Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Lonjakan Angka Bullying di Lembaga Pendidikan: Paradoks Visi Pendidikan dalam Pembentukan Pribadi yang Beradab

Senin, 01 Desember 2025 | 17:59 WIB Last Updated 2025-12-01T11:00:00Z

TintaSiyasi.id -- MH (13), pelajar SMPN 19 Tangerang Selatan yang menjadi bullying (perundungan), akhirnya meninggal dunia usai sepekan dirawat di rumah sakit (detik.com, 16/11/2025). Alih-alih menurun, kasus bullying justru melonjak. Tahun 2024, berbagai data resmi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga laporan pemantau digital seperti SAFEnet memperlihatkan peningkatan signifikan, baik terjadi di sekolah maupun di dunia maya.

Berdasarkan keterangan JPPI yang dikutip Goodstats, ada kenaikan tajam kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024. Jika pada 2023 terdapat 285 kasus, maka pada 2024 jumlahnya menjadi 573 kasus, naik lebih dari 100 persen. Dari total tersebut, sekitar 31 persen berkaitan langsung dengan bullying. Angka ini memperlihatkan, bullying masih menjadi bentuk kekerasan paling dominan di sekolah (goodstats.id, 5/10/2025). 

Sementara KPAI mencatat, 25 anak di tanah air mengakhiri hidupnya sepanjang tahun 2025. Sebagian besar diduga akibat tekanan dan bullying yang dialami di sekolah. Data ini dirilis KPAI setelah publik dikejutkan dengan kasus bunuh diri tiga pelajar di Sukabumi, Jawa Barat, dan Sawahlunto, Sumatera Barat, pada Oktober lalu (terkininews.com, 1/11/2025).

Lonjakan angka tersebut menjadi alarm darurat bagi semua pihak, khususnya pemerintah. Kekerasan seolah tak bisa dipisahkan dari kehidupan pelajar. Sungguh ironis! Ketika pendidikan karakter tengah diajarkan, saat visi pendidikan hendak mewujudkan manusia beradab, justru di lingkungan sekolahlah kasus bullying bermula.

Penyebab Kasus Bullying di Lembaga Pendidikan Makin Melonjak

Kasus bullying yang marak terjadi bukan hanya persoalan individu, tetapi cerminan ideologi yang mengatur kehidupan. Masyarakat hari ini hidup dalam sistem sekularisme kapitalistik. Ideologi ini menuhankan kebebasan tanpa batas. Nilai moral bergeser. Kehormatan diukur dengan popularitas, fisik atau status sosial. 

Dalam sistem seperti ini, yang kuat mendominasi yang lemah. Yang populer merendahkan yang tidak terkenal. Yang kaya menguasai yang miskin. Pola pikir seperti ini masuk ke dalam dunia remaja dan sekolah. Berikut penjelasan lebih rinci tentang penyebab meningkatnya kasus bullying di lembaga pendidikan: 

Pertama, lingkungan sekolah yang tidak aman dan lemahnya sistem pencegahan. 

Banyak sekolah belum memiliki SOP anti-bullying yang jelas, tidak ada unit perlindungan siswa yang efektif, dan tidak menyiapkan guru terlatih dalam deteksi dini kekerasan. Akibatnya, kasus yang muncul tidak tertangani secara cepat, pelaku tidak mendapat pembinaan, dan korban merasa tidak dilindungi. Dampaknya: budaya diam, normalisasi kekerasan, dan siswa menganggap bullying bagian dari “candaan”.

Kedua, pengaruh media sosial dan infrastruktur pengawasan yang lemah.

Bullying kini tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi berkembang menjadi cyberbullying. Dengan akses gawai tanpa kontrol, pelajar bisa: menyebarkan hinaan atau body shaming, menyebar foto/video memalukan, melakukan doxing, hingga membentuk grup khusus untuk menyerang teman. Karena bersifat anonim dan cepat viral, pelaku merasa aman dan korban mengalami tekanan psikologis lebih berat.

