Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Korban Bantu Korban, Warga Tolong Warga: Inikah Respons atas Kelambanan Pemerintah Tangani Bencana di Sumatra?

Senin, 08 Desember 2025 | 19:56 WIB Last Updated 2025-12-08T12:57:03Z
TintaSiyasi.id -- Korban bantu korban. Warga tolong warga. Fenomena ini muncul di tengah lambannya pemerintah menangani korban banjir bandang dan longsor di Sumatra.  LBH Padang menyebut, kalau berharap negara pasti lamban, karena itu warga saling membantu terlebih dahulu. Langkah ini merupakan gerakan bersama, banyak elemen bergabung, relawan, dan donatur (liputan6.com, 5/12/2025).

Senada, Akademisi Hukum dan Pemerintahan, Dr.Teuku Rasyidin menilai pemerintah gagal menyelamatkan para korban, khususnya wilayah terisolir. Menurutnya, banjir Sumatra bukan bencana biasa. Data dan fakta di lapangan lebih dari cukup untuk menetapkan status darurat bencana nasional. Ia memandang, pemerintah pusat gagal membaca urgensi situasi yang kian  memburuk. Ia pun mempertanyakan, kerusakan sudah meluas, pelayanan dasar lumpuh, ribuan keluarga terisolasi, jalan nasional putus, dan infrastruktur vital hancur, kalau belum dianggap darurat, lalu apa definisi darurat menurut pemerintah (acehonline.co, 5/12/2025).

Banyak pihak menyoroti lambannya pemerintah menangani pasca bencana. Ada beberapa daerah yang berhari-hari belum mendapat bantuan pemerintah, hingga warga dari tempat lain tiba dan membantu mereka. Bahkan hingga kini, Aceh Tamiang menjelma jadi Kota Zombie. Mencekam. Mati lampu.  Bangkai kendaraan, hewan, hingga mayat manusia belum terevakuasi. Bau busuk menyengat.

Tantangan geografis seringkali diajukan. Dari akses jalan yang terputus total hingga medan yang sulit dijangkau. Memang tak ada yang mudah dalam situasi bencana. Justru di sinilah kehendak politik pemimpin teruji. Apakah menangani korban bencana sama cepatnya dengan menandatangani izin kelola hutan. Apakah mendatangi lokasi banjir sama rajinnya ketika masa kampanye Pemilu. Bukan karena pencitraan, tetapi tuntutan amanah kekuasaan yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan pemilik alam.

Korelasi Belum Ditetapkannya Status Bencana Nasional di Sumatra dengan Lambannya Bantuan Pemerintah

Koalisi Masyarakat Sipil Aceh mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan status darurat bencana nasional di Pulau Sumatra. Desakan lain juga disuarakan anggota Komisi VIII DPR Dini Rahmania. Legislator fraksi Partai NasDem ini mengatakan penetapan status bencana nasional penting dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah korban jiwa hingga melumpuhkan infrastruktur strategis. 

Penetapan ini akan memberikan legitimasi politik kepada presiden guna melakukan audit lingkungan, moratorium izin, hingga penegakan hukum terhadap figur perusak kawasan hingga muncul bencana ini. Selain itu, karakter bencana yang dipicu Siklon Tropis Senyar juga bersifat lintas wilayah, sehingga memerlukan komando tunggal dari pemerintah pusat. Apalagi kerusakan infrastruktur strategis seperti jalur lintas Sumatra yang berdampak pada mobilitas logistik nasional dan pemulihan ekonomi juga butuh intervensi APBN. 

Namun, hingga kini pemerintah pusat belum menetapkan tragedi ini sebagai bencana nasional. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto mengungkap karena: masih masuk kategori bencana daerah tingkat provinsi, skala korban belum mencapai ambang batas penetapan status bencana nasional, dan kondisi di tiga wilayah terdampak tidak begitu mencekam (tempo.co, 1/12/2025).

Dari sekian analisis dan laporan, bila kita dalami memang ada korelasi antara belum ditetapkannya status bencana nasional untuk bencana di Sumatra dengan lambatnya bantuan pemerintah. Secara regulasi, penetapan status bencana nasional memang memberi dasar hukum formal bagi mobilisasi sumber daya nasional secara besar-besaran. Menurut ketentuan BNPB dan regulasi di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penetapan status darurat/nasional dilakukan ketika skala bencana telah melampaui kapasitas daerah.

