TintaSiyasi.id -- Dalam realitas sosial kita saat ini, persoalan perilaku remaja yang bermasalah menjadi sorotan serius. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) mencatat hingga 13 November 2025, terdapat 21.945 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang tercatat bermasalah dengan hukum sepanjang 2025.
Dari jumlah terlapor, terdapat tiga jenis pekerjaan terlapor berusia kurang dari 20 tahun dengan jumlah paling banyak yaitu; mahasiswa 6.058 orang, karyawan swasta 4.201 orang dan tani 1.418 orang
Selain dari tiga jenis pekerjaan tertinggi, ada terlapor yang masih duduk di bangku sekolah atau berstatus pelajar yaitu sebanyak 145 orang.
Mayoritas terlapor berjenis kelamin laki-laki, yaitu 19.115 orang, sementara 2.125 orang adalah perempuan. (disway.id, 2/12/2025)
Selain itu, fenomena kenakalan remaja, mulai dari merokok, tawuran, pergaulan bebas, hingga penyalahgunaan narkoba dan tindak kriminal lainnya telah menjadi masalah sosial yang makin kompleks. Studi menunjukkan kenakalan remaja di Indonesia terus meningkat, dipengaruhi oleh faktor internal seperti krisis identitas dan kontrol diri yang lemah, serta faktor eksternal seperti lingkungan keluarga yang kurang efektif dan minimnya pemahaman agama di kalangan remaja.
Namun pertanyaan yang lebih mendalam adalah, apa penyebab struktural dari fenomena ini? Banyak yang melihat gejala sebagai akibat individual, tetapi pendekatan yang lebih komprehensif mengarahkan kita kepada akar sistemik, yakni sekularisme-kapitalisme.
Sekularisme: Pemisahan Agama dari Kehidupan
Sekularisme adalah gagasan yang memisahkan agama dari ranah publik, termasuk pendidikan, hukum, dan kebijakan negara. Dalam konteks pendidikan modern, sekularisme mendorong kurikulum yang menempatkan agama sebagai sesuatu yang bersifat privat atau bahkan marginal, sementara pengetahuan duniawi dan nilai pasar diposisikan sebagai hal utama.
Model pendidikan ini pada akhirnya melahirkan generasi yang minim kecakapan spiritual dan moral karena agama hanya dipandang sebagai pilihan pribadi, bukan landasan hidup.
Berbagai studi internasional menunjukkan kecenderungan generasi muda di masyarakat sekuler semakin menjauh dari identitas dan praktik keagamaan mereka. Misalnya, penelitian keagamaan lintas negara memperlihatkan remaja di banyak masyarakat Barat memiliki keterikatan agama yang rendah, seringkali memilih agama hanya sebagai aspek privat daripada kompas moral yang mengatur perilaku sosial.
Pendekatan pendidikan sekuler membuat sistem nilai agama tidak terintegrasi secara organik dalam setiap aspek pembelajaran. Integrasi nilai iman seringkali dipersempit menjadi mata pelajaran agama pilihan, bukan menjadi landasan etika yang melingkupi seluruh perilaku siswa.
Ketika agama tidak menjadi bagian penting dalam kurikulum dan kehidupan sekolah sehari-hari, remaja hina tidak mendapatkan perlindungan moral terhadap pengaruh permisif budaya populer, tekanan teman sebaya, serta kompetisi individualisme yang kerap keras terhadap mereka.
Kapitalisme dan Konsumerisme: Budaya yang Mudah Membentuk Nilai-Nilai Pra-Paradigma
Selain sekularisme, kapitalisme modern juga memainkan peran besar dalam krisis nilai di kalangan remaja. Kapitalisme menekankan kompetisi tanpa henti, nilai materi sebagai ukuran sukses, dan kepuasan instan sebagai tujuan hidup.
Ketika kapitalisme menjadi ideologi yang merasuk ke semua aspek kehidupan, maka pendidikan, media, dan teknologi menjadi mesin promosi gaya hidup konsumtif yang sering bertentangan dengan nilai moral agama.