Ketiga, model kekerasan dari keluarga dan lingkungan sosial. 

Sebagian pelajar tumbuh dalam lingkungan rumah yang: keras, sarat kekerasan verbal, serta tidak memiliki komunikasi sehat. Anak yang terbiasa melihat kekerasan cenderung meniru di sekolah. Dalam teori pendidikan moral, anak belajar dari modeling, dan bullying sering menjadi jalan untuk menyalurkan frustasi atau menunjukkan dominasi.

Keempat, krisis empati dan kebangkrutan pendidikan karakter. 

Pendidikan karakter kerap bersifat teoritis dan seremonial, misal lewat slogan, poster, atau mata pelajaran formal. Namun implementasi sehari-hari di kelas dan interaksi guru–murid tidak mencerminkan pembentukan karakter yang kuat. Akibatnya, nilai: saling menghargai, empati, dan kontrol diri tidak berkembang secara nyata pada pelajar. 

Kelima, kurangnya keteladanan guru dan lemahnya relasi pendidik–peserta didik. 

Masih ada guru yang:
meremehkan laporan bullying, menganggapnya “hal biasa anak-anak”, atau justru secara tidak sadar melakukan bullying verbal. Ketika guru tidak menjadi role model, siswa meniru pola komunikasi kasar dan saling merendahkan.

Keenam, tekanan akademik dan kompetisi tidak sehat. 

Sekolah—terutama tingkat menengah—sering menjadi tempat tekanan: ranking, tugas berlebihan, ekspektasi orang tua, serta persaingan nilai. Dalam kondisi psikologis tertekan, sebagian siswa menyalurkan stres dengan mendominasi atau merendahkan teman lain.

Ketujuh, minimnya edukasi literasi digital dan mental health. 

Banyak sekolah belum memiliki program: literasi digital, pendidikan emosi, manajemen konflik, atau konseling psikologis yang memadai. Padahal, remaja membutuhkan kemampuan mengelola perbedaan, mengatasi stres, dan menghindari konflik destruktif. Ketika layanan ini tidak tersedia, potensi kekerasan meningkat.

Kedelapan, budaya senioritas yang masih mengakar. 

Di beberapa sekolah masih berkembang budaya: senior menjahili junior, ospek atau kegiatan ekstrakurikuler yang keras, serta hierarki yang merendahkan adik kelas. Ketika tradisi ini dianggap “normal”, siklus kekerasan terus berulang setiap tahun.

Kesembilan, kurangnya intervensi negara yang tegas dan terpadu. 

Walau kasus meningkat, kebijakan pencegahan masih: tumpang tindih, tidak terintegrasi antara Kemendikbud, KemenPPPA, dan KPAI, serta minim pengawasan pada satuan pendidikan. Tanpa regulasi ketat dan sistem pelaporan wajib (mandatory reporting), sekolah cenderung memilih “menutupi” kasus agar tidak mencoreng nama baik lembaga. 

Melonjaknya kasus bullying bukan fenomena tunggal, tetapi hasil gabungan dari faktor struktural sosial, kultural, dan psikologis. Selama sekolah tidak menjadi ekosistem yang aman, terdidik, dan berkarakter, kasus bullying akan terus meningkat dan kembali menelan korban.

Di atas semua itu, kurikulum pendidikan berbasis sekularisme memberikan andil besar bagi maraknya bullying.  Agama dipisahkan dari proses pendidikan. Agama hanya diajarkan 1-2 jam per pekan. Itu pun sekadar transfer pengetahuan dan aspek ritual, tidak sampai pada dorongan mengamalkan dalam kehidupan. Pun tidak dikaitkan dengan pengajaran ilmu umum. Bagaimana iman takwa pelajar bisa terbentuk?

