Tintasiyasi.id.com -- Menko Pangan Zulkifly Hasan (Zulhas) berdiri memikul sekarung beras 10 kilogram seolah sedang memikul seluruh duka rakyat. Kamera menyorot, ponsel merekam, drone melayang, dan publik disuguhi citra kepedulian yang heroik.
Tubuhnya sedikit membungkuk, namun wajahnya tetap tersenyum, seolah kehadirannya adalah jawaban atas bencana. Suara netizen memecah adegan penuh drama itu: “Lah, ini kan gara-gara lu dulu!” Bencana itu memang air, tapi kritik datang seperti badai yang tidak mau berhenti.
Semua orang tampaknya tahu sejarah yang tak mau hilang: sebelum menjadi Menko Pangan, Zulhas pernah menjadi Menteri Kehutanan 2009 - 2014, era ketika izin perkebunan sawit di Sumatra mengalir deras.
Hutan yang dulu menjadi penyangga ekologis berubah menjadi hamparan monokultur yang rapi bagi korporasi besar. Yang dulu pepohonan tinggi menjaga resapan air kini berganti dengan parit-parit drainase perkebunan.
Ekosistem rusak, daya dukung tanah hilang, dan banjir menjadi tamu tahunan yang makin brutal. Saat itu keputusan terasa “pro-investasi”, kini dampaknya terasa “pro-bencana”. Jejak pena dan stempel kebijakan itu kini berdiri di hadapannya, dalam bentuk genangan setinggi dada warga (kompasiana.com, 1/12/2025)
Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa publik semakin sadar, bahwa bencana hari ini bukan semata tragedi alam, tetapi buah dari kebijakan perizinan yang dikeluarkan negara sendiri.
Dalam sistem demokrasi-kapitalis, pejabat dipilih untuk tampil, bukan untuk mencegah. Mereka bekerja mengikuti logika elektoral, bagaimana membangun citra, menaikkan popularitas, dan memastikan elektabilitas terjaga.
Maka tidak heran ketika bencana terjadi, yang pertama dilakukan adalah “turun lapangan” dengan rombongan media lengkap.
Sistem Demokrasi memang lihai mencetak pemimpin yang sibuk tampil di depan kamera, bukan pemimpin yang siap memikul amanah secara sunyi.
Namun publik tidak lupa bahwa kerusakan hutan yang memicu banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor bukan terjadi dalam sehari. Itu adalah hasil dari tanda tangan perizinan yang mengalihkan ratusan ribu hektare kawasan hutan kepada korporasi sawit, tambang, dan konsesi industri.
Semua legal, semua sah di atas kertas negara, dan semua mengalir mengikuti logika kapitalisme, selama menguntungkan, dilepas dan selama membawa pemasukan, diizinkan. Inilah wajah kapitalisme-liberal, negara hanya menjadi stempel legalitas bagi kepentingan swasta yang lebih kuat. Dan menterinya (siapapun orangnya) hanyalah pelaksana regulasi yang tunduk pada arah sistem.
Maka wajar ketika publik menganggap kehadiran pejabat di lokasi bencana hanya ornamen. Apa artinya memikul karung lima kilogram jika puluhan ribu hektare hutan hilang oleh izin yang dikeluarkan kementerian yang sama?
Apa gunanya kamera yang menangkap adegan heroik, jika akar bencana tidak pernah disentuh? Demokrasi menempatkan pejabat sebagai aktor panggung, bukan penanggung jawab kerusakan struktural yang mereka buat bersama sistem yang menopangnya.
Padahal dalam Islam, kepemimpinan tidak dibangun di atas pencitraan. Tidak dicari dengan popularitas, dan tidak dipertahankan dengan drama bantuan untuk korban bencana.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah memikul gandum untuk rakyatnya di tengah malam, tanpa wartawan, tanpa kamera, tanpa pencitraan. Yang menyaksikan hanya Allah dan pembantunya.
Umar melakukannya bukan untuk menaikkan elektabilitas, tetapi karena takut jika satu rakyatnya saja kelaparan, Allah akan meminta pertanggungjawaban. Syariat Islamlah yang membentuk pemimpin yang takut kepada Allah, bukan takut kehilangan suara.
Mekanisme Islam Mencegah Bencana
Islam memiliki mekanisme pencegahan bencana yang tidak dimiliki demokrasi. Dalam Islam, hutan merupakan milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum) yang tidak boleh diberikan kepada swasta untuk dikelola demi profit.
Negara wajib menjaga kawasan lindung, mengelola air, tanah, dan hutan untuk keberlanjutan, bukan dana kampanye. Khalifah bertanggung jawab memastikan distribusi lahan adil, mencegah korporasi merusak lingkungan, dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar.
Karena itu, bencana seperti banjir besar akibat deforestasi tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan syariat. Kebijakan mencegah lebih dahulu daripada memperbaiki citra setelah semuanya terlambat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam banyak karyanya menjelaskan bahwa kerusakan negara pada akhirnya selalu kembali pada sistem yang rusak, bukan sekadar individunya.
Menurut beliau, sistem kapitalisme menjadikan negara sebagai penjaga kepentingan pemodal. Selama hukum dibuat berdasarkan kepentingan manfaat, bukan ketakwaan, maka kerusakan akan terus terjadi, hutan dijual, air dikomersialisasi, dan rakyat menjadi korban.
Beliau menegaskan bahwa hanya sistem Islam yang mampu membangun negara yang aman, adil, dan bebas dari dominasi kapital.
Hari ini kita menyaksikan sendiri kebenaran analisis itu. Demokrasi memproduksi pejabat yang sibuk pencitraan, bukan pencegahan. Kapitalisme melahirkan kebijakan yang berorientasi pada keuntungan, bukan kemaslahatan. Dan rakyat? Menjadi korban banjir, longsor, dan kelalaian struktural.
Maka tuntutan kita tidak bisa berhenti pada kritik pencitraan. Pencitraan hanyalah gejala. Yang harus diakhiri adalah sistem yang membuat pencitraan menjadi kebutuhan. Yang harus dihentikan adalah logika kapitalisme yang menjadikan hutan sebagai komoditas, bukan amanah.
Dan yang perlu diperjuangkan adalah sistem yang melahirkan pemimpin seperti Umar, pemimpin yang bekerja dalam diam, menangis dalam sujud, dan menjaga rakyat tanpa menunggu kamera menyala.
Bencana ini bukan sekadar peringatan alam. Ini adalah seruan agar umat kembali pada sistem yang lurus, yaitu sistem Islam. Agar kepemimpinan kembali pada takwa, bukan pencitraan dan agar negeri ini kembali pada aturan yang menempatkan manusia, alam, dan kehidupan dalam penjagaan Allah.
Karena dalam Islam, mencegah bencana jauh lebih mulia daripada berpura-pura peduli setelah semuanya hanyut terbawa arus.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)