TintaSiyasi.id -- Saat ini generasi muda kian akrab dengan dunia digital. Derasnya berbagai jenis konten pun mewarnai dunia maya dan semakin beragam pilihan untuk dinikmati. Tak hanya konten mendidik, konten merusak pun tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Banyak anak dan remaja terpapar konten pornografi, bullying, dan gaya hidup liberal dari media sosial. Paparan ini telah merapuhkan mental anak-anak, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Berkenaan dengan hal itu pemerintah melalui Kementerian Komdigi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) sebagai respons atas meningkatnya ancaman digital kepada anak-anak. Menteri Menkomdigi Meutya Hafid memberikan keterangan bahwa PP Tunas adalah bukti yang menegaskan keseriusan pemerintah dalam melindungi anak-anak terhadap kejahatan di ruang digital. Melalui PP ini regulasi yang dilakukan bukan bertujuan membatasi akses digital anak, tetapi membimbing mereka agar mengenal teknologi secara aman dan bertanggung jawab. (nasional.kompas.com, 06-12-25)
Akar Masalah Anak Bermasalah
Permasalahan kenakalan anak atau remaja sudah terjadi sejak dahulu, bahkan sebelum era digital seperti sekarang. Kasus kenakalan remaja yang selalu berulang hingga sampai kini menandakan jika masalah ini masih menjadi PR bagi pemerintah untuk menyelesaikannya.
Dengan demikian dapat dikatakan jika ruang digital atau media sosial bukan penyebab utama masalah yang menimpa anak dan remaja saat ini. Sebab ada atau tidak adanya media sosial permasalahan anak pun tetap terjadi. Namun, media sosial memang memberikan pengaruh terhadap emosi atau perasaan anak akan suatu hal. Misalnya munculnya fenomena FOMO, insecure akibat tak sesuai standar sosmed, hobi flexing, dan sebagainya.
Akar masalah yang sesungguhnya terus menjadi penyakit utama dalam pusaran masalah anak adalah sekularisme kapitalisme yang menjadi sistem kehidupan saat ini. Sekularisme kapitalisme telah menjadikan anak bermasalah dari segala sisi. Pasalnya sistem ini melahirkan dan membentuk generasi yang cara berpikir dan bersikapnya bebas tanpa batas, dan menganggap standar kebahagiaan hanya dinilai dengan ukuran pencapaian materi (kekayaan) atau hal yang nampak dari segi fisik (misalnya berpenambilan menawan dan sempurna, prestasi akademik yang membanggakan, pekerjaan yang bonafit dan lain-lain).
Dengan kondisi era digital dimana arus informasi bebas dan mudah diakses, konten-konten yang ada pun turut menghancurkan kondisi iman dan mental generasi. Sebab, konten yang berkeliaran di dunia maya sarat dengan nilai-nilai liberal, permisif, pluralisme dan sebagainya dimana semuanya merupakan derivat yang berakar dari pemikiran rusak sekularisme.
PP Tunas Belum Tuntaskan Masalah
Saat PP Tunas diluncurkan, tentu memberikan harapan tinggi agar dapat mengontrol dan memfilter laju informasi merusak yang membahayakan generasi muda. Namun pada dasarnya, pemberlakuan PP Tunas hanyalah solusi pragmatis, sebab tidak menyentuh akar masalah dan hanya bertumpu pada aspek media saja, tidak komprehensif.
PP Tunas secara khusus hanya memberikan peraturan bagi penyelenggara sistem elektronik (pse), yang meliputi penyaringan konten berbahaya, penyediaan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta memastikan proses remediasi yang cepat dan transparan. Selain itu pse juga wajib memverifikasi usia pengguna dann menerapkan pengamanan teknis untuk memitigasi risiko.
Isi konten memang diatur dan dibatasi, begitu pula dengan limit usia, tapi masalahnya produsen konten yang bernafaskan ide sekularisme tidak diberantas. Jika seperti ini, meskipun ada regulasi dan pembatasan, produksi konten merusak akan terus marak. Maka solusi yang dilakukan haruslah mampu menyelesaikan akar masalah, yaitu memberantas produsen konten merusak dan membuang ide sekularisme kapitalisme itu sendiri dalam kehidupan. Semua ini harus dihilangkan secara sistem karena sekularisme dan kapitalismelah yang menjadi asas bagi lahirnya sejumlah kebijakan, termasuk dalam bermedia.
Butuh Peran Negara
Islam memandang bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pemahamannya, bukan dari media sosial, sebab ia adalah madaniyah yang berkembang seiring kemajuan IPTEK. Pemahaman yang terbentuk pada manusia dipengaruhi oleh ideologi yang melingkupinya ataupun mengatur sistem kehidupannya. Dalam hal ini, ideologi Islam wajib diemban oleh negara sebab Islam lahir bukan hanya sebatas agama ritual, tetapi juga mencakup pengaturan kehidupan manusia.
Negara dengan ideologi Islam, harus membangun benteng keimanan yang kokoh pada generasi melalui sistem pendidikan sehingga mereka mampu berpikir dan bersikap sejalan dengan hukum Islam. Tidak sampai hanya dalam pendidikan, negara akan menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek sehingga mampu mewujudkan kondisi ideal untuk membentuk generasi taat dan tangguh.
Negara juga akan melakukan segenap mekanisme perlindungan terhadap generasi dari konten-konten yang merusak akidah dan fitrah. Negara akan mendukung penuh dan memfasilitasi perkembangan dunia digital yang makin memudahkan kehidupan, namun juga tidak abai dalam memastikan penggunaan media yang harus selalu terikat dengan syariat Islam. Tak ada ruang sama sekali untuk tersebarnya ide-ide yang bertentangan dengan Islam.
Ruang digital akan diarahkan sebagai sarana pendidikan dan dakwah. Selain itu, media juga menjadi alat propaganda negara dalam menampilkan peradaban Islam yang kuat dan tangguh kepada seluruh dunia.
Semua langkah ini hanya bisa dilakukan secara menyeluruh dalam negara yang mengemban ideologi Islam. Untuk mewujudkan itu harus dimulai dengan memberdayakan peran seluruh generasi agar memahami Islam kaffah dan memperjuangkan penerapan Islam .
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata.” (TQS. Al- Qashash: 85). Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
Penulis Artikel Islami