Tintasiyasi.id.com -- Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam tidak berdiri di atas sekadar tumpukan angka populasi, melainkan di atas fondasi kokoh bernama "Kepemimpinan Berpikir". Dengan kemampuan berpikirnya yang tinggi, suatu bangsa mampu melahirkan peradaban besar.
Namun, jika kita menilik kondisi hari ini, kita mendapati fenomena penurunan kemampuan berpikir pada generasi muda Islam. Sebuah ironi di tengah samudera informasi yang melimpah, generasi muda yang menjadi pewaris masa depan, justru mereka terjebak dalam pendangkalan arus berpikir yang mengkhawatirkan.
Fakta ini bukan sekadar asumsi emosional. Data survei pada kelompok usia 16–18 tahun mengungkapkan bahwa mayoritas responden (52%) mengalami degradasi konsentrasi akibat penggunaan intensif media sosial berbasis video pendek (psikologi.umsida.ac.id, 2025).
Selain itu, 44% responden melaporkan fenomena brain fog, yang ditandai dengan penurunan daya ingat dan kejelasan berpikir. Begitu juga dari studi yang mengacu pada temuan psikologis, psikiatris, dan neuroimaging terbaru menunjukkan bahwa internet dapat menghasilkan perubahan akut dan berkelanjutan di setiap area kognisi yang tercermin dalam perubahan di otak (Firth et al., 2019).
Hal ini mengonfirmasi bahwa pola konsumsi digital yang eksesif secara signifikan mengganggu kesehatan kognitif remaja.
Kondisi ini membuat kita bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi? Jika diteliti secara mendalam, kedangkalan berpikir ini sebenarnya adalah desain sistemik.
Di bawah payung besar kapitalisme sekuler, algoritma digital diciptakan untuk memaksimalkan keuntungan melalui ketergantungan. Kapitalisme menciptakan habitat yang memuja kecepatan di atas kebenaran, dan menaruh hiburan receh jauh di atas pemikiran yang mendalam.
Akibatnya, otot kritis untuk membedah argumen yang berbeda menjadi atrofi atau menyusut. Hiburan berdurasi pendek telah memangkas attention span atau rentang perhatian manusia menjadi hitungan detik.
Penurunan kemampuan berpikir kritis dan fungsi kognitif ini bukanlah sekadar efek samping yang tak disengaja, melainkan sebuah alarm keras bagi masa depan kepemimpinan sebuat bangsa terutama umat Islam.
Dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sosial-politik kita. Penurunan daya pikir melahirkan generasi "pengekor" yang kehilangan jati diri. Mereka menjadi konsumen setia ideologi asing tanpa memiliki filter akidah yang kuat. Krisis kepemimpinan pun tak terelakkan.
Ketika sebuah bangsa kehilangan pemimpin yang mampu berpikir mendalam, kebijakan yang lahir hanyalah reaktif, jangka pendek, dan tidak menyentuh akar permasalahan. Umat Islam akan terus berada di pinggiran sejarah, hanya menjadi penonton di saat bangsa lain sibuk mendesain masa depan dunia
Namun, di tengah ancaman krisis kognitif tersebut, sebenarnya masih tersimpan harapan besar yang menanti untuk dioptimalkan. Potensi generasi muda saat ini sangatlah dahsyat. Mereka memiliki aksesibilitas tanpa batas dan konektivitas global yang tak pernah dimiliki generasi sebelumnya.
Jika energi besar ini dipadukan kembali dengan tradisi tafakkur (berpikir mendalam) dan tadabbur (perenungan), mereka akan menjadi motor penggerak kebangkitan peradaban Islam yang tak terbendung.
Kebangkitan Islam selalu bermula dari kebangkitan berpikir saat wahyu dijadikan standar untuk membedah sains, teknologi, dan realitas sosial.
Solusi untuk mengatasi problematika ini haruslah sistemik dan dimulai dari sekarang. Kita harus merekonstruksi kembali pola pikir umat. Islam pada dasarnya tidak pernah menolak teknologi.
Namun, Islam menempatkan batasan syariat yang tegas di balik penggunaan teknologi tersebut. Generasi muda harus memiliki kedaulatan untuk mengendalikan perangkat digitalnya demi kepentingan Islam dan kemaslahatan umat, bukan justru menjadi hamba yang dikendalikan oleh algoritma.
Transformasi ini juga tidak bisa diserahkan pada individu semata. Dibutuhkan upaya pembinaan literasi ideologis yang dilakukan secara sistematis. Dimulai dari lingkup terkecil yakni keluarga, diperkuat di institusi sekolah, hingga didukung oleh budaya kritis di masyarakat.
Namun, semua ini akan mencapai efektivitas maksimal jika dilakukan oleh negara melalui seperangkat aturan dan kekuasaan yang berlandaskan wahyu, yang mampu memfilter konten merusak dan mendukung kecerdasan umat.
Pada akhirnya, kebangkitan Islam bukanlah sebuah kebetulan sejarah yang jatuh dari langit.
Ia adalah buah dari kerja keras intelektual yang tercerahkan oleh cahaya tauhid. Oleh karena itu, generasi muda berhenti menjadi objek algoritma dan mulai mengambil kendali sebagai subjek peradaban.[]
Oleh: Sri Mellia Marinda
(Ibu Peduli Generasi)