Tintasiyasi.id.com -- Baru-baru ini (15/12/25) tertangkap basah seorang oknum guru sekolah bersama dengan seorang pemuda di dalam toilet masjid kawasan Bungus Teluk Kabung (Bungtekab), Kota Padang.
Sebagaimana yang dilansir dari sumbardaily.com, perilaku tidak senonoh oleh sesama jenis itu berhasil diketahui oleh warga dan aparat setelah pengurus masjid mendapati ada dua laki-laki dewasa di dalam kamar mandi masjid.
Miris sekali rasanya mendengar kabar ini mencuat ketika wilayah Sumatra Barat beberapa waktu lalu diterjang banjir bandang (galodo) hingga menewaskan ribuan orang. Bahkan belum kering lumpurnya, sekarang malah didapati oknum masyarakatnya melakukan aktivitas terlaknat, homoseksual, di tempat Allah Swt. disembah.
Homoseksual atau gay yang termasuk dalam akronim LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) diketahui aktivitasnya semakin hari semakin menyeruak saja. Jika sebelumnya hanya terjadi pada kalangan tertentu, virus laknat kaum nabi Luth AS. ini sudah merebak hampir di semua lapisan masyarakat, tanpa memandang lokasi dan profesi.
Dahulu, orang melakukan perbuatan hina ini harus sembunyi-sembunyi, namun tidak untuk masa yang lekat nuansa kebebasan sekarang. Seolah sudah menjadi sesuatu yang maklum, ketika masyarakat sudah tidak begitu mempersoalkan aktivitas penyimpangan seksual ini.
Bahkan para pelaku liwath, yang sayangnya juga berasal dari kalangan umat Islam, sudah berani terang-terangan menunjukan perbuatan keji itu di hadapan publik. Tanpa takut, tanpa rasa malu.
Hal ini dapat dikatakan sebagai kolaborasi dari masyarakat yang enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan para pelaku yang sudah tak sungkan menampakkan kebejatannya di tempat umum.
Ditambah lagi, jika melihat negara dengan kebijakan hukumnya, ternyata tidak bisa menindak tegas perilaku nista ini. Bahkan dalam UU KUHP Pasal 292 yang lama (dan ketentuannya diperluas dalam KUHP baru/UU No. 1 Tahun 2023) menyatakan bahwa para pelaku hanya bisa dikenai sanksi pidana jika berusia di bawah 18 tahun (belum cukup umur).
Sehingga apabila pelaku ini minimal sudah berusia 18 tahun dan dilakukan atas dasar adanya sexual consent alias suka sama suka, maka tidak bisa dihukum berdasarkan hokum yang ada di negara ini.
Tidak mengherankan bila para penyeru dan pelaku aktivitas seksual menyimpang ini merasa tenang dan semakin mendapat tempat di negeri ini. Lantas, apa sebetulnya yang menyebabkan negara seolah sulit sekali memberantas perilaku yang bisa “memanggil” azab Allah Swt. ini?
Akar Masalah Maraknya LGBT
Dalam negara yang menerapkan konsep hidup sekularisme, yaitu pemisahan aturan agama dari kehidupan dan negara, menjadikan semua perilaku yang dilarang agama tidak lagi ditaati oleh individu masyarakatnya.
Hal ini karena dalam konsep sekularisme, aturan agama hanya berlaku pada ranah privat yang terbatas pada aktivitas ibadah dan akhlak saja, meski seringnya soalan akhlak pun sudah tidak diindahkan lagi. Sedangkan untuk aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, maka kondisinya mengharuskan “steril” dari aturan Tuhan.
Kebebasan individu menjadi hal yang sakral dan diagungkan bahkan wajib dijamin oleh undang-undang. Pada akhirnya, konsekuensi logis dari prinsip ini adalah manusia membuat aturan sendiri untuk mengatur kehidupan mereka mulai dari kehidupan pribadi hingga bermasyarakat dan bernegara.
Pada kasus liwath, pelarangan terhadap aktivitas laknat ini dianggap mencederai HAM sehingga seharusnya tidak boleh terjadi. Wajar dalam negara sekuler, meski penduduknya didominasi oleh kaum muslimin, amat sulit didapati regulasi yang bisa digunakan untuk menghukum pelaku nista ini.
Bahkan keberadaan mereka pun akan dijamin dalam negara sekuler, yang tidak lain merupakan bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, tak peduli semenyimpang apa pun ia dari kodrat ilahi.
Ketegasan Islam Menindak Perilaku Liwath
Al-Qur’an telah secara gamblang menceritakan bagaimana Allah Swt. sendiri yang harus turun tangan untuk menyelesaikan penyimpangan kaum nabi Luth AS. Ini. Sebagaimana yang termaktub di dalam surah Al-Hijr ayat 73-76 yang artinya,
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur ketika matahari terbit. Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sungguh, (negeri) itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia).”
Hukuman yang sangat pedih ditimpakan oleh Allah Swt. kepada kaum Sodom dan Gomora karena perbuatan keji yang mereka lakukan, yaitu menyalurkan syahwat seksual kepada sesame jenis. Jika Allah Swt. saja membenci perbuatan mereka, mengapa manusia justru mendiamkan dan membiarkan perilaku keji itu tetap berlangsung hingga sekarang?
Hukuman keras ini tentu tidak bisa datang dari individu atau bahkan kelompok masyarakat yang menjalankannya. Butuh perangkat yang lebih kuat dari sekadar individu atau pun masyarakat yang tak lain tak bukan adalah kekuasaan negara.
Negara di dalam Islam wajib mengemban amanah untuk mencegah dan menyelesaikan penyakit sosial ini. Homoseksual bila tidak diberantas akan menjadi masalah yang tentu memengaruhi iman, kesehatan, moral, hingga hukum dalam masyarakat.
Negara harus bisa tegas dan beraksi nyata untuk menghentikan praktik nista ini sampai ke akarnya. Jangan sampai Allah Swt. yang harus bertindak dengan menurunkan azab kepada masyarakat, tanpa memandang korbannya apakah pelaku kemaksiatan ataukah seorang yang beriman.
Hanya saja negara yang tegas ini tidak lahir dari konsep hidup sekuler yang memuja kebebasan. Hukuman yang tegas dan memberi efek jera ini hanya bisa muncul, apabila negara menerapkan syariah Allah Swt. dalam kehidupan sebagai wujud implementasi dari surah Al Hijr di atas.
Negara itu tidak lain adalah negara yang menjalankan aspek pemerintahannya berdasarkan apa yang diturunkan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi, yaitu Negara Islam.
Meskipun para ulama berbeda pendapat terkait jenis hukuman untuk pelaku homoseksual, namun mereka sepakat bahwa homoseksual ini termasuk dosa besar sehingga hukumannya tidak main-main. Bahkan tidak ada ulama yang diam terhadap balasan para pelakunya. Mulai dari hukuman ta’zir, disamakan dengan hukuman zina hingga hukuman mati, sebagai bentuk upaya menghentikan perbuatan dosa ini.
Dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh dari hulu hingga ke hilir oleh negara Islam, insyaallah masyarakat serta individu di dalamnya akan senantiasa terjaga dan dijaga dari perbuatan keji dan dosa seperti LGBT. Wal ‘iyadzu billah.[]
Oleh: Ninik Rahayuningsih
(Aktivis Muslimah)