya tampung pendidikan yang disediakan oleh negara mengharuskan negara bermitra dengan swasta. Padahal, dalam sistem kapitalisme pendidikan kerap dijadikan alat pengeruk keuntungan. Sementara pada saat yang sama, negara lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan dan memfasilitasi pendidikan warga negaranya.

Oleh karena itu, selama yang diterapkan sistem kapitalisme, maka problem pemerataan mutu pendidikan tidak akan pernah tuntas. Rakyat akan terus merasakan ketidakadilan dan kecurangan yang diproduksi sistem ini.


Cara Islam Menjamin Pemerataan Pendidikan Berkualitas

Dalam sistem Islam, kepala negara (khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara.

Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan. Hal ini karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW dinyatakan,

"Seorang Imam (khalifah atau kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih maupun konsep tata kelola sekolahnya. Sebagai penanggung jawab, negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta. Meski demikian, sekolah swasta tetap diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan namun keberadaan pihak swasta ini tidak sampai mengambil alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.

Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara khilafah mengatur anggaran secara sentralisasi atau terpusat. Seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari baitul mal, yakni dari pos fai' dan kharaj serta pos kepemilikan umum. Dengan mekanisme ini, negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya. Alhasil, pendidikan Islam menjamin pemerataan di seluruh wilayah negara baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh negara baik secara kualitas maupun kuantitas keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan baik tanpa kisruh. Capaian pendidikan akan benar-benar optimal untuk membangun peradaban yang gemilang. Dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan rakyat, khilafah berpegang kepada tiga prinsip, yakni kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini, kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi. Dengan sistem pendidikan yang seperti inilah yang mampu menyediakan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara. []


Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update