Tintasiyasi.id.com -- “Marriage is scary.” Begitu kata sebagian besar generasi muda hari ini. Kalimat pendek yang tampak sederhana, tetapi menyimpan potret paling jujur tentang kondisi sosial-ekonomi yang sedang membelit mereka.
Ketakutan untuk menikah bukan hadir tiba-tiba, bukan pula karena generasi hari ini “manja” atau “tak mau berjuang”. Ketakutan itu lahir dari luka panjang yang ditorehkan sistem kehidupan kapitalisme, yaitu sistem yang menempatkan manusia sebagai mesin produksi, bukan sebagai hamba Allah yang mesti dijaga kehormatannya.
Padahal, dalam Islam, pernikahan bukan sekadar akad sosial, tetapi ibadah agung dan jalan penjagaan keturunan (hifzhun nasl). Namun realitas hari ini justru membuat banyak anak muda memandang pernikahan sebagai beban finansial yang menakutkan. Mengapa?
Ada beberapa fakta yang Tak bisa dibantah:
Pertama, anak muda menilai stabilitas ekonomi lebih penting daripada menikah cepat. Ini bukan tanpa sebab, coba pikir, harga kebutuhan melambung, pekerjaan tidak stabil, dan biaya hunian yang terus naik membuat mereka merasa menikah berarti menambah beban baru.
Kedua, narasi “marriage is scary” tumbuh subur di media sosial. Mereka melihat seniornya menikah lalu pusing cicilan, bertengkar soal ekonomi, atau hidup terjebak dalam tekanan biaya hidup yang tak kunjung selesai. Ketakutan ini akhirnya menjadi budaya bersama.
Ketiga, persaingan kerja yang ketat disertai upah rendah membuat anak muda merasa tidak layak menjadi pemimpin keluarga. Bukan tidak ingin menjadi dewasa, tapi mereka justru takut gagal menunaikan tanggung jawab syar’i sebagai suami atau istri.
Mengapa Marriage Terasa “Scary”?
Pertama, kapitalisme menciptakan biaya hidup Tidak masuk akal. Sistem kapitalisme menciptakan kondisi hidup serba mahal, mulai dari hunian, pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan pokok.
Anak muda hidup dalam ketidakpastian, seperti kerja kontrak, outsourcing, upah minim, dan beban finansial yang terus bertambah. Ketakutan menikah sesungguhnya adalah ketakutan akan jatuh miskin (sebuah ketakutan yang diproduksi oleh sistem itu sendiri).
Kedua, negara lepas tangan dari kesejahteraan rakyat. Dalam sistem demokrasi-kapitalisme, negara hanya menjadi regulator, bukan penjamin kesejahteraan. Kebutuhan dasar diserahkan kepada pasar, sementara rakyat harus berjuang sendiri. Tidak heran jika anak muda merasa menikah berarti harus menanggung beban hidup yang seharusnya dipikul negara.
Ketiga, budaya materialisme dari pendidikan sekuler. Pendidikan sekuler melahirkan generasi yang mengukur kebahagiaan dengan materi. Pernikahan akhirnya dipandang sebagai proyek finansial, bukan ibadah.
Standar sukses menikah pun berubah bukan sakinah-mawaddah, tapi pesta mewah, rumah instagramable, dan honeymoon ke luar negeri.
Keempat, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ladang kebaikan. Narasi populer menggambarkan pernikahan sebagai penjara, bukan penjaga kehormatan.
Padahal pernikahan adalah sunnah Rasul yang menenangkan jiwa. Persepsi keliru ini lahir karena generasi tumbuh dalam sistem yang meniadakan nilai ruhiyah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa masalah-masalah sosial seperti krisis pernikahan, dekadensi moral, dan ketakutan generasi muda bukanlah fenomena individual, tetapi buah dari sistem yang salah. Selama kapitalisme menjadi pengatur kehidupan, manusia akan terus berada dalam ketidakstabilan ekonomi dan tekanan sosial yang mencekik.
Beliau menjelaskan bahwa ekonomi dalam Islam adalah pengaturan distribusi, bukan sekadar produksi. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu, bukan menyerahkannya kepada mekanisme pasar.
Dalam kerangka inilah pernikahan menjadi ringan, karena negara hadir mengangkat beban-beban besar yang hari ini membuat generasi muda ketakutan.
Lebih jauh, Syaikh Taqiyuddin menegaskan bahwa keluarga adalah fondasi masyarakat, sehingga negara wajib menjaga institusi pernikahan lewat sistem sosial dan ekonomi yang memudahkan umat untuk menikah, bukan menakutkan mereka.
Solusi Islam
Pertama, negara menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap warga, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, ketakutan menikah pun akan hilang.
Kedua, pengelolaan kepemilikan umum oleh negara. Sumber daya alam tidak boleh dikuasai asing atau swasta. Ketika dikelola negara, hasilnya dikembalikan kepada rakyat sehingga biaya hidup turun drastis.
Ketiga, menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah. Generasi diberi pemahaman bahwa pernikahan adalah ibadah, penjagaan diri, dan jalan mencetak peradaban. Pendidikan Islam membentuk generasi tangguh, bukan generasi yang takut dewasa.
Keempat, penguatan institusi keluarga. Negara mendorong pernikahan, memudahkan akad, memberikan bimbingan rumah tangga, serta menciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk membina keluarga sakinah.
Jadi, anak muda hari ini bukan takut menikah, tapi mereka takut hidup dalam dunia yang tidak menjamin masa depan. Mereka takut mengulang penderitaan ekonomi yang dilihat dari orang tua dan lingkungan sekitar. Tetapi ketakutan ini bukan berasal dari pernikahan. Ia berasal dari luka ekonomi kapitalisme.
Islam datang membawa penyembuhnya. Dengan penerapan syariat dalam bingkai Khilafah Islamiah sebagaimana digariskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pernikahan kembali menjadi ibadah yang menenteramkan, bukan momok yang menakutkan.
Dalam sistem Allah, menikah adalah awal kebaikan, bukan awal beban. Karena sejatinya, yang “scary” bukan marriage,
yang scary adalah hidup dalam sistem yang tak peduli pada manusia.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)