Tintasiyasi.id.com -- Generasi dalam peradaban modern hari ini merupakan generasi yang berada dalam kemudahan akses teknologi. Berbagai penemuan yang dikembangkan oleh para pakar, peneliti dan ilmuwan telah menempatkan manusia pada proses yang instan, praktis, dan fleksibel di mana pun dan kapan pun.
Perkembangan teknologi juga telah mengantarkan pada digitalisasi banyak sekali aspek hidup, mulai dari mencukupi kebutuhan rumah tangga, pendidikan, birokrasi pemerintahan bahkan hingga konflik negara di skala internasional.
Lebih dari itu, perkembangan teknologi yang juga berimbas pada ditemukannya internet telah berhasil mengubah wajah peradaban dunia. Interaksi yang sebelumnya terkendala jarak dan teritori, kini sudah seperti tanpa batas tersebab cepatnya akses data yang bisa didapatkan bahkan dari belahan dunia yang berbeda.
Namun, kehadiran internet juga bukan tanpa side effects atau efek samping. Diseminasi informasi serta keberadaan jejaring sosial telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi generasi, termasuk di dalamnya adalah generasi muslim.
Dua Mata Pisau Teknologi
Perkembangan teknologi dan digitalisasi berbagai lini kehidupan memang merupakan suatu hal yang inevitable dan convenient, tak terelakkan tersebab perubahan zaman dan menawarkan sisi praktis pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Namun, perkembangan teknologi ini ibarat dua mata pisau. Sebab, di balik berbagai kebaikan yang hadir bersama dengannya, ia juga merupakan “silent killer” generasi jika tidak disikapi dengan benar sesuai panduan Islam.
Tren joget yang nirfaedah, flexing, generasi yang begitu bangga mengumbar aib dan maksiat diri kepada publik demi mendapatkan viral dan FYP (For You Page), hingga kerapuhan mental dan rusaknya kepribadian generasi adalah beberapa sisi pisau teknologi yang diam-diam bisa “membunuh” mentalitas muslim yang sejatinya merupakan hamba Allah dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindak-tanduknya di dunia oleh Allah al Haasib.
“Islam tanpa teknologi akan terjajah dan teknologi tanpa Islam akan menjajah” yang merupakan pernyataan dari Prof. Fahmi Amhar, salah seorang Profesor Peneliti BRIN RI, pada forum Ngobrol Ideologis yang diadakan oleh Komunitas Literasi Islam agaknya cukup menjelaskan kondisi yang menimpa umat ini berkenaan dengan perkembangan teknologi.
Umat Islam yang tak menguasai teknologi cenderung akan menjadi objek jajahan. Sebaliknya, teknologi yang dikuasai oleh kaum kafir sebagaimana hari ini, condong digunakan untuk menjajah pihak lainnya, termasuk kaum muslimin.
Teknologi yang tidak dikuasai oleh umat muslim ini menempatkan kita bukan sebatas menjadi viewers atau orang yang melihat, namun juga menjadi customers atau pelanggan yang dipandang sebagai pasar baginya untuk menjajakan produk-produknya, berupa teknologi yang dikembangkan tersebut.
Termasuk konten-konten yang terunggah ke internet, tentu tak bisa dibendung karena peradaban hari ini berpegang kepada freedom of expression atau kebebasan berekspresi. Selain itu, hal ini juga menjadi niscaya karena dunia sekarang berada di bawah payung sekularisme yang menekankan pada pencapaian kenikmatan materil semata.
Konten-konten yang bebas melanglang buana di dunia maya ini memiliki potensi merusak siapa pun yang melihatnya karena menantang dua hal dari diri individu, yakni pola pikir dan pola sikap.
Pola pikirnya bergejolak karena konten-konten tersebut membawa nilai yang banyak bertentangan dengan agama dan pola sikapnya pun sangat bisa berubah mengikuti nilai yang didapat melalui konten-konten yang diakses. Hal ini jika dibiarkan, tentu akan berdampak terhadap kualitas adab dan ketaatan generasi umat Muhammad saw. ini.
Menyoal Resiliensi Generasi
Apa yang sebetulnya dimaksud dengan resiliensi? Mengutip dari apa yang diungkapkan oleh Yaqeen Institute, resiliensi adalah “the capacity we all possess to rebound from stress and feelings of fear, helplessness and overwhelm” atau dengan kata lain sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menahan dirinya dari rasa tertekan dan takut, ketidakberdayaan serta kewalahan.
Tekanan dan kondisi yang tidak ideal yang menyebabkan hal-hal tersebut juga bisa berasal dari dunia digital, tidak melulu dari ujian hidup. Dari definisi ini saja, lemahnya resiliensi seseorang tentu memiliki korelasi terhadap bagaimana ia mampu baik dalam beradaptasi terhadap berbagai tantangan yang berasal dari luar dirinya.
Individu muslim yang terpapar begitu banyak nilai yang berasal dari luar Islam, tentu penting untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan resiliensinya. Kabar baiknya, Islam telah menggariskan segenap ikhtiar yang bisa dilakukan untuk memiliki resiliensi yang baik. Sebagaimana yang ditulis oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya yang berjudul Madarij al-Salikin, beliau mengatakan bahwa di dalam hati seseorang, terdapat penyakit, kegusaran, rasa hampa, dan kecemasan yang tidak akan terobati kecuali dengan kembali mendekat kepada Allah Swt.
Tak hanya itu, ada juga hati yang memiliki api penyesalan yang tidak akan padam kecuali dengan kepuasan terhadap perintah-Nya, larangan-Nya dan keputusan-Nya. Semua ini mengindikasikan bahwa kuat atau tidak hati seseorang, sangat ditentukan dari koneksi yang ia bangun kepada Allah Swt.
Menguatkan apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah tersebut, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan konsep mengenai asy-syakhsiyyah al-Islamiyyah atau kepribadian Islam.
Konsep ini merupakan sebuah model resiliensi yang perlu diterapkan oleh generasi muslim yang mengintegrasikan pola pikir (‘aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Islam.
Pola pikir yang senantiasa dikuatkan dengan konsistensi meneguk luasnya lautan ilmu syar’i, dikombinasikan dengan pola sikap yang selalu berusaha untuk tetap menaati Allah Swt. bagaimana pun tantangan yang muncul.
Sehingga, logikanya, apabila seseorang memiliki kepribadian yang Islami, ia tidak akan mudah untuk terbawa arus nirfaedah, tetap kokoh memegang idealisme Islam.
Hanya saja, kepribadian Islam ini agaknya sulit untuk terealisasi, mengingat aturan yang memayungi hampir seluruh kaum muslimin di dunia sekarang adalah sekularisme yang sengaja memisahkan antara Allah Swt dengan hamba-Nya.
Bagaimana mungkin aturan yang memisahkan Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya akan memberikan pengaruh baik? Bagaimana mungkin kebebasan berekspresi, termasuk mengunggah dan mengunduh konten-konten nirfaedah yang dijamin oleh negara akan bisa membangun resiliensi generasi muslim?
Sungguh, pertanyaan-pertanyaan retoris ini adalah suatu hal yang dapat dijawab oleh Islam, selama syariat-Nya yang agung diimplementasikan secara menyeluruh oleh penguasanya.[]
Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Peneliti di Institut Muslimah Negarawan)