TintaSiyasi.id -- Di sejumlah wilayah Aceh, fenomena bendera putih berkibar di depan rumah, sepanjang jalan nasional, dan di posko-posko pengungsian bukan sekadar simbol biasa. Ini adalah bahasa sunyi dari putus asa, tanda bahwa warga sudah tak sanggup lagi menghadapi masa darurat pascabanjir dan longsor selama berminggu-minggu tanpa bantuan yang dirasakan cukup cepat dan merata.
Warga menyatakan bahwa stok makanan semakin menipis, kebutuhan dasar sulit terpenuhi, dan mereka mempertaruhkan nyawa karena harus bergantung pada dapur umum mandiri serta solidaritas komunitas kecil. Aksi ini menjadi protes langsung terhadap lambannya penanggulangan bencana oleh pemerintah pusat, sementara penderitaan warga terus meningkat di tengah kekurangan logistik, tenaga medis, akses, listrik, dan air bersih.(bbc.com, 18/12/2025)
Meski pemerintah menyatakan bahwa semua dukungan dana sudah tersedia dan sedang didistribusikan, serta Menteri Dalam Negeri dan pejabat terkait mengaku mendengar keluhan warga, realitas di lapangan menunjukkan kelambatan respons dalam skala besar dibandingkan besarnya dampak bencana yang telah merenggut ratusan nyawa dan menghancurkan rumah serta sumber penghidupan ribuan orang.
Mengapa Penanggulangan Terlihat Lamban?
Ada beberapa faktor yang kerap disebut dalam kritik warga dan pengamat,
Pertama, distribusi logistik yang terhambat.
Bantuan sering tidak sampai tepat waktu ke wilayah yang paling parah karena akses yang sulit dan kurangnya sistem distribusi darurat yang memadai.
Kedua, pengakuan status Bencana Nasional yang Lambat. Warga mendesak pemerintah pusat menerbitkan status bencana nasional agar skala bantuan, termasuk dari dunia internasional, dapat diperluas dan diakselerasi.
Ketiga, kurangnya pengerahan tenaga dan alat berat secara cepat. Tidak terlihat pengerahan besar-besaran seperti pada bencana besar di masa lalu, seperti distribusi alat berat dan tenaga pencarian atau penyelamatan terbilang terbatas.
Keempat, ketergantungan pada gotong royong komunitas. Banyak komunitas melakukan upaya mandiri sekadar untuk bertahan yang idealnya merupakan tugas negara. Hal yang semestinya menjadi tanggung jawab negara dalam keadaan darurat, seperti penyediaan makanan, air bersih, perawatan medis, dan sistem distribusi yang cepat, sering kali terasa lebih seperti pekerjaan relawan, selebgram, artis, atau masyarakat sipil yang tergerak memberi bantuan. Padahal, pemerintah adalah entitas yang wajib hadir dalam kondisi seperti ini, bukan sekadar menjadi figura seremonial.
Bandingkan dengan Era Khilafah
Dalam sejarah Islam, khususnya pada masa Khilafah Rashidah dan periode kekhalifahan lainnya, respons terhadap bencana dan kebutuhan rakyat dipandang sebagai tugas negara yang hakiki. Seorang khalifah bertanggung jawab mengatur distribusi pangan, penyelamatan korban, rehabilitasi wilayah, dan dukungan moral kepada rakyat tanpa menunda.
Islam memandang negara sebagai raa’in (pengurus), bukan sekadar regulator.
Rasulullah Saw bersabda,
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, membiarkan rakyat kelaparan adalah dosa kepemimpinan, bukan sekadar kegagalan teknis. Allah SWT bahkan mengaitkan kepemimpinan dengan amanah berat,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa: 58)
Pemimpin yang abai terhadap rakyat yang kelaparan, terkatung-katung pascabencana, sangat dibenci Allah, karena ia mengkhianati amanah kekuasaan.