Dampak Bullying di Lembaga Pendidikan terhadap Pembentukan Pribadi yang Beradab

Bullying membawa dampak jangka panjang yang serius bagi korban. Anak-anak yang menjadi korban berisiko mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, bahkan trauma berkepanjangan. Dalam beberapa kasus ekstrem, bullying dapat memicu keinginan bunuh diri pada korban.Selain itu, bullying juga berdampak pada prestasi akademik. Anak yang mengalaminya cenderung kehilangan motivasi belajar, menurunnya konsentrasi, hingga enggan hadir di sekolah.
Berikut penjelasan lebih rinci terkait dampak bullying di lembaga pendidikan terhadap pembentukan pribadi yang beradab: 

Pertama, kerusakan pada aspek psikologis anak. 

Bullying menghancurkan pondasi psikologis anak—yang justru menjadi modal terbentuknya pribadi beradab. Dampaknya meliputi:

a. Rasa rendah diri dan hilangnya harga diri. Anak yang dirundung cenderung merasa tidak berharga, gagal, dan tidak layak dihargai. Ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan untuk menumbuhkan percaya diri, tanggung jawab, dan integritas.

b. Gangguan kecemasan dan depresi. Tekanan sosial dan rasa takut berulang mempersempit kemampuan anak mengembangkan empati, kesabaran, dan ketenangan—nilai moral yang menjadi dasar adab.

c. Trauma jangka panjang. Trauma kronis membuat anak sulit membangun relasi sehat, tidak percaya pada lingkungan, dan mudah tersulut emosi. Hal ini menghambat proses pembentukan kepribadian yang matang dan beradab.

Kedua, pembentukan karakter negatif, baik pada korban maupun pelaku.

Bullying tidak hanya merusak korban, tetapi hj juga membentuk karakter destruktif pada pelaku dan para pengamat (bystanders).

a. Pada korban. Menjadi pribadi yang defensif, tertutup, atau agresif pasif. Potensi berkembang menjadi pelaku di masa depan karena menyimpan dendam atau menormalisasi kekerasan.

b. Pada pelaku. Terbentuk kepribadian manipulatif, dominatif, dan tidak empatik. Pelaku merasa kekerasan adalah cara efektif mendapatkan kuasa, sehingga nilai-nilai adab seperti kasih sayang, kejujuran, dan penghargaan terhadap orang lain hilang.

c. Pada saksi. Menjadi apatis dan permisif terhadap ketidakadilan. Hilangnya keberanian moral (moral courage) yang merupakan ciri manusia beradab.

Ketiga, rusaknya budaya sekolah sebagai ruang peradaban. 

Sekolah adalah miniatur masyarakat. Bila budaya kekerasan tumbuh, maka:

a. Normalisasi kekerasan. Bullying yang dibiarkan membuat kekerasan dianggap hal biasa. Ini meruntuhkan misi sekolah sebagai tempat menanamkan etika dan akhlak.

b. Hilangnya rasa aman. Lingkungan yang penuh ancaman membuat siswa fokus pada bertahan hidup, bukan belajar, berkembang, atau meningkatkan moralitas.

c. Degradasi nilai kebersamaan. Visi pembentukan manusia yang beradab menuntut kerja sama, empati, dan solidaritas. Bullying merusak semuanya dengan menghadirkan kompetisi toxic dan dominasi.

Keempat, hambatan perkembangan sosial dan kecerdasan emosional.

Bullying mengganggu kemampuan anak mengekspresikan emosi dengan sehat dan memahami perasaan orang lain.

a. Empati melemah. Korban sibuk melindungi diri, pelaku menumpulkan empati, saksi kehilangan kepekaan—semuanya bertolak belakang dengan prinsip adab “menghargai sesama manusia.”

b. Keterampilan sosial terhambat. Anak kesulitan bekerja sama, berkomunikasi, dan menyelesaikan konflik secara bermoral.
Pribadi beradab tumbuh dari interaksi sosial yang sehat—hal yang tidak mungkin muncul dalam atmosfer bullying.

