TintaSiyasi.id -- Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan pembentukan kepribadian manusia. Ia menentukan cara berpikir, bersikap, dan memaknai hidup. Karena itu, ketika pendidikan dibangun di atas asas yang keliru, maka output yang lahir pun akan menyimpang. Inilah problem mendasar pendidikan sekuler hari ini, yaitu saat agama dijauhkan dari kehidupan, lalu diharapkan melahirkan generasi bertakwa. Sebuah kontradiksi yang nyata.
Dalam sistem pendidikan sekuler, agama ditempatkan sebatas ritual personal. Di sekolah, pelajaran agama hanya diberikan 1–2 jam dalam seminggu, itupun sering terbatas pada pembahasan teknis ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sementara itu, seluruh mata pelajaran lain, mulai dari ekonomi, politik, sosiologi, budaya, hingga pertahanan dan keamanan dibangun di atas paradigma sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan.
Pertanyaannya sederhana, bagaimana mungkin visi pendidikan Indonesia, yaitu menciptakan generasi berkarakter kuat, beriman, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, berwawasan global
tercapai jika agama justru disingkirkan dari cara pandang hidup?
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan membentuk syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam), yakni perpaduan antara pola pikir (aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang berlandaskan akidah Islam. Menurut beliau, ilmu apa pun yang diajarkan kepada peserta didik harus terikat dengan akidah, sehingga ilmu tersebut mengarahkan manusia pada ketaatan kepada Allah, bukan sekadar kecakapan teknis duniawi.
Namun pendidikan sekuler justru melakukan hal sebaliknya. Ia memisahkan ilmu dari iman. Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas secara intelektual, melek teknologi, inovatif, tetapi kering secara spiritual.
Mereka pintar berhitung, namun tak pernah diajari untuk takut kepada Allah. Mereka mahir mengelola peluang, tetapi tak paham batas halal dan haram. Tak heran jika orientasi hidup peserta didik kemudian menyempit pada logika materi. Yang dipelajari bukan lagi “untuk apa hidup ini dijalani”, melainkan “bagaimana modal kecil untung besar”, meski dengan cara curang, manipulatif, atau merusak.
Nilai benar-salah digantikan oleh untung-rugi. Moral dikalahkan oleh target. Akhirat tersingkir oleh ambisi dunia. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kerusakan perilaku bukanlah semata kesalahan individu, melainkan buah dari sistem pendidikan yang rusak.
Ketika akidah tidak menjadi fondasi berpikir, maka hukum Allah pun tak lagi menjadi standar perbuatan. Inilah yang menjelaskan mengapa berbagai problem sosial terus bermunculan tanpa mampu dihentikan.
Kasus pembulian terjadi karena hilangnya rasa takut kepada Allah dan rendahnya penghormatan terhadap sesama. Berani melawan guru dan orang tua lahir dari pendidikan yang menanamkan kebebasan tanpa tanggung jawab. Seks bebas, merokok, narkoba, tawuran, kriminalitas, pencurian, hingga berbagai penyimpangan lain bukanlah anomali, melainkan produk sistemik dari pendidikan sekuler yang gagal membentuk iman dan akhlak.
Ironisnya, solusi yang ditawarkan negara sekuler pun bersifat tambal sulam: kurikulum anti-bullying, pendidikan karakter, kampanye moral, atau penambahan slogan-slogan etika. Semua itu tidak menyentuh akar masalah. Sebab akar persoalannya adalah pemisahan agama dari kehidupan (penerapan sistem pendidikan sekuler)
Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendidikan hanya akan berhasil jika negara menjadikannya sebagai instrumen pembentukan generasi beriman dan berilmu, bukan sekadar tenaga kerja pasar.
Negara wajib memastikan bahwa seluruh kurikulum, metode, dan tujuan pendidikan berjalan dalam satu arah, yaitu membentuk manusia yang sadar bahwa hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah.
Allah Swt. berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan hidup manusia bersifat transenden, bukan materialistik. Maka pendidikan yang memutus manusia dari tujuan ini sejatinya sedang menyiapkan generasi tanpa kompas kehidupan.
Dengan demikian, kegagalan sekolah sekuler membentuk generasi bertakwa bukanlah kebetulan. Ia adalah konsekuensi logis dari sistem yang salah asas. Selama pendidikan masih berdiri di atas sekularisme, selama agama hanya dijadikan pelengkap, maka selama itu pula generasi akan terus pintar tapi rapuh, cerdas tapi kehilangan arah.
Maka, solusinya bukan sekadar menambah jam pelajaran agama, melainkan mengembalikan pendidikan pada asas Islam secara kaffah, sebagaimana pernah diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah. Hanya dengan cara inilah pendidikan mampu melahirkan generasi yang cerdas akalnya, lurus akidahnya, dan kuat ketakwaannya bukan sekadar pintar, tetapi juga bertakwa kepada Allah Ta'ala.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis