TintaSiyasi.id -- Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) melalui Intellectual Opinion No. 030 memperingatkan bahwa tekanan kuantitatif terhadap tren globalisasi pendidikan tinggi di Indonesia telah mengubah hakikat pendidikan, yang seharusnya merupakan proses memanusiakan manusia dan pembentukan nalar, karakter, nurani, serta orientasi hidup.
“Tekanan kuantitatif terhadap tren
globalisasi pendidikan tinggi di Indonesia telah mengubah hakikat pendidikan,
yang seharusnya merupakan proses memanusiakan manusia dan pembentukan nalar,
karakter, nurani, serta orientasi hidup,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID,
Senin (08/12/2025).
Jika ruh pendidikan hilang, HILMI
menyebut bahwa bangsa berisiko melahirkan generasi yang "kaya gelar,
miskin makna," serta "tinggi sitasi, rendah empati," sehingga
kehilangan arah mata angin moral.
“Tren globalisasi pendidikan tinggi
di Indonesia menjadikan pemeringkatan seperti QS dan THE sebagai tujuan utama,
bukan alat bantu,” ulas HILMI.
HILMI menegaskan bahwa masalah
mendasar muncul ketika alat pemetaan global ini berubah menjadi "tuhan
baru" dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Kritik itu muncul karena fokus pada
ranking, yang disinyalir HILMI telah menyebabkan universitas tidak lagi
dikelola berdasarkan hakikat pendidikan, melainkan berdasarkan optimasi
algoritma global.
“Akibatnya, ruh pendidikan tinggi semakin menipis. Kampus-kampus menjadi ramai publikasi dan sibuk angka, tetapi sunyi dari perenungan makna,” pungkas HILMI.[] Rere