Kelima, dampak akademik yang menghambat pembentukan adab.

Ada hubungan erat antara prestasi, konsentrasi, dan kesehatan moral.

a. Penurunan motivasi belajar. Anak kehilangan fokus dan energi. Pendidikan karakter yang berlangsung lewat kegiatan belajar otomatis sulit terserap.

b. Ketidakhadiran atau putus sekolah. Banyak korban memilih menghindari sekolah—sehingga terputus dari proses pembentukan akhlak dan nilai-nilai yang diajarkan secara formal.

Keenam, dampak ekstrem yaitu gangguan mental berat hingga bunuh diri.

Meningkatnya kasus bunuh diri pelajar menunjukkan bahwa bullying mengikis seluruh pilar pembentuk pribadi beradab: martabat, keamanan, harapan, nalar yang sehat, dan relasi baik dengan orang lain. Saat pelajar kehilangan semua itu, ia kehilangan makna diri—dan pendidikan pun kehilangan tujuan utamanya.

Ketujuh, dehumanisasi: hilangnya rasa kemanusiaan. 

Bullying pada dasarnya adalah proses dehumanisasi—pelaku memperlakukan korban sebagai objek, bukan manusia. Ini bertentangan langsung dengan inti adab dalam perspektif: Islam yang memanusiakan manusia (takrīm al-insān),  filsafat moral yang  menjunjung martabat dan menghormati sesama, serta  tujuan pendidikan nasional yang hendak membentuk manusia berkarakter mulia. Ketika dehumanisasi merajalela, pribadi beradab tidak mungkin terbentuk.

Demikianlah, dampak bullying di lembaga pendidikan tidak hanya merusak individu, tetapi juga merongrong seluruh bangunan moral yang ingin dibangun pendidikan. Dalam kata lain, bullying adalah antitesis dari peradaban. Ia memproduksi trauma, karakter destruktif, dan budaya sekolah yang tidak manusiawi. Karena itu, lonjakan kasus bullying harus dipandang sebagai krisis moral dan kegagalan sistem hidup saat ini mendidik generasi, bukan sekadar pelanggaran disiplin.

Strategi Lembaga Pendidikan untuk Menurunkan Kasus Bullying sehingga Visinya Tercapai

Mewujudkan anak yang beradab (berakhlak mulia) tentu tak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang berbasis agama (Islam). 
Maka berikut ini strategi lembaga pendidikan dalam pandangan Islam untuk menurunkan kasus bullying agar visi pendidikan—mewujudkan manusia beradab—dapat tercapai. Strategi ini bersifat sistematis, aplikatif, dan berlandaskan prinsip-prinsip tarbiyah Islam. 

Pertama, membangun lingkungan pendidikan berbasis takwa dan ihsan. 

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tetapi pembentukan karakter melalui suasana yang menumbuhkan rasa diawasi Allah (muraqabah) dan dorongan berbuat baik (ihsan). Implementasinya adalah: setiap kegiatan pembelajaran dibingkai nilai akhlak, kegiatan rutin seperti halaqah, tausiyah singkat, atau pembiasaan adab sebelum belajar. Serta guru menjadi teladan dalam tutur kata dan sikap. Dampaknya, siswa menyadari bahwa perilaku zalim seperti bullying bukan sekadar pelanggaran aturan sekolah, tetapi dosa yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Kedua, menegakkan aturan yang Tegas dan adil (siyasah ta’dibiyah). 

Islam memerintahkan pemimpin untuk menerapkan aturan yang mencegah kezaliman. Sekolah sebagai miniatur masyarakat wajib membuat regulasi tegas. Implementasinya ialah: SOP anti-bullying yang jelas, mencakup: pencegahan, pelaporan, pendampingan, dan sanksi. Sanksi bersifat mendidik (ta’dib), bukan balas dendam. Misalnya: konseling wajib, permintaan maaf formal, tugas layanan sosial, hingga skors bila berulang. Pun ada pengawasan area rawan bullying: toilet, lorong kelas, area belakang sekolah. Dampaknya antara lain:
pelaku memahami konsekuensi serius, sementara korban merasa aman dan terlindungi.