Status nasional memungkinkan koordinasi dan distribusi bantuan dengan skema nasional, artinya pemerintah pusat dapat memfokuskan anggaran, logistik, evakuasi, dan dukungan cepat ke wilayah terdampak tanpa tergantung kemampuan provinsi atau kabupaten/kota. Ketika status itu belum ditetapkan, pengelolaan bisa terlalu bergantung pada sumber daya lokal.

Meski sinyal ketidakmampuan daerah  mengatasi bencana telah nampak, sebagaimana ketidaksanggupan Bupati Aceh Timur,  Bupati Aceh Selatan, dan Bupati Aceh Tengah, tetapi itu tak serta-merta mendorong pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional. Keengganan ini menimbulkan praduga publik; dari soal dana mitigasi minim akibat kas negara "ngos-ngosan" untuk membiayai MBG, masuk Danantara, dan membiayai berbagai utang negara. Hingga konsekuensi penetapan status bencana nasional adalah investigasi menyeluruh terhadap aktor pengrusakan lingkungan yang diduga dilakukan oleh pejabat berkelindan dengan sejumlah konglomerat. Akankah mereka mau membuka aib dan menghukum diri sendiri?

Dengan demikian,  penetapan status bencana nasional bagi banjir dan longsor di Sumatra setidaknya menunjukkan kehendak politik yang kuat dari pemerintah untuk menangani bencana ini. Sudahlah berkontribusi bagi terjadinya tragedi ini, tetapi tidak optimal juga dalam menangani pasca bencana.

Miris. Ironis. Entah kata apalagi untuk merefleksikan kezaliman ini. Nampak jelas, rakyat tak bisa berharap banyak pada penguasa dalam rengkuhan sistem demokrasi sekuler. Tak ada jiwa pelayanan. Yang dicari hanyalah keuntungan demi keuntungan. Mereka mengurus rakyat bukan berdasar takwa dan iman, tetapi demi pencitraan dan keberlangsungan kekuasaan. Wajar jika kemudian terjadi fenomena korban bantu korban di daerah bencana karena masyarakat sudah tak sabar dan distrust pada kesungguhan pemimpin menolong mereka.

Korban Bantu Korban: Bukan Sekadar Solidaritas Warga tapi Cermin Lambannya Kehadiran Negara

Fenomena korban bantu korban dalam bencana ekologis di Sumatra bukan sekadar gambaran kepedulian warga, tetapi sekaligus cermin dari kelemahan struktural, manajerial, dan politik dari negara dalam penanganan bencana. Ada sejumlah faktor yang membuat keadaan ini tampak begitu menonjol:

Pertama, keterlambatan pemerintah dalam merespons (slow response state)

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa bantuan resmi datang sangat lambat, sementara situasi di lapangan memburuk setiap jam. Lambannya respons ini biasanya dipicu oleh: birokrasi panjang dalam penetapan status bencana, koordinasi antarlembaga yang tidak efektif, keterbatasan SDM dan peralatan di tingkat daerah, serta minimnya sistem komando terpusat dalam tanggap darurat. Saat negara lambat, masyarakat otomatis mengisi kekosongan.

Kedua, kerusakan infrastruktur berat yang melumpuhkan akses. 

Banyak wilayah di Sumatra, seperti Aceh Tamiang, terputus total: jalan nasional amblas, jembatan runtuh, listrik padam berhari-hari, dan jaringan komunikasi mati. Hal ini membuat tim pemerintah sulit masuk lebih cepat, sementara warga lokal yang masih mampu bergerak menjadi pihak pertama yang menolong tetangga mereka.

Ketiga, minimnya kesiapsiagaan dan mitigasi pemerintah daerah

Mitigasi di Indonesia sering berjalan setelah bencana terjadi, bukan sebelum. Termasuk: sistem peringatan dini yang tidak optimal, data wilayah rawan yang tidak diperbarui, anggaran bencana yang kecil, serta logistik yang tidak disiapkan di titik-titik rawan. Akibatnya, daerah terdampak tidak punya cadangan makanan, air bersih, atau alat evakuasi. Maka solusi tercepat adalah warga saling menolong, bukan menunggu negara.

