Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

KUHAP Baru, Gerbang Menuju Police State: Benarkah?

Senin, 01 Desember 2025 | 17:58 WIB Last Updated 2025-12-01T10:58:20Z

TintaSiyasi.id -- Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan kembali memicu perdebatan tajam di ruang publik. Ada sejumlah pasal yang dinilai berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia (HAM), memperluas kewenangan aparat penegak hukum (APH) tanpa kontrol, serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.

KUHAP adalah instrumen fundamental dalam menjamin proses peradilan pidana yang adil (fair trial). Sejak disahkan pada tahun 1981, KUHAP menggantikan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), produk kolonial yang sangat represif. KUHAP hadir dengan semangat melindungi hak tersangka, membatasi kekuasaan penyidik, serta menjamin proses hukum yang lebih manusiawi (Muladi, 1995). 

Namun, revisi yang belakangan dilakukan justru dinilai sebagian pihak sebagai langkah mundur. Beberapa pasal yang dikritik antara lain: pelebaran kewenangan penyadapan tanpa kontrol pengadilan, penahanan yang lebih longgar, serta lemahnya standar due process. Banyak organisasi masyarakat sipil seperti ICJR, KontraS, dan LBH menyatakan bahwa revisi KUHAP berpotensi menciptakan rezim hukum yang represif. 

Pun banyak pihak menilai, revisi KUHAP berpotensi membentuk police state (negara polisi). Ketika polisi sebagai APH justru terjebak hanya melayani kepentingan rezim pemerintahan dengan mengabaikan amanat penderitaan rakyat atau kepentingan rakyat yang lebih besar. Padahal, bukankah polisi seharusnya menjauh dari kepentingannya sebagai alat kekuasaan, serta berkonsentrasi pada penegakan hukum yang berkeadilan?

Kritik terhadap KUHAP Baru yang Dinilai Berpotensi Membentuk Police State

Kekhawatiran bahwa revisi KUHAP yang baru bisa membuka pintu bagi police state merupakan hal yang wajar.  Sebuah police state bisa muncul ketika APH (khususnya polisi) memiliki kewenangan sangat besar tanpa kontrol efektif—misalnya untuk menangkap, menahan, menyadap, atau menggeledah secara sewenang-wenang, dan warga negara menjadi rentan terhadap pelanggaran HAM. 

Menurut kritik terhadap KUHAP baru, ada beberapa ketentuan yang dianggap memperkuat risiko tersebut. Berikut analisis mengapa hal itu bisa terjadi, dengan merujuk pada pasal-pasal bermasalah, serta kelemahan kontrol APH.

Pertama, kewenangan penangkapan dan penahanan yang longgar.

Pasal 87 dan 92: dalam draf revisi, hanya sebagian penyidik yang boleh melakukan penangkapan dan penahanan. Menurut liputan Kompas, Pasal 87 Ayat (3) menyatakan bahwa PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dan penyidik tertentu tidak dapat melakukan penangkapan, kecuali atas perintah Penyidik Polri. Demikian pula Pasal 92 mengatur penahanan; hanya Polri (dan sebagian tertentu seperti jaksa, KPK, TNI AL) yang bisa menahan secara langsung. 

Implikasi: membatasi kewenangan sejumlah penyidik hanya pada Polri (atau instansi tertentu) bisa memperkuat monopoli kekuasaan penyidikan di tangan polisi, memperbesar risiko dominasi Polri dalam proses pidana. Bila tidak disertai kontrol kuat, hal ini bisa menyiratkan bahwa polisi dapat lebih mudah menahan tersangka, bahkan ketika bukti belum sangat kuat.

Kedua, syarat penahanan yang lemah/ kurang kontrol independen. 

Berdasarkan pernyataan di DPR, penahanan dalam Pasal 99/100 (dalam versi diskusi) mensyaratkan minimal dua alat bukti. Namun, syarat “dua alat bukti” bisa ditafsirkan fleksibel dan tetap rawan disalahgunakan jika tidak ada pengawasan ketat oleh pihak judicial. 

Selain itu, Komisi III DPR menyebutkan bahwa penangkapan dan penahanan “sangat hati-hati dan dengan syarat yang sangat ketat”. Namun, kritik muncul bahwa kontrol pengadilan atas tindakan penahanan mungkin masih kurang memadai, karena izin praperadilan atau pengawasan pengadilan belum diatur secara cukup ketat.

