TintaSiyasi.id -- Pemerintah kembali menawarkan solusi instan atas persoalan kerusakan generasi melalui rencana pembatasan penggunaan media sosial bagi anak usia 13-16 tahun yang akan berlaku mulai maret 2026. Aturan ini tertuang dalam PP No 17 Tahun 2025 tentang tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik dalam perlindungan anak. Jika dilihat sekilas, kebijakan ini tampak berpihak pada kepentingan anak. Namun, benarkah pembatasan medsos mampu melindungi generasi dari dampak buruk dunia digital?
Jika dicermati, pembatasan tersebut hanyalah langkah administratif yang mudah ditembus. Anak tetap bisa mengakses media sosial tanpa akun pribadi, menggunakan akun palsu, atau memanfaatkan akun orang lain. Lebih ironis lagi, gam online justru tidak dibatasi, padahal kecanduan game telah diakui WHO sebagai gangguan kesehatan mental. Fakta ini menunjukkan bahwa negara gagal melihat persoalan secara utuh dan cenderung mengambil kebijakan parsial.
Masalah utama kerusakan generasi di era digital sejatinya tidak berhenti pada media sosial semata. Dunia digital hari ini berada dalam genggaman korporasi global kapitalistik yang menguasai platform, algoritma, dan data pengguna. Anak-anak buka diposisikan sebagai generasi yang harus dilindungi, melainkan sebagai pasar potensial yang dieksploitasi demi keuntungan. Dalam kepitalisme, teknologi dikembangkan bukan untuk mendidik, tetapi untuk mencandukan dan mengendalikan perilaku.
Disinilah tampak bahwa negara-negara berkembang termasuk Indonesia, tidak memiliki kedaulatan digital. Negara hanya menjadi regulator lemah yang tunduk pada kepentingan pemilik platform global. Selama kendali teknologi berada ditangan asing, pembatasan apapun hanya bersifat kosmetik dan tidak mampu menghentikan arus kerusakan moral, mental dan spiritual generasi muda.
Islam memandang persoalan ini secara mendasar. Perlindungan terhadap akal dan jiwa adalah kewajiban negara, bukan sekedar pilihan kebijakan. Negara wajib menutup segala pintu kerusakan, termasuk yang bersumber dari teknologi digital. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal solusi setengah hati, melainkan menuntut pengaturan menyeluruh yang berpijak pada nilai-nilai syariat.
Untuk menghadapi hegemoni digital global, Islam mensyaratkan kedaulatan penuh negara atas teknologi dan informasi. Dalam sistem Islam, negara berperan aktif mengembangkan teknologi, mengendalikan konten, serta memastikan pemanfaatannya sesuai dengan tujuan syariat, bukan kepentingan korporasi. Dengan demikian, teknologi menjadi saran kemaslahatan bukan alat penjajahan gaya baru.
Penerapan Islam Kaffah oleh negara, masyarakat, sekolah dan keluarga akan melahirkan sistem perlindungan generasi yang hakiki. Anak-anak tidak hanya dibatasi aksesnya, tetapi dibina akidah, akhlak, dan pola pikirnya. Inilah jalan untuk membentuk generasi khairu ummah, calon peminpin peradaban Islam, bukan generasi yang dibatasi akunnya namun tetap terjajah ppikirnya oleh sistem kapitalis global.
Oleh: Wanda Kurnia Yuda, S.Kes., Ftr., M.Kes
Aktivis Muslimah