Keempat, bencana terlalu besar untuk ditangani daerah, tetapi pemerintah pusat ragu menetapkan darurat nasional

Banjir bandang dan longsor ini skalanya lintas kabupaten/kota bahkan provinsi, dengan korban hingga ribuan.
Banyak pihak menilai seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional sehingga: pengerahan TNI–Polri bisa dilakukan lebih masif, logistik nasional bisa disalurkan cepat, helikopter, kapal besar, dan alat berat dapat dikerahkan maksimal. Ketika status ini tidak segera ditetapkan, daerah menjadi sendirian, dan masyarakat menjadi penopang utama di hari-hari pertama.

Kelima, ketergantungan berlebihan pada relawan dan inisiatif warga

Indonesia kaya solidaritas sosial. Namun, ini sering menjadi tameng tak terlihat bagi negara. Ketika masyarakat mandiri dan saling membantu, kegagalan negara jadi tidak tampak terlalu mencolok. Dalam konteks Sumatra, solidaritas ini sangat kuat, bahkan membentuk gerakan bersama dari berbagai wilayah. Sayangnya, ini menandakan ketidaksiapan sistem nasional.

Keenam, krisis kepemimpinan dan keputusan politik

Saat bencana, negara yang kuat ditandai oleh: keputusan cepat, mobilisasi alat berat dan logistik dalam hitungan jam, kehadiran pemimpin di lokasi bencana bukan untuk pencitraan, tetapi koordinasi. Sebaliknya, jika pemimpin lambat, ragu, atau lebih fokus pada agenda politik lain, maka masyarakat merasa ditinggalkan.

Ketujuh, ekologi yang rusak akibat kebijakan eksploitasi

Bencana ini bukan sekadar bencana alam, tetapi bencana ekologis:
deforestasi besar-besaran, izin eksploitasi hutan, sawit, tambang, serta tata ruang yang diabaikan.
Ketika negara memberi izin dengan cepat, tetapi penanganan akibatnya lambat, publik melihat adanya kontradiksi moral: “Cepat ketika memberi izin, lambat ketika menyelamatkan nyawa.” Hal ini memperkuat kesan bahwa negara lebih sigap melayani korporasi dari pada warganya.

Maka, kondisi “korban bantu korban” terjadi karena kegagalan sistemis negara membaca urgensi, buruknya manajemen bencana, rusaknya infrastruktur, minimnya mitigasi, hingga lemahnya kepemimpinan saat krisis. Saat negara absen, solidaritas warga menjadi penopang utama, tetapi ini bukan tanda kekuatan sistem, melainkan tanda rapuhnya layanan publik.

Strategi Penanggulangan Bencana Ekologis di Sumatra agar Rakyat Terlayani Kebutuhannya

Apabila penguasa dalam sistem demokrasi sekuler cenderung abai dalam melayani rakyat, maka Islam mengajarkan politik sebagai sarana mengurus kepentingan umat dan penguasa adalah pelayan bagi rakyat. 

Alangkah baiknya, menjadikan strategi penanggulangan bencana ekologis berdasarkan syariat Islam sebagai alternatifnya. Berikut strategi yang dapat diterapkan untuk kondisi seperti banjir bandang dan longsor di Sumatra, dengan pendekatan sistemis ala Islam yang berfokus pada pelayanan cepat, terstruktur, dan berbasis amanah.

Pertama, penetapan status darurat oleh pemerintah pusat

Dalam syariat, imam/khalifah adalah pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap keselamatan rakyat. Jika dampak bencana sangat luas, seperti layanan dasar lumpuh, banyak wilayah terisolir, kerusakan infrastruktur vital, pemimpin wajib segera: menetapkan status darurat bencana tanpa menunggu laporan berbelit, mengerahkan seluruh perangkat negara secara sentral, serta memobilisasi militer, logistik negara, tim medis, dan pekerja teknik. Tidak boleh ada keterlambatan, sebab “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka”
(HR. Bukhari Muslim). 

Kedua, memobilisasi aparat negara: militer sebagai garda terdepan

Dalam syariat, militer bukan sekadar alat pertahanan luar, tetapi juga alat penyelamat rakyat. Tugas militer dalam bencana: membuka jalur evakuasi dengan alat berat, menembus wilayah terisolir, membangun jembatan darurat, mendirikan dapur umum dan rumah sakit lapangan, hingga mengevakuasi jenazah, hewan mati, dan limbah berbahaya. Mobilisasi ini wajib bersifat serta-merta, tidak menunggu instruksi birokrasi panjang.

Ketiga, pengelolaan keuangan negara: baitul mal segera mengucurkan dana

Dalam sistem Islam, dana untuk bencana diambil dari beberapa pos Baitul Mal:

a. Pos Fa’i dan Kharaj. Dana besar untuk infrastruktur, termasuk pemulihan daerah yang hancur.

b. Pos Darurat. Dana untuk kebutuhan mendesak: makanan, pakaian, air bersih, obat-obatan, tenda dan hunian sementara. Tidak ada mekanisme utang luar negeri, sponsor, atau tunggu APBN—dana harus tersedia kapan pun karena negara adalah penanggung hidup rakyat.

Keempat, sistem logistik negara yang terpusat dan cepat

Syariat menuntut negara memiliki: gudang logistik nasional di tiap provinsi, stok pangan dan medis, armada udara, laut, dan darat yang siap digerakkan, serta pusat komando bencana di tingkat wilayah. Ketika jalan nasional putus, jalur udara harus segera digunakan (helikopter atau pesawat angkut).

Kelima, pencegahan bencana: reformasi tata kelola lingkungan

Bencana ekologis bukan hanya musibah alam, tetapi sering efek dari: pembabatan hutan, tambang besar, alih fungsi lahan, dan tata ruang yang buruk. Dalam syariat, hutan, sungai, padang rumput adalah kepemilikan umum, tidak boleh diprivatisasi. Negara wajib mencegah eksploitasi yang merusak. Izin tambang dan konsesi hutan tidak diberikan kepada korporasi yang menyebabkan kerusakan

Keenam, pelayanan korban: negara menanggung semua kebutuhan

Tanggung jawab negara meliputi:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar. Seperti: makanan, air bersih, tempat tinggal sementara, layanan kesehatan, serta sanitasi dan keamanan

b. Penanganan zona paling parah dan terisolir lebih dulu. Bukan menunggu laporan viral, tetapi berdasarkan deteksi negara.

c. Manajemen jenazah. Jenazah manusia wajib segera dievakuasi dan dimuliakan. Bangkai hewan dibersihkan untuk mencegah wabah.

Ketujuh, rekonstruksi cepat dan terencana. 

Negara berkewajiban membangun kembali: rumah rakyat (dengan dana negara), fasilitas umum, sekolah, rumah sakt, jembatan, dan jalan nasional. Semua dilakukan tanpa riba, tanpa utang, tanpa kontraktor yang memainkan anggaran. Pun wajib memastikan rakyat kembali hidup secara layak setelah bencana, bukan hanya hidup sekadarnya.

Kedelapan, partisipasi masyarakat tetap ada, tetapi negara menjadi aktor utama

Syariat menghargai korban bantu korban, tetapi ini bukan solusi utama, karena: masyarakat terbatas sumber daya, tidak mampu menjangkau daerah terisolir, serta tidak memiliki kewenangan, logistik, dan kekuatan negara. Pemerintah adalah pihak utama yang wajib hadir cepat dan total.

Oleh karena itu, jika strategi syariat Islam diterapkan, maka penanggulangan bencana ekologis di Sumatra akan berjalan: lebih cepat, lebih terstruktur, lebih manusiawi. Tanpa tunggu birokrasi, tanpa ketergantungan pada relawan atau donatur, karena dengan kekuatan penuh negara. Rakyat tidak akan dibiarkan berhari-hari tanpa bantuan hingga muncul fenomena “Kota Zombie” seperti Aceh Tamiang.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati


Opini

×
Berita Terbaru Update