Ketiga, penyitaan tanpa izin pengadilan dalam kondisi “mendesak”.

Dalam Catatan Pembaruan dari Panja DPR (dokumen internal pembahasan) disebut bahwa Pasal 111–112 di RUU KUHAP memberikan kewenangan penyidik untuk melakukan penyitaan tanpa izin pengadilan dalam kondisi “sangat perlu dan mendesak.” 

Masalah: belum ada definisi objektif yang jelas tentang apa yang dimaksud “keadaan mendesak”. Karena itu, aparat bisa menafsirkan “mendesak” sesuai penilaian mereka sendiri, yang membuka potensi penyalahgunaan, misalnya untuk menyita harta milik warga sebelum ada pengadilan yang menilai. Ini sangat mengancam hak milik dan prinsip due process jika tidak ada batasan ketat dan pengawasan pengadilan.

Keempat, pemblokiran aset dan jejak digital dengan izin hakim yang dipersoalkan.

Menurut Komisi III DPR (Habiburokhman), Pasal 140 ayat (2) KUHAP baru mengatur bahwa “semua bentuk pemblokiran termasuk pemblokiran tabungan dan jejak online harus mendapat izin hakim (ketua Pengadilan Negeri)."

Meski klaim ini dibuat DPR, beberapa pihak khawatir bahwa prosedur untuk mendapatkan izin hakim tersebut bisa formalitas dan menjadi pintu masuk bagi penyalahgunaan. Jika pemblokiran aset dan jejak digital diizinkan secara luas, dan proses izin tidak transparan atau sulit diperkarakan, maka warga bisa kehilangan kontrol atas data keuangan dan digital mereka oleh APH.

Kelima, penyadapan (“wiretapping”) yang dipisahkan dari KUHAP → risiko regulasi lemah. 

Dalam versi draf RUU, pasal-pasal tentang penyadapan (Pasal 124–128) pernah ada, misalnya: Pasal 124 mengatur bahwa penyidik, PPNS, atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan dengan izin Pengadilan Negeri (PN), kecuali dalam keadaan mendesak.

Tetapi kemudian, DPR menyatakan bahwa aturan penyadapan dihapus dari KUHAP dan akan diatur dalam undang-undang tersendiri (UU khusus penyadapan). 

Kritik: memisahkan penyadapan dari KUHAP bisa melemahkan kontrol prosedural: jika UU penyadapan nanti tidak seketat KUHAP atau kalah prioritas, maka APH bisa menyadap dengan aturan yang lebih longgar, tanpa mekanisme “pra-sidik” KUHAP. Bahkan dalam draf awal, definisi “keadaan mendesak” untuk penyadapan juga belum jelas, dan batas waktu atau mekanisme pengujian hasil sadapan (misalnya ke pengadilan) tidak cukup dijelaskan. 

KPK juga mengkritik, karena dalam RUU KUHAP draf awal, penyadapan baru boleh dilakukan sejak tahap *
penyidikan dan harus izin pengadilan lokal; ini akan “mereduksi” kewenangan penyelidik KPK yang selama ini bisa menyadap sejak tahap penyelidikan. Karena aturan penyadapan dipindahkan ke UU tersendiri, ada risiko bahwa pengaturan kontrol (misalnya audit, transparansi, mekanisme praperadilan) bisa dilemahkan di undang-undang baru tersebut, terutama jika proses legislasi kurang partisipatif.

Keenam, struktur penyidik yang bisa memperkuat dominasi Polri.

Pasal 6 Ayat (1) revisi KUHAP menyebut jenis penyidik: Polri, PPNS, dan penyidik tertentu seperti jaksa, KPK, TNI AL, dan lain-lain. Kombinasi dengan pasal-pasal penangkapan/penahanan (hanya Polri dan sebagian instansi tertentu bisa menahan langsung) menunjukkan bahwa Polri mengambil peran utama dalam tindakan paksa. Jika peran pengawasan eksternal (oleh pengadilan, praperadilan, mekanisme pengaduan) tidak diperkuat, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan polisi akan meningkat.

