TintaSiyasi.id -- Keputusan pemerintah dan DPR untuk tidak mempidanakan pemberian obat penggugur kandungan bagi korban pemerkosaan, kembali memantik perdebatan publik. Kebijakan itu masuk dalam Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana, setelah Fraksi PAN dan NasDem mengusulkan penambahan ayat dalam Pasal 251. Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyatakan pemerintah menerima usulan ayat 3, yang memberikan pengecualian bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual dengan usia kandungan di bawah 14 minggu atau dalam kondisi medis membahayakan. (CNN Indonesia, 1-12-2025)
Meski memberi kesan sebagai terobosan, regulasi semacam ini sejatinya bukan hal baru. UU Kesehatan Nomor 36/2009 serta PP 61/2014 telah membuka pintu aborsi dalam kondisi tertentu, seperti ancaman keselamatan ibu, kelainan janin berat, dan kehamilan akibat perkosaan. PP Kesehatan Reproduksi bahkan membatasi tindakan aborsi akibat pemerkosaan hanya hingga usia kehamilan 40 hari, jika mengacu pada hitungan HPHT. Artinya, koridor hukum terkait aborsi sudah lama tersedia. Yang berubah hanyalah celah-celah baru yang ditambahkan.
Pertanyaannya, apakah penyesuaian RUU ini sungguh menjawab beban psikologis korban kekerasan seksual? Ataukah kita sekadar terus-menerus berkutat pada solusi tambal sulam yang tidak menyentuh akar persoalan?
Aborsi: Definisi, Realitas, dan Faktor Pemicu
Secara bahasa, aborsi berarti pengguguran kandungan. Permenkes 3/2016 mendefinisikannya sebagai upaya mengeluarkan konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim. Dalam praktik, keputusan aborsi sering lahir dari tekanan sosial, kehamilan di luar nikah, masalah ekonomi, minim dukungan keluarga, atau relasi tidak sehat. Sebagian lain terjadi karena kehamilan yang membahayakan ibu atau janin.
Namun, melonjaknya angka aborsi tidak dapat dipisahkan dari fenomena yang lebih besar, yakni derasnya arus konten permisif di ruang digital. Kebebasan berperilaku yang dianggap bagian dari HAM, ditelan mentah-mentah tanpa pengawasan negara. Konten vulgar, normalisasi hubungan bebas, hingga gaya hidup liberal menjadi konsumsi massal. Akibatnya, norma agama dan etika terkikis, sementara generasi muda terpapar tanpa filter memadai.
Negara membiarkan ruang digital bergerak liar. Tidak ada pengawasan serius, tidak ada penegakan hukum yang konsisten, dan tidak ada perlindungan moral kolektif. Celah inilah yang akhirnya melahirkan perilaku menyimpang, kehamilan tidak diinginkan, dan pada akhirnya aborsi.
Kebijakan Tambal Sulam dan Lemahnya Paradigma Hukum
RUU Penyesuaian Pidana menunjukkan satu hal, para pembuat kebijakan lebih sibuk menyusun aturan demi aturan ketimbang menuntaskan akar masalah. Negara memilih jalan paling mudah, mengakomodasi aborsi sebagai solusi jangka pendek, alih-alih mengoreksi sistem yang melahirkan kekacauan moral.
Di balik semua itu ada problem lebih mendasar, manusia dijadikan pembuat hukum, padahal manusia terbatas, kontradiktif, dan tidak mampu melahirkan aturan komprehensif. Maka lahirlah regulasi yang terus direvisi, diperbaiki, dan ditambal. Semua menjadi bukti bahwa paradigma hukum buatan manusia tidak pernah tuntas menyelesaikan masalah.
Islam dan Posisi Tegas terhadap Aborsi
Dalam Islam, aborsi adalah tindakan yang pada dasarnya haram karena berarti menghilangkan nyawa yang Allah ciptakan. Firman Allah dalam QS. Al-An’am: 151 melarang pembunuhan jiwa tanpa sebab yang dibenarkan. Begitu pula QS. Al-Isra: 31 melarang membunuh anak karena takut miskin. Namun, Islam memberi rincian hukum sebagai berikut:
Pertama, aborsi setelah usia 40 hari haram secara mutlak, karena fase tersebut sudah masuk tahap penciptaan manusia. Hadis riwayat Muslim menegaskan bahwa setelah 42 hari, malaikat mulai meniupkan unsur penciptaan (pendengaran, penglihatan, dan seterusnya).
Kedua, aborsi sebelum 40 hari diperbolehkan, karena masih berada pada fase nutfah dan belum disebut sebagai janin. Hukumnya setara dengan ‘azl (mencegah terjadinya kehamilan). Itu pun dibolehkan bila kehamilan mengancam nyawa ibu, dan dilakukan dengan pengawasan ketat negara dan tenaga medis. Dengan demikian, Islam menetapkan batasan jelas, tanpa inkonsistensi hukum dan tanpa celah multi-tafsir seperti yang kita lihat pada regulasi kapitalistik hari ini.
Melindungi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem Islam
Dalam Islam, korban perkosaan tidak pernah dipersalahkan. Allah Swt. menegaskan dalam QS. Al-An’am: 145 bahwa orang yang terpaksa tidak berdosa. Negara wajib memberi perlindungan, pendampingan psikologis, dan pemenuhan kebutuhan bagi korban, termasuk kebutuhan selama kehamilan. Tidak ada pembiaran, tidak ada stigma sosial, dan tidak ada tekanan yang membuat korban merasa aborsi adalah satu-satunya jalan.
Pelaku diproses dengan hukum yang menimbulkan efek jera. Pelaku zina muhshan dirajam. Pelaku ghairu muhshan dicambuk. Adapun dalam kasus pemerkosaan disertai kekerasan, hukuman dapat diperberat. Hukuman tegas ini bukan hanya pembalasan, tetapi juga mekanisme pencegahan sosial yang efektif.
Mengapa Islam Menawarkan Solusi Lebih Menyeluruh?
Islam tidak hanya mengatur hukum aborsi, tetapi mengatur seluruh ekosistem kehidupan, seperti moralitas publik, sistem pendidikan, pengawasan negara, hingga media. Dengan mekanisme ini, faktor-faktor pemicu kehamilan yang tidak diinginkan dapat dicegah sejak hulu.
Oleh karena itu, negara wajib menutup pintu konten merusak, menjaga perilaku publik sesuai syariat, memperkuat ketahanan keluarga, dan menegakkan sistem sosial yang sehat dan bermartabat. Islam tidak menunggu masalah muncul dulu baru mencari solusi tambal sulam. Islam menyelesaikan persoalan dari akarnya.
Khatimah
RUU Penyesuaian Pidana mungkin tampak sebagai solusi manusiawi, tetapi sejatinya ia tidak menyelesaikan akar masalah. Aborsi tetap menjadi jalan pintas yang menyisakan luka batin, kebingungan moral, dan kontradiksi hukum. Sistem kapitalisme liberalisme yang membiarkan kerusakan hulu inilah yang harus dikritisi.
Islam hadir dengan aturan yang konsisten, tegas, dan menyeluruh, yakni melindungi korban, menghukum pelaku, menjaga moral publik, sekaligus menata lingkungan sosial agar aborsi tidak lagi menjadi dilema yang berulang. Bukankah jika akar tetap dibiarkan busuk, buah yang tumbuh tidak akan pernah sehat?
Wallahu a'lam bishshawab.[]
Oleh: Mila Amartiar
Aktivis Muslimah