Ketiga, memperkuat peran guru sebagai murabbi, bukan sekadar pengajar. 

Islam menempatkan guru sebagai pendidik spiritual dan moral. 
Implementasinya melalui: pelatihan guru untuk deteksi dini perilaku agresif, isolasi sosial, atau tanda-tanda depresi, guru menjadi pihak pertama yang mengintervensi sebelum masalah membesar, serta penanaman adab dalam setiap kesempatan, bukan hanya di mata pelajaran agama. Diharapkan berdampak guru mampu mencegah konflik kecil berkembang menjadi bullying berkepanjangan.

Keempat, pembinaan karakter melalui kurikulum adab. 

Rasulullah SAW diutus “liutammima makarim al-akhlaq" (menyempurnakan akhlak). Artinya, adab adalah inti pendidikan Islam. Implementasinya yaitu: menjadikan pelajaran adab sebagai inti: menghormati teman, menjaga lisan, tidak merendahkan, tidak mengejek fisik. Metode pembelajaran experiential learning dengan: drama, simulasi empati, tugas kolaboratif. Dampak yang diharapkan: 
siswa belajar merasakan efek buruk perilaku kasar sehingga enggan melakukannya.

Kelima, menguatkan budaya amar makruf nahi mungkar di lingkungan sekolah.

Islam menekankan pentingnya budaya saling menegur atas kemungkaran—termasuk bullying. Implementasinya adalah: membentuk komunitas siswa “Sahabat Anti-Bullying”. Lalu melatih siswa untuk berani menegur atau melapor (tanpa dianggap “mengadu”). Dampaknya, tekanan sosial berubah: yang malu bukan korban, tetapi pelaku.

Keenam, memperkuat dukungan keluarga dan komunitas. 

Islam memandang pendidikan sebagai tanggung jawab kolektif: keluarga, sekolah, masyarakat.  Implementasinya adalah: program parenting Islam mengenai pola asuh tanpa kekerasan, forum komunikasi guru–orang tua yang intensif, serta
dakwah komunitas: kajian tentang larangan zalim, adab pergaulan, tanggung jawab sosial. Dampaknya adalah keseimbangan lingkungan: apa yang dibangun di sekolah tidak dirusak di rumah.

Ketujuh, membangun sistem konseling islami. 

Korban dan pelaku sama-sama butuh penanganan. Implementasinya yaitu: 
konselor berbasis pendekatan syar’i: mendengar, memberi dukungan, memperbaiki kepribadian. Selain itu, pelaku dibina agar memahami hakikat dosa, tanggung jawab, dan empati. Lalu korban dikuatkan dengan konsep tawakkal, izzah (harga diri), dan keberanian. Dampaknya, kepribadian siswa dibentuk secara utuh, tidak meninggalkan luka psikologis berkepanjangan.

Kedelapan, menjadikan kepala sekolah sebagai qiyadah (pemimpin visioner). 

Pemimpin dalam Islam wajib memastikan sekolah menjadi tempat yang aman dan beradab.
Implementasinya dengan: monitoring rutin terhadap perilaku siswa, evaluasi kebijakan anti-bullying secara berkala, serta menjadikan visi adab dan keselamatan sebagai indikator utama keberhasilan sekolah. Dampak yang diharapkan adalah kepala sekolah menjadi motor perubahan yang konsisten.

Dengan strategi ini, sekolah bukan hanya mencegah bullying, tetapi juga melahirkan generasi yang berakhlak, beradab, dan kuat secara spiritual sesuai visi pendidikan Islam. Keberhasilan strategi seperti ini juga seiring dengan penerapan syariat Islam di berbagai aspek kehidupan.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

Opini

×
Berita Terbaru Update