Dari poin-poin di atas, berikut risiko spesifik terhadap HAM dan prinsip peradilan yang adil (fair trial):

a. Erosion of due process. Penahanan, penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan bisa dilakukan dengan justifikasi “mendesak” tanpa definisi jelas, membuka celah tindakan sewenang-wenang.

b. Kurangnya pengawasan independen. Bila pengambilan keputusan kritis (penahanan, pemblokiran, penyitaan) terlalu tergantung pada penilaian penyidik atau atas “izin” hakim dengan standar yang rendah, maka kontrol independen atas aparat lemah.

c. Potensi pelanggaran privasi. Pemblokiran jejak digital dan penyadapan dapat menembus privasi warga secara mendalam, terutama jika proses perizinannya tidak transparan atau mudah disalahgunakan.

d. Ketergantungan pada Polri. Kewenangan besar penyidikan dan tindakan paksa di tangan Polri tanpa pembagian kontrol yang proporsional meningkatkan risiko dominasi polisi dalam sistem peradilan pidana, dan melemahkan peran lembaga peradilan sebagai check and balance.

e. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks politik otoriter atau pemerintahan yang cenderung represif, kewenangan luas ini bisa digunakan untuk menekan lawan politik, aktivis, atau kelompok minoritas dengan justifikasi kriminal, terutama jika pengawasan lemah.

Oleh karena itu, walaupun DPR/komisi terkait menyatakan bahwa revisi KUHAP memperketat beberapa prosedur (misalnya izin hakim untuk pemblokiran, syarat minimal alat bukti), kritik menunjukkan bahwa banyak pasal baru masih memberi ruang keleluasaan besar bagi APH — terutama Polri — dalam menggunakan kekuatan. Pemisahan aturan penyadapan ke undang-undang terpisah juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kontrol terhadap penyadapan bisa dilemahkan.

Selain itu, ketidakjelasan definisi “keadaan mendesak” untuk penyitaan dan pemblokiran, ditambah kurangnya batasan yang kuat dan pengawasan pengadilan, memperbesar risiko pelanggaran HAM dan menyuburkan potensi police state.

Dampak Police State terhadap Jaminan hak HAM Warga Negara

Police state bukan sekadar istilah politis, tetapi kondisi ketika APH, khususnya kepolisian memiliki kewenangan sangat luas tanpa mekanisme kontrol yang memadai. Dalam konteks revisi KUHAP, kekhawatiran terhadap police state muncul karena beberapa pasal dinilai berpotensi memperbesar kekuasaan APH dan memperkecil perlindungan terhadap warga. Berikut penjelasan dampak police state terhadap jaminan HAM warga negara Indonesia:

Pertama, hilangnya prinsip due process of law. 

Dalam negara hukum modern, due process of law adalah jantung perlindungan HAM. Jika revisi KUHAP memperlonggar: penahanan tanpa syarat yang ketat, penyadapan tanpa izin pengadilan, atau pemeriksaan tanpa standar yang jelas, maka warga negara dapat kehilangan jaminan bahwa proses hukum yang menimpa mereka dilakukan secara adil, transparan, dan dapat diuji. Di negara yang cenderung police state, prosedur hukum digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan, bukan untuk menegakkan keadilan.

Kedua, potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). 

Kewenangan luas tanpa check and balance sering memicu: kriminalisasi terhadap aktivis, pembela HAM, jurnalis, atau oposisi politik, ancaman, intimidasi, atau pemaksaan pengakuan, hingga tindakan brutal atau kekerasan aparat yang sulit dipertanggungjawabkan. Jika mekanisme pengawasan internal dan eksternal lemah, aparat bisa bertindak sewenang-wenang tanpa takut sanksi.

Ketiga, melemahnya hak atas privasi. 

Penyadapan tanpa izin pengadilan menjadi salah satu kritik terbesar terhadap revisi KUHAP. Dalam police state, penyadapan sering digunakan untuk: mengontrol warga, melacak aktivitas politik, serta mengumpulkan data pribadi tanpa dasar hukum kuat. Hak atas privasi, yang dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945, menjadi rentan dilanggar.

Keempat, terjadinya kriminalisasi berlebihan (Overcriminalization). 

Ketika kewenangan penahanan atau pemeriksaan diperluas, warga lebih mudah: ditangkap, ditahan lama,
dan diproses pidana meskipun dengan bukti minimal. Hal ini bertentangan dengan asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), yang menjadi prinsip fundamental HAM.

