TintaSiyasi.id -- Rezeki adalah salah satu karunia terbesar Allah Swt. yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Ia turun sesuai hikmah, kadar, dan kepantasan. Tidak ada satu makhluk pun di muka bumi ini melainkan telah dijamin rezekinya sebagaimana firman Allah:
“Dan tidak ada suatu makhluk bergerak (di bumi) melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya.” (QS. Hud: 6).
Namun, rezeki bukan hanya soal menerima, tetapi bagaimana mengelola, mensyukuri, dan menggunakan dengan benar. Dalam karya spiritual Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari Tajul-‘Arus, beliau memberikan panduan halus dan mendalam bagaimana seorang mukmin memperlakukan rezeki, sehingga ia menjadi berkah, bernilai ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
1. Rezeki adalah Titipan, Bukan Kepemilikan Hakiki
Ibnu ‘Athaillah mengingatkan:
“Apa yang ada di tanganmu adalah titipan, sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah milikmu yang sebenarnya.”
Prinsip ini menjadikan seorang hamba tidak sombong ketika kelimpahan datang, dan tidak putus asa ketika kekurangan menghampiri. Karena hakikat rezeki bukan terletak pada jumlah, tetapi pada amanah penggunaannya.
Maka, orang beriman senantiasa berkata di dalam hatinya:
“Ini dari Allah, dan aku hanya pengurusnya.”
2. Rezeki Harus Dicari dengan Etika Tawakal
Ibnu ‘Athaillah menulis:
“Usahamu tidak menambah rezekimu, tetapi usahamu adalah ibadahmu.”
Ini tidak berarti meninggalkan usaha, tetapi memastikan usaha dilakukan dengan niat yang benar, cara yang halal, dan adab tawakal.
Tanda tawakal dalam rezeki menurut beliau adalah:
• Tidak gelisah sebelum mendapatkannya
• Tidak sombong setelah memilikinya
• Tidak sedih saat ia hilang
Karena yang memberi, menahan, dan mengganti adalah Allah.
3. Syukur adalah Kunci Bertambahnya Rezeki
Ibnu ‘Athaillah menekankan bahwa syukur bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan sikap:
“Bersyukur bukan dengan kata-kata, tetapi dengan memuliakan nikmat dan tidak menggunakannya untuk maksiat.”
Syukur menurut beliau mencakup tiga hal:
1. Hati → mengakui pemberian Allah
2. Lisan → memuji Allah
3. Anggota tubuh → menggunakan untuk kebaikan
Siapa yang menjadikan nikmat sebagai wasilah mendekat kepada Allah, maka Allah akan menambahnya dengan nikmat yang lebih tinggi, yakni ketenangan, keberkahan, dan kecukupan batin.
4. Menggunakan Harta dengan Hikmah dan Prioritas
Ibnu ‘Athaillah memberi nasihat:
“Jangan engkau keluarkan harta kecuali pada tiga hal: kewajiban, kebaikan, dan kebutuhan yang sah.”
Ini berarti seorang mukmin harus tertib dalam pengelolaan rezeki:
1. Menunaikan kewajiban
Nafkah keluarga
Zakat dan tanggungan syariat
2. Melakukan kebaikan dan kebermanfaatan
Sedekah
Infak
Membantu sesama
3. Menggunakan untuk kebutuhan
Bukan hawa nafsu
Bukan pemborosan
Bukan untuk pamer
Menurut beliau, harta yang hanya dipakai untuk kesia-siaan bukan hanya hilang dari tangan, tetapi hilang dari nilai di akhirat.
5. Kesederhanaan adalah Sumber Keberkahan
Beliau menasihati murid-muridnya:
“Siapa yang menjadikan dunia sebagai pelayan, ia akan merdeka.
Siapa yang menjadikan dunia sebagai tuan, ia akan menjadi budaknya.”
Kesederhanaan bukan berarti miskin, tetapi:
• Tidak diperbudak keinginan
• Tidak berlebihan
• Menempatkan dunia di tangan, bukan di hati
Di sinilah letak keberkahan karena harta yang sedikit, tetapi diberkahi, lebih mulia daripada banyak, tetapi tidak membawa faedah.
6. Sedekah: Sarana Membersihkan, Bukan Mengurangi
Ibnu ‘Athaillah berkata:
“Sedekah tidak mengurangi harta, tetapi membersihkannya dari hak-hak yang bukan milikmu.”
Harta tanpa sedekah adalah seperti air yang tidak mengalir. Ia akan menjadi keruh dan berbau. Namun, ketika sedekah dilakukan, harta menjadi seperti sungai yang menghidupkan banyak tanah dan jiwa.
Sedekah mencuci:
• keserakahan
• ketakutan
• ketergantungan pada selain Allah
Dan menjadikan pemiliknya dekat dengan rahmat Allah.
7. Rezeki Terbesar Bukan yang Masuk ke Tangan, Tetapi yang Menenangkan Hati
Puncak ajaran Ibnu ‘Athaillah adalah ini:
“Rezeki terbaik bukan yang memenuhi rumahmu, tetapi yang memenuhi hatimu dengan rasa cukup.”
Karena kaya bukanlah banyaknya harta, tetapi lapangnya jiwa.
Penutup: Hiduplah dengan Rezeki, Jangan Hidup untuk Rezeki
Jika seorang hamba memahami rezeki seperti yang diajarkan Ibnu ‘Athaillah — mencari dengan halal, menerima dengan syukur, menggunakan dengan amanah, dan melepaskan dengan ridha. Maka, ia akan merasakan:
• ketenangan dalam kekurangan
• kerendahan hati dalam kelimpahan
• dan kedekatan kepada Allah dalam kedua-duanya
Semoga Allah menjadikan rezeki kita berkah, halal, mencukupi, dan menjadi jalan mendekat kepada-Nya.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Dr Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo