TintaSiyasi.id -- Sumatera Barat berduka. Bencana banjir dan tanah longsor terjadi sejak beberapa hari terakhir meluas ke 13 kabupaten kota. Masa tanggap darurat pun ditetapkan selama 14 hari. Jubir Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, Ilham Wahab mengatakan laporan sementara ada 13 daerah yang terdampak dan kerugian diperkirakan mencapai Rp 4,9 miliar. Data ini masih akan terus bertambah karena tim masih berada di lapangan. (Detik.com, 26/11/2025).
Bencana longsor juga terjadi di sekitar lereng antara Gedung A dan B Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Kampus III UIN Imam Bonjol (IB) Padang pada 25/11)2025 sekitar pukul 13.40 WIB. Tidak ada korban jiwa, namun beberapa kendaraan terimbun longsor.
Silih berganti bencana terjadi di Sumatera Barat dan sejumlah wilayah di Indonesia. Khusus untuk banjir dan tanah longsor memang salah satu penyebabnya adalah curah hujan yang tinggi. Akan tetapi jika mitigasi bencana baik, maka dampaknya bisa diminimalisir baik korban jiwa, harta benda dan infrastruktur. Hal ini masih jadi PR besar bangsa Indonesia. Mitigasi bencana adalah upaya mengurangi risiko yang akan ditimbulkan akibat bencana. Seharusnya dilakukan sebelum, ketika dan setelah bencana terjadi.
Saat ini pembangunan dilakukan secara masif. Banyak daerah yang tadinya jadi resapan air diubah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan. Belum lagi penebangan hutan secara masif, tambang liar yang tidak memperhatikan amdal, pembukaan lahan secara besar-besaran untuk pariwisata dan kebun sawit.
Mitigasi Bencana dalam Islam
Paradigma Islam dalam menghadapi bencana ada dua yaitu aspek ruhiyah dan siyasiyah. Aspek ruhiyah adalah meyakini bahwa setiap bencana adalah ketetapan dan kekuasaan Allah SWT. Memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan bencana, ada andil manusia yaitu ketika melakukan kerusakan serta makna tawakal dan sabar. Sementara aspek siyasiyah adalah terkait politik pengaturan tata ruang hidup dan mitigasi bencana.
Dalam Islam, negara adalah pengurus dan pelindung rakyat terutama saat terjadi bencana. Pemimpin negara Islam atau Khalifah akan bersungguh-sungguh melakukan mitigasi bencana agar bisa meminimalisir risiko. Negara akan mengerahkan segenap kemampuan, baik dari sumber daya manusia, peralatan, dan lainnya termasuk pendanaan. Tidak ada istilah tidak ada anggaran untuk penanggulangan bencana. Bahkan ketika kas di Baitul Mal kosong, Islam memiliki solusi pendanaan. Yaitu dengan menarik dharibah atau pajak dari orang-orang kaya yang sifatnya situasional. Atau jika diperlukan negara boleh meminjam dana dari orang-orang kaya agar penanggulangan bencana segera dilakukan.
Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah karya Syekh Abdul Qodir Zallum dijelaskan dalam Baitul mal ada pos atau seksi urusan darurat/ bencana alam (Ath-Thawaari). Yaitu seksi yang akan memberikan bantuan kepada umat muslim atas setiap kondisi darurat / bencana yang menimpa mereka. Biayanya dari pos pendapatan Fai dan Kharaj serta kepemilikan umum. Jadi dalam Islam tidak ada model APBN seperti sistem hari ini yang anggaran itu ditetapkan setiap tahun, dengan nominal tertentu. Akibatnya sering kali negara tidak memiliki cukup dana ketika bencana terjadi. Padahal terjadinya bencana tidak bisa diprediksi berapa biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya.
Prof Dr. Fahmi Amhar seorang intelektual muslim mengatakan jika banjir terjadi cuma insidental, maka itu persoalan teknis saja. Namun jika terjadi berulang dan makin parah, maka ini pasti persoalan sistemik. Kalau persoalan teknis bisa dengan cara membuat bendungan baru, pompa air, kanal dan solusi teknis lainnya.
Sementara kalau sistemik ini terjadi karena tidak ada tata kelola ruang yang baik. Kemiskinan mendorong masyarakat menempati daerah aliran sungai, keserakahan membuat hutan digunduli. Pejabat yang tidak kompeten, kerakusan oligarki, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat dan lainnya. Semua ini jika saling berkaitan dan berpangkal dari pemikiran mendasar bahwa semua itu harus diserahkan pada mekanisme pasar, dan proses demokratis, maka ini sudah jadi masalah ideologis. Jika sudah sampai ke persoalan ideologis, maka solusinya adalah mengganti ideologi yang rusak itu dengan yang baik atau shahih yaitu Islam. Yaitu sebuah negara yang berideologi Islam bernama Khilafah. (Mediaumat.com, 21/1/2014).
Sistem Islam juga akan memetakan lahan sesuai fungsinya. Bahkan negara bisa melakukan Hima untuk konversi dan menjaga keseimbangan alam. Negara Islam dengan sistem pendidikannya akan mencetak generasi berkepribadian Islam. Generasi yang kokoh keimanan dan ketakwaannya. Sebagai bekal untuk terhindar dari perbuatan keji, kemaksiatan dan kejahatan. Generasi yang menguasai berbagai ilmu terapan yang dibutuhkan dalam kehidupan, sehingga akan bisa melahirkan para ilmuwan besar di bidangnya termasuk dalam mitigasi bencana.
Negara akan memfasilitasi berbagai riset dan penelitian, menyediakan laboratorium dan sarana lain untuk menunjang para peneliti dan ilmuwan untuk mengembangkan ilmu mereka guna kemaslahatan umat. Sehingga nanti dapat digunakan untuk melakukan mitigasi bencana.
Layanan kesehatan adalah hak semua rakyat, apalagi untuk bencana alam ,maka Negara akan memastikan para korban yang terdampak mendapatkan pelayanan kesehatan, pengobatan, makanan dan kebutuhan lainnya. Termasuk untuk mengatasi trauma akibat bencana.
Lebih dari itu pemimpin dalam Islam akan senantiasa mengingatkan rakyat untuk muhasabah ketika ada musibah. Seperti mentadaburi TQS. Ar-Ruum ayat 41:
"Telah nyata terlihat kerusakan di darat dan di lautan karena ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali."
Wallahu a'lam bishshawab. []
Yuli Emamarini
(Muslimah Peduli Generasi)