Kelima, menurunnya akuntabilitas aparat. 

Dalam iklim police state, aparat lebih sulit dikritik atau dituntut karena: lembaga pengawas lemah, proses pengaduan rumit, dan budaya impunitas tinggi. Ketika APH sukar dipertanggungjawabkan, maka pelanggaran HAM meningkat.

Keenam, ketakutan publik dan hilangnya rasa aman. 

HAM bukan hanya perlindungan formal, tetapi juga jaminan keamanan psikologis warga negara. Jika aparat berada di atas hukum dan memiliki kewenangan represif, masyarakat mengalami rasa takut terhadap polisi, hilangnya kepercayaan pada sistem hukum, dan budaya diam (chilling effect) terhadap kritik pemerintah.

Ketujuh, penyempitan ruang kebebasan sipil.

Dalam police state, yang paling terdampak adalah: kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers. Revisi KUHAP yang memberi ruang kegiatan penyadapan, penahanan, atau pemanggilan yang longgar berpotensi membungkam kritik publik.

Demikianlah, dampak police state terhadap jaminan HAM di Indonesia begitu serius. Revisi KUHAP yang tidak memperkuat mekanisme pengawasan justru menggeser paradigma penegakan hukum dari melindungi warga menjadi melindungi rezim. Bukankah ini bertentangan dengan amanat konstitusi, prinsip HAM, dan semangat reformasi kepolisian itu sendiri?

Strategi Mengurangi Potensi Terbentuknya Police State

Mengingat dampak police state yang serius bagi jaminan HAM serta perlindungan warga, maka berikut ini strategi untuk mengurangi potensi terbentuknya police state: 

Pertama, pengamanan hukum, yaitu koreksi norma yang berisiko (perbaikan UU dan judicial review). 

Tindakan konkretnya antara lain: 

a. Mendorong pembatasan tegas: kewajiban persetujuan hakim sebelum penyadapan, penahanan, atau tindakan koersi lain (amandemen pasal terkait). Masukkan persyaratan bukti minimal dan batas waktu. 

b. Uji materiil (judicial review) ke MK terhadap pasal-pasal yang melemahkan prinsip due process; dukung litigasi strategis oleh organisasi bantuan hukum.

c. Mengatur mekanisme darurat yang jelas (apa itu keadaan “luar biasa” sehingga pengawasan bisa dipangkas) agar tidak disalahgunakan.

d. Menyertakan sanksi individu (bukan hanya administratif) bagi aparat yang menyalahgunakan kewenangan. 

Kedua, pengawasan independen dan mekanisme akuntabilitas.

Tindakan konkret dengan: 

a. Membentuk atau memperkuat Komisi Pengawas Independen (dengan kewenangan penyelidikan, pemanggilan saksi, rekomendasi penuntutan) yang beranggotakan sipil, akademisi hukum, dan korban HAM.

b. Memastikan divisi internal affairs kepolisian benar-benar independen (anggaran terpisah, pelaporan publik).

c. Mewajibkan laporan publik berkala tentang penggunaan tindakan koersi (penahanan, penyadapan, penyitaan).

Ketiga, memperkuat pemisahan kekuasaan dan pengawasan legislatif. 

Tindakan konkret ialah: 

a. Parlemen melakukan hearing publik dengan melibatkan ahli, korban, dan LSM sebelum undang-undang diberlakukan; rekaman dan risalah dipublikasikan.

b. Membentuk panitia kerja lintas partai yang fokus pada kepatuhan terhadap standar HAM internasional.

c. Menggunakan mekanisme pengawasan anggaran untuk menolak pembiayaan kebijakan represif.

Keempat, transparansi, data dan pembatasan teknologi pengawasan. 

Tindakan konkretnya adalah: 

a. Menetapkan kewajiban warrant (izin hakim) tertulis sebelum akses metadata atau isi komunikasi, kecuali kondisi sangat darurat dengan reporting ex post dan review independen.

b. Mengembangkan undang-undang perlindungan data dan standar audit untuk vendor teknologi pengawasan.

c. Audit berkala terhadap penggunaan CCTV, facial recognition, dan alat intelijen digital oleh entitas independen. 

