Tintasiyasi.id.com -- Sudah tidak dapat dimungkiri, bahwa seluruh orang di dunia khususnya generasi muda menggunakan media sosial dalam kehidupannya. Rata-rata mereka menghabiskan waktu antara 2-4 jam perhari bahkan lebih untuk berselanjar mencari informasi, membangun relasi, mengekspresikan diri, hingga aktivitas ekonomi.
Namun, paparan konten berbahaya yang mengancam generasi juga tidak terelakkan. Media sosial bagaikan pisau bermata dua di era digital.
Pisau Bermata Dua
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), internet telah menjadi bagian esensial dari kehidupan masyarakat Indonesia, dengan pengguna mencapai 229,4 juta jiwa atau 80,66 persen populasi.
Generasi Z adalah kelompok paling dominan, 25,54% dari total pengguna. Disusul Generasi Milenial 25,17% dan Generasi Alpha 23,19%. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan internet di Indonesia sangat dipengaruhi oleh digital native, generasi yang tumbuh bersama teknologi (cloudcomputing.id, 12/08/2025).
Era digital memberikan banyak kemudahan dalam urusan. Berbagai platform media digital tersedia, seakan dunia dalam genggaman. Bahkan ruang digital pun mampu menjadi ruang pergerakan. Konten-konten aktivisme hari ini menjadi pemantik aksi politik dan sosial yang mampu memengaruhi kebijakan negara.
Menurut laporan Pew Research Center (2023), 70% Gen Z di seluruh dunia pernah ikut serta dalam kampanye digital, baik dengan menandatangani petisi online, membagikan konten aktivisme, atau menggalang dana daring. Fenomena ini menunjukkan bahwa aktivisme kini tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga merambah dunia maya.
Namun, di sisi lain media sosial juga menimbulkan dampak buruk seperti kecanduan, masalah kesehatan mental (cyberbullying, kecemasan), penyebaran hoaks, hingga menurunnya interaksi tatap muka.
Sebuah laporan hasil survei di 26 negara termasuk Indonesia menemukan bahwa penggunaan media sosial membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Akibatnya, tak sedikit yang mengalami gangguan mental. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 sebanyak 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, dengan rincian 1% mengalami depresi, 3,7% cemas, 0,9% mengalami post-traumatic syndrome disorder (PTSD), dan 0,5% mengalami attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) (news.detik.com, 12/04/2025).
Ruang Digital Tidak Netral
Sejatinya ruang digital tidaklah netral. Ada dominasi nilai yang memengaruhi algoritmanya. Saat ini, sekularisme-kapitalistik merupakan ide dan sistem kehidupan yang mengendalikannya. Paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan telah memanfaatkan media sosial untuk kepentingan mereka.
Generasi muda menjadi sasaran komoditas pasar. Generasi dijadikan objek indutri global, hiburan, mode, teknologi, yang dapat menghasilkan keuntungan. Mereka dibentuk oleh konten-konten yang menghibur, tetapi menumpulkan akal, melemahkan mental, mengikis akhlak dan moral. Tampak memikat tetapi merusak masa depan.
Generasi muda dijadikan objek pengarusan pemikiran dan pemahaman sekularisme-kapitalis. Mereka menjadi trendsetter menjajakan gaya hidup liberal, permisif dan kapitalistik. Konten yang disajikan tidak harus benar, yang penting viral. Alhasil generasi muda bisa salah arah dan semakin jauh dari agama.
Pengaturan Media Sosial dalam Sistem Islam
Di tengah derasnya paparan konten digital yang jauh dari agama, generasi patut diselamatkan. Pemikiran dan mental mereka harus dikembalikan ke jalan yang benar sesuai syariat Islam. Mereka adalah harapan masa depan peradaban Islam.
Dibutukan sinergi bersama antara keluarga, masyarakat dan negara. Sedini mungkin generasi harus dipahamkan tentang jati dirinya sebagai hamba Allah Swt. Kemajuan teknologi merupakan sarana untuk melakukan perbuatan baik bernilai pahala, bukan menjadi sarana kemaksiatan.
Media sosial dapat dijadikan ruang beramar makruf nahi mungkar. Menyebarkan konten yang mencerdaskan dan mampu meningkatkan keimanan. Dengan ini akan terbentuk generasi pelopor perubahan yang ideologis bukan pragmatis.
Negara berperan besar dalam menjaga generasi. Melalui pendidikan dengan tujuan membentuk generasi yang berkepribadian Islam, kurikulum diarahkan untuk melahirkan generasi yang mampu memimpin beradaban.
Fasilitas pendidikan dijamin oleh negara tanpa dipungut biaya. Termasuk menyediakan platform-platform pendidikan di media digital.
Negara melalui departemen informasi, memastikan media berperan sebagai alat mencerdaskan umat. Bukan menjadi ruang ajang eksploitasi demi keuntungan besar, tanpa mempertimbangkan akibat kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, berbagai konten yang dapat merusak akal dan mental serta melanggar syariat Islam akan dilarang.
Selain itu, negara akan mengatur ekonomi, politik, sosial dan hukum dengan sistem Islam. Karena kerusakan di satu aspek berkaitan dengan aspek yang lainnya. Sehingga dibutuhkan kesatuan sistem dan negara bertanggung jawab secara penuh.
Semua itu hanya dapat terwujud dalam penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiah. Itulah sistem negara yang diwariskam oleh Rasulullah Saw, yang membawa rahmat bagi seluruh alam.[]
Oleh: Eni Imami, S.Si, S.Pd (Pendidik dan Pegiat Literasi)