Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HET Bera Naik, Rakyat, dan Petani Makin Tercekik

Sabtu, 01 Juni 2024 | 21:24 WIB Last Updated 2024-06-01T14:24:50Z
TintaSiyasi.id -- Harga Ecer Tertinggi (HET) beras bakal naik permanen usai 31 Mei 2024 mendatang. Badan Pangan Nasional (Bapanas) tengah menyiapkan aturan tentang penetapan HET relaksasi beras yang saat ini berlaku menjadi HET permanen. (www.cnnindonesia.com, 20/5/2024)

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyampaikan, kenaikan HET beras sebetulnya hanya formalitas saja, sebab pada kenyataannya harga beras sudah lama bergerak di level Rp 13.000 per kilogram hingga Rp 15.500 per kilogram, baik untuk jenis premium maupun medium. Di sisi lain, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras dinilai sangat membantu petani. Pasalnya, sejak harga beras melonjak, HPP tidak mengalami kenaikan, sehingga petani sama sekali tidak ikut menikmati kenaikan harga beras yang sangat tajam sejak akhir tahun lalu. Hal itu, kata dia, diperburuk dengan mahal dan langkanya harga pupuk, yang membuat biaya produksi petani semakin mahal dan membuat petani semakin tidak menikmati kenaikan harga beras selama ini. (ekonomi.bisnis.com, 24/5/2024)

Realitanya, sekalipun harga beras naik, para petani tidak sejahtera, karena semisal pun mereka mendapat keuntungan, namun keuntungan itu juga akan habis untuk membeli bahan-bahan pokok yang juga melambung. Sementara di sisi konsumen, mereka akan semakin kesusahan menjangkau harga beras. 

Sejatinya, akar masalah kenaikan harga beras bukan terletak pada harga, namun rusaknya rantai distribusi beras. Hal ini bisa dilihat dari sektor hulu, ada larangan bagi petani untuk menjual beras langsung ke konsumen. Aturan ini, membuat para petani mau tidak mau akhirnya menjual gabah mereka kepada para tengkulak. 

Sementara di lapangan, banyak perusahaan besar yang siap memonopoli gabah dari petani. Mereka membeli gabah dari petani dengan harga yang lebih tinggi daripada tengkulak kecil, sehingga banyak dari mereka yang gulung tikar, karena tidak mendapatkan pasokan gabah. 

Sementara di sektor hilir, perusahaan besar tersebut menguasai rantai distribusi, setelah mendapat gabah dari petani, mereka menggiling gabah tersebut dengan teknologi canggih, sehingga menghasilkan padi berkualitas premium. Selanjutnya, mereka menguasai pasar dengan menjual beras bermerk. Monopoli perusahaan beras dari hulu sampai hilir membuat perusahaan besar mampu mempermainkan harga beras maupun menahan pasokan beras di pasar, akhirnya terjadi kekacauan supply dan demand. Praktik ini, jelas merugikan konsumen dan para petani. 

Meski sebenarnya fakta ini disadari oleh sebagian publik bahkan negara juga mengetahuinya, namun tidak banyak yang bisa dilakukan, sebab praktik monopoli para mafia pangan memang lazim dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini, menganut paham kebebasan kepemilikan, asal ada modal, apapun boleh dilakukan termasuk monopoli bahan pangan. Jadi sistem ekonomi Kapitalisme terbukti gagal menjamin kesejahteraan konsumen ataupun petani. 

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara Khilafah. Sistem ekonomi Islam terbukti berhasil menjamin kesejahteraan konsumen maupun petani. Keberhasilan ini terwujud, karena prinsip sistem ekonomi Islam adalah negara wajib menjamin kesejahteraan individu per individu. Tuntutan ini merupakan perintah dari hadist Rasulullah SAW:

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. al-Bukhari)

Maka terkait kenaikan harga beras, Khilafah akan menyelesaikan masalah tersebut dari akar masalahnya. Jika akar masalahnya terletak pada proses produksi, seperti petani kekurangan bibit, kekurangan pupuk dan kendala lain, sehingga produksi menurun, maka Khilafah akan memperbaikinya. Khilafah akan memberikan subsidi bibit, pupuk maupun memberikan saprotat kepada petani secara cuma-cuma. Inilah bentuk pe-ri'ayah-an (pengurusan) Khilafah kepada petani, sebagaimana perintah hadist Rasul. 

Khilafah juga akan memperbaiki dari sisi intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian untuk mengoptimalkan produksi gabah. Ketika produksi lancar, insya Allah, supply beras untuk masyarakat akan tercukupi. Jika akar masalahnya terletak pada proses distribusi karena permintaan mafia pangan seperti sekarang, maka Khilafah akan memutus rantai tersebut. 

Dalam Islam, monopoli dagang dan penimbunan tidak diperbolehkan, karena akan merusak mekanisme pasar. Siapapun yang berani melakukannya, Khilafah akan memberikan sanksi tegas berupa takzir kepada mereka dan mereka wajib mengembalikan kembali barang-barang tersebut ke pasar. Alhasil, para petani bisa menjual beras langsung kepada konsumen atau tengkulak. 

Sementara konsumen, akan mendapat harga terjangkau dari produsen. Selain memastikan produksi dan distribusi tidak ada kendala, Khilafah akan memastikan harga barang-barang yang tersedia di masyarakat mengikuti mekanisme pasar. Pemastian ini pun merupakan ketundukan pada syariat Islam, yang melarang ada intervensi harga. Rasulullah SAW  bersabda: 

"Allah-lah Dzat yang Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi rezeki dan Mematok harga." (HR. Ahmad dari Anas) 

Namun, Islam tidak melarang negara melakukan intervensi barang ke pasar. Kondisi ini bisa dilakukan, manakala suatu wilayah tidak mampu memproduksi suatu barang, karena terjadi bencana atau hal lain yang membuat produksi barang menurun. Kebijakan ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar, ketika wilayah Syam terkena wabah, yakni Khalifah meminta supply barang dari Irak. 

Konsep-konsep sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah ini, akan mampu menjaga agar harga beras stabil dan rakyat mudah membelinya. Tak hanya itu, distribusi beras pun dalam kendali negara bukan perusahaan.

Wallahu a'lam bishshawab

Oleh: Sumariya 
Aktivis Lisma Bali

Opini

×
Berita Terbaru Update