Budaya konsumerisme mengajarkan remaja untuk mencari arti hidup melalui kepemilikan, popularitas, atau pencapaian duniawi semata bukan melalui pencarian makna batin dan hubungan dengan Sang Pencipta.
Akibatnya, kita menyaksikan fenomena remaja yang terkena dampaknya nekat melakukan tindakan kriminal kecil, seperti pencurian atau tawuran kadang dilakukan bukan semata karena kebutuhan, tetapi karena pencarian “identitas sosial” melalui cara yang salah. Dan ketika agama diposisikan sebagai perkara privat, remaja kehilangan jangkar moral yang kuat untuk menahan laju arus tersebut.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku sistem politik Islam Nizham al-Islam, menekankan bahwa Islam bukan sekadar agama ritual privat, tetapi sebuah sistem kehidupan yang mencakup hukum, pendidikan, ekonomi, dan akhlak.
Dalam pandangannya, jika sebuah masyarakat memisahkan agama dari sistem sosialnya (termasuk pendidikan), maka masyarakat tersebut akan mengalami kerusakan akhlak generasi.
Pendidikan yang sehat bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk jiwa yang taat kepada Allah, berakhlak mulia, dan memiliki visi hidup yang jelas dalam bingkai syariat Islam.
Menurut beliau, Islam mendidik remaja bukan sekadar agar cerdas, tetapi agar salih, yakni individu yang mampu berperilaku benar, menjaga diri dari dosa, dan memiliki hubungan vertikal dengan Allah serta hubungan horizontal dengan sesama secara adil dan rahmah.
Dengan demikian, solusi yang beliau ajukan bukan hanya reformasi pendidikan semata, tetapi transformasi sistem pendidikan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh di mana iman dan ilmu tidak dipisahkan, di mana moral dan akhlak menjadi inti proses pembelajaran, dan di mana remaja diajar untuk menjadi pemuda yang kuat secara spiritual serta produktif secara sosial.
Solusi Islam dan Rekomendasi Konkret
Pertama, negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam demi mewujudkan generasi yang berkepribadian Islam.
Pendidikan agama harus masuk ke dalam seluruh mata pelajaran sebagai nilai dasar, bukan hanya sebagai mata pelajaran tersendiri. Ketika matematika diajarkan, remaja diajarkan pula kejujuran dalam berhitung, ketika bahasa diajarkan, remaja juga diajarkan adab berbicara menurut ajaran Islam.
Kedua, pendidikan karakter yang berbasis syariat.
Sekolah dan masyarakat harus menempatkan pendidikan karakter yang berakar pada syariat sebagai prioritas utama, bukan sekadar pencapaian akademis dan nilai pasar.
Ketiga, penguatan keluarga dan peran orang tua.
Agama harus hadir secara konsisten di rumah sebagai teladan, bukan sekadar ritual formalitas. Keluarga yang kuat secara spiritual jauh lebih efektif menjaga remaja dari problem sosial.
Keempat, pembentukan komunitas religius yang mendukung.
Komunitas remaja Islam yang aktif akan membantu remaja menemukan group yang positif, bukannya terjebak dalam budaya permisif yang merusak akhlak.
Kelima, peran negara dan kebijakan publik.
Negara perlu mereformasi sistem pendidikan nasional agar jangan lagi mengadopsi model sekuler yang memisahkan moral dan spiritual dari kurikulum, tetapi membangun human capital yang berintegrasi dengan nilai-nilai agama.
Fenomena kenakalan remaja dan masalah perilaku lainnya bukan sekadar persoalan individu, tetapi gejala sistemik dari sekularisme-kapitalisme yang merenggangkan nilai agama dari kehidupan bermasyarakat dan pendidikan.
Ketika agama diyakini dan dijadikan pedoman dalam semua lini kehidupan (termasuk pendidikan) remaja tidak hanya menjadi berilmu, tetapi juga berakhlak dan salih. Itulah generasi yang bukan trouble maker, tetapi agent of rahmah. []
Nabila Zidane
Jurnalis