Kelima, profesionalisasi aparat dan budaya kepolisian berbasis HAM.

Tindakan konkretnya antara lain:

a. Program pelatihan HAM wajib untuk seluruh jenjang (investigasi, pengadilan, penahanan).

b. Rekrutmen berbasis merit, rotasi jabatan untuk mencegah patronase, dan penilaian kinerja yang memasukkan indikator penghormatan HAM.

c. Mekanisme penghargaan bagi polisi yang menegakkan prosedur hukum dan perlindungan HAM.

Keenam, peran masyarakat sipil, media, dan litigasi strategis. 

Tindakan konkret:

a. Koalisi LSM untuk advokasi terpadu (hukum, kampanye publik, riset kebijakan).

b. Strategic communications: data, narasi korban, ringkasan pasal bermasalah — gunakan bahasa populer untuk menarik dukungan publik.

c. Strategic litigation ke pengadilan domestik dan, bila perlu, pemanfaatan forum internasional/komisi HAM.

Ketujuh, strategi jangka pendek sebagai langkah mitigasi cepat. 

Tindakan konkret (bisa diinisiasi langsung):

a. Mengajukan permohonan penangguhan atau Perppu jika beralasan urgensi hak asasi (dengan skenario hukum yang solid dan dukungan publik).

b. Meluncurkan kampanye kesadaran nasional, untuk menjelaskan pasal bermasalah dan konsekuensi nyatanya bagi warga.

c. Mengumpulkan dokumentasi kasus (database penyalahgunaan) untuk bukti advokasi/litigasi. 

Patut diingat, langkah-langkah seperti Perppu atau permohonan judicial review harus dipertimbangkan dengan hati-hati (risiko politis). Koalisi sipil dan advokat perlu menilai kekuatan politik dan bukti sebelum mengambil opsi ini. 

Demikianlah beberapa strategi mencegah terbentuknya police state di negeri ini. Rekomendasi praktis untuk beberapa kelompok yaitu: 

a. LSM/advokat: koordinasikan litigasi strategis + kampanye bukti-berbasis; siapkan draf amandemen alternatif. 

b. Parlemen/legislator pro-hak asasi: desak hearing publik, minta moratorium pemberlakuan sampai perbaikan substansial. 

c. Media dan jurnalis: investigasi kasus nyata penyalahgunaan, publikasikan ringkasan pasal bermasalah dalam bahasa yang mudah dimengerti.

d. Publik/komunitas: ikut kampanye demo damai, tandatangani petisi bertarget, dan dukung LSM yang kredibel.

Dengan demikian, mencegah terbentuknya police state membutuhkan gabungan koreksi hukum yang cepat, pengawasan institusional yang independen, dan kontrol sosial oleh masyarakat sipil dan media. Di mana fokus prioritas awal ialah: mengamankan mekanisme pengawasan yudisial terhadap penyadapan/penahanan, memperkuat pengawas independen, dan meluncurkan litigasi serta kampanye publik yang terkoordinasi.
 

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

PUSTAKA
 https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf?utm_source=chatgpt.com "RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf"

 https://kontras.org/media/siaranpers/ruu-kuhap-gagal-memperbaiki-masalah-besar-polisi-dan-peradilan-pidana-hentikan-tuduhan-hoax-kepada-masyarakat-tunda-pemberlakuan-kuhap-baru?utm_source=chatgpt.com "ruu kuhap gagal memperbaiki masalah besar polisi dan ..."

 https://icjr.or.id/tata-cara-penyadapan-bukan-diatur-pp-melainkan-kuhap/print/page/11/?utm_source=chatgpt.com "Tata cara penyadapan bukan diatur PP melainkan KUHAP"

 https://bantuanhukum.or.id/wp-content/uploads/2024/08/Kertas-Kebijakan-RKUHAP-KontraS-dan-LBH-Jakarta.pdf?utm_source=chatgpt.com "Revisi KUHAP sebagai Solusi Struktural Pengentasan ..."

 https://icjr.or.id/hentikan-tuduhan-hoaks-kepada-masyarakat-tunda-pemberlakuan-kuhap-baru/?utm_source=chatgpt.com "[RILIS KOALISI] RUU KUHAP Gagal Memperbaiki Masalah ..."

Opini

×
Berita Terbaru Update