Tintasiyasi.id.com -- Krisis yang melanda generasi muda dan kaum ibu hari ini bukan sekadar krisis moral, tetapi krisis arah hidup. Sekularisasi yang menyusup melalui sistem pendidikan, media, dan digitalisasi telah menjauhkan umat dari jati diri Islam sebagai ideologi perubahan.
Generasi muda kehilangan orientasi sebagai pelopor kebangkitan, sementara kaum ibu yang sejatinya ummun wa rabbatul bayt diposisikan sebagai objek pasar dan tenaga ekonomi, bukan pendidik peradaban.
Allah SWT telah mengingatkan bahwa umat ini memiliki misi yang jauh lebih besar dari sekadar bertahan hidup,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
(QS. Ali ‘Imran: 110)
Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam termasuk ibu dan generasi muda diciptakan sebagai agen perubahan, bukan penonton sejarah.
Namun misi besar ini tidak akan terwujud tanpa adanya jamaah dakwah Islam ideologis yang membina umat secara terarah.
Allah SWT menegaskan kewajiban keberadaan jamaah,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali ‘Imran: 104)
Ayat ini tidak berbicara tentang dakwah individual yang sporadis, tetapi tentang jamaah yang terorganisasi dengan visi perubahan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan,
“Umat tidak akan bangkit kecuali dengan sebuah jamaah yang mengemban Islam sebagai ideologi, membina umat dengannya, dan berjuang untuk menerapkannya dalam kehidupan.”
(Nizhamul Islam)
Artinya, pembinaan umat terutama ibu dan generasi muda harus bersifat ideologis, bukan sekadar moralistik. Mereka harus memahami Islam sebagai pandangan hidup, sistem hukum, dan solusi peradaban.
Kaum ibu memegang peran strategis karena dari merekalah generasi dibentuk. Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Seorang ibu adalah pemimpin dalam rumahnya dan bertanggung jawab atas arah pemikiran dan karakter anak-anaknya. Tanpa pembinaan Islam ideologis, ibu akan sulit melahirkan generasi yang sadar misi.
Begitu pula generasi muda. Rasulullah SAW memuji mereka yang kuat iman dan visinya,
“Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pemuda seperti ini tidak lahir dari sistem sekuler, tetapi dari tatsqif (pembinaan) yang terarah. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam At-Takattul al-Hizbi,
“Pembinaan adalah proses membentuk kepribadian Islam pada individu hingga ia mampu berinteraksi dengan masyarakat untuk mewujudkan perubahan.”
Inilah metode Rasulullah SAW pada fase Makkah, yaitu membina sahabat dengan akidah dan tsaqafah Islam hingga lahir pribadi-pribadi yang kokoh dan berani. Setelah itu barulah dakwah diperluas ke masyarakat dan diarahkan pada perubahan sistemik.
Karena itu, di tengah dominasi sekularisme dan kapitalisme, jamaah dakwah Islam ideologis bukan pilihan, melainkan kebutuhan umat. Ia membina ibu agar kembali menjadi pusat pendidikan peradaban.
Ia membina pemuda agar bangkit sebagai pelopor perubahan. Dan ia mengarahkan umat untuk memperjuangkan Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh.
Dari rumah para ibu, lahir generasi berideologi. Dari generasi berideologi, bangkit sebuah peradaban. Dan dari sanalah Islam kembali memimpin dunia dengan keadilan.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)