Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Membedah di Balik Kenaikan UKT

Sabtu, 25 Mei 2024 | 23:47 WIB Last Updated 2024-05-25T16:48:03Z

TintaSiyasi.id -- Ada yang UKT naik 200 persen, 300 persen, bahkan 500 persen ada yang 200 persen dan sebagainya. Inilah yang membuat geger dunia pendidikan tinggi baru-baru ini. Ramainya aksi mahasiswa yang menolak kenaikan UKT, pemerintah hanya menjawab kenaikan itu hanya berlaku untuk mahasiswa baru. Hal ini menegaskan kenaikan UKT memang akan terjadi.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim memastikan pihaknya menghentikan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang nilainya tak wajar di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN). Hal itu ditegaskan Nadiem dalam rapat kerja (raker) Komisi X DPR, Selasa (21/5/2024) dikutip dari Kompas.com.

Apa yang disampaikan Nadiem di atas belum bisa menjadi solusi atas kenaikan UKT yang fantastis. Ia hanya akan mengkaji tetapi tidak mencabut kebijakan yang menyebabkan UKT naik berlipat ganda. Sejatinya ada beberapa hal yang menyebabkan UKT itu mahal dan kampus memiliki hak dalam menaikkan UKT tersebut. 

Pertama, Permendikbudristek Nomor 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN Kemendikbudristek. Dikutip dari CNBC Indonesia (19/5), aturan tersebut tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud. Di dalamnya dijelaskan bila seluruh biaya yang ada di PTN merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT).

Dari data tersebut, PTN memiliki kewenangan untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa baik UKT, biaya kuliah tunggal (BKT) ataupun sumbangan pengembangan institusi (SPI). Pembiayaan UKT yang terbagi menjadi beberapa golongan tersebut berpotensi PTN bisa menarik UKT dan iuran pengembangan institusi (IPI) sesukanya dan ini juga yang menyebabkan pelayanan pendidikan menjadi lahan bisnis.

Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, Farid Darmawan, seharusnya perguruan tinggi negeri (PTN) tidak perlu menaikan UKT atau IPI terlalu besar, karena ketika menjadi PTN seharusnya kampus sudah siap dan tidak lagi berbisnis mengandalkan bantuan mahasiswa. Bantuan yang dimaksud adalah mengandalkan kenaikan UKT, IPI ataupun menambah kelompok UKT. "Kalau PTN tersebut sudah PTN-BH, sektor bisnis atau unit bisnis sudah dapat dikelola harusnya sudah seattle jangan sampai pengelola keuangan itu ditangguhkan lagi pada mahasiswa," ujarnya.

Kampus jadi badan hukum harus siap mencari sumber dana segar, jika tidak mau membebani tingginya UKT ataupun IPI. Namun, jika kampus ataupun PTN BH tidak mampu mencari sumber dana besar akhirnya beban biaya kuliah yang mahal dibebankan ke mahasiswa. Inilah lingkaran setan yang diciptakan pendidikan tinggi yang dikelola secara kapitalisme.

Kedua, General Agreement On Trade And Service (GATS). Dalam perjanjian tersebut, pendidikan merupakan bagian dari 12 komoditas jasa yang bisa diliberalisasi dan dikapitalisasi. Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia harus ikut serta menyukseskan agenda GATS tersebut. 

Dari situ muncul berbagai kebijakan-kebijakan yang bernafas liberalisasi dan kapitalisasi di bidang pendidikan seperti berubahnya status PT menjadi badan hukum. Ketika pendidikan diliberalisasi dan dikapitalisasi, maka pendidikan layaknya komoditas yang diperjualbelikan, siapa yang bisa membayar dialah yang dapat menikmati pendidikan.Otomatis orang miskin dilarang kuliah, bahkan orang menengah ke bawah dilarang kuliah juga. 

Ketiga, tata cara pengelolaan pendidikan di negeri ini menggunakan ideologi sekuler kapitalisme sehingga tidak akan bisa rakyat Indonesia merasakan pendidikan tinggi yang murah, karena konsepnya sudah kapitalisme. Andaikan ada orang miskin yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah gratis, pasti itu hanya segelintir dan tidak bisa mengcover seluruh generasi agar bisa mengenyam pendidikan tinggi dengan murah bahkan gratis. 

Inilah akal-akalan kapitalisme melakukan pembodohan yang sistematis, menjadikan pendidikan komoditas bisnis. Akhirnya yang tidak mampu bayar harus siap memiliki kemampuan apa adanya dan mencari uang sebisanya. Sekarang, kalau lulusan SMA atau SMK kira-kira kalau kerja mau jadi apa? Paling pol ya jadi buruh, kalau pun usaha, kesuksesan usahanya ditentukan oleh modal, kalau tidak punya modal besar, usahanya ya di situ-situ saja. Lalu di mana tanggung jawab negara yang katanya mencerdaskan kehidupan bangsa? Justru karena kebijakan yang berideologi kapitalisme menjadikan negara melakukan pembodohan secara struktural dan sistematis.

Oleh. Ika Mawarningtyas 
Direktur Mutiara Umat Institute 

Opini

×
Berita Terbaru Update