Kisah Khalifah Umar bin Khattab: Negara Hadir, Bukan Menunggu
Sejarah Islam memberi teladan konkret, bukan janji kosong. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, pernah terjadi bencana kelaparan hebat yang dikenal sebagai ‘Aam ar-Ramadah. Kekeringan panjang melanda Jazirah Arab, ternak mati, rakyat kelaparan, dan ancaman kematian nyata di depan mata.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar?
Pertama, beliau tidak tinggal di istana. Umar turun langsung memantau kondisi rakyat, bahkan menolak makan daging dan minyak hingga rakyatnya kembali kenyang. Kulit beliau sampai menghitam karena hanya mengonsumsi roti dan minyak zaitun.
Kedua, negara bergerak cepat dan terpusat. Umar mengirim surat ke para gubernur wilayah lain Mesir, Syam, Irak memerintahkan pengiriman bahan makanan besar-besaran. Bukan menunggu proposal, bukan menunggu laporan viral, tapi perintah negara.
Ketiga, distribusi dilakukan oleh negara, bukan diserahkan pada kedermawanan individu. Gudang baitul mal dibuka, dapur umum didirikan, dan rakyat dijamin makan setiap hari sampai krisis berakhir.
Umar pernah berkata dengan gemetar,
“Bagaimana aku bisa disebut pemimpin jika masih ada rakyat yang kelaparan?”
Bandingkan dengan hari ini. Rakyat mengibarkan bendera putih, sementara negara masih sibuk dengan konferensi pers.
Sistem pemerintahan Islam wajib menempatkan maslahah rakyat (kepentingan umum) sebagai prioritas utama, bukan hanya retorika atau respons parsial terhadap tekanan media dan opini publik.
Dalam prinsip syariat, seorang pemimpin tidak boleh membiarkan rakyat dalam keadaan lapar atau kesusahan tanpa tindakan nyata.
Allah SWT berfirman,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)
Ayat ini menunjukkan bahwa mencegah kemungkaran termasuk ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat adalah bagian dari kewajiban pemimpin dan masyarakat.
Seorang pemimpin yang membiarkan rakyat kelaparan atau terabaikan ditolak dan sangat dibenci oleh Allah SWT, karena amanat kepemimpinan adalah mengurus kebutuhan rakyat dengan penuh keadilan.
Menurut pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, tugas negara bukan sekadar menyediakan keamanan formal, tetapi juga memastikan kesejahteraan sosial rakyat secara menyeluruh, termasuk dalam bencana besar.
Beliau menegaskan bahwa negara tidak boleh menggantungkan pemenuhan kebutuhan rakyat pada kedermawanan individu, donasi publik, apalagi pencitraan figur publik. Semua itu boleh ada, namun tidak boleh menggantikan peran negara.
Ketika negara berlepas tangan dan menyerahkan urusan rakyat kepada masyarakat, itu tanda negara gagal menjalankan fungsinya sebagai raa’in.
Dalam sistem Khilafah, negara memiliki mekanisme cepat, pendanaan tetap dari baitul mal, dan struktur kepemimpinan yang tidak menunggu tekanan media untuk bertindak.
Bendera Putih: Cermin Kegagalan Sistem
Bendera putih di Aceh seharusnya membuat kita jujur bertanya, mengapa di negeri mayoritas Muslim, rakyat masih harus mengemis perhatian negara?
Masalahnya bukan kurangnya relawan. Bukan kurangnya donasi. Bukan kurangnya empati masyarakat. Masalahnya adalah negara yang terlalu sering hadir sebagai penonton, bukan penanggung jawab.
Jika sistem kapitalis sekuler terus diterapkan, maka bencana berikutnya hanya tinggal menunggu waktu dan bendera putih akan kembali berkibar.
Islam telah memberi teladan.
Sejarah telah memberi bukti.
Kini, pertanyaannya, mau belajar atau terus mengulang luka yang sama berkali-kali?
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis