Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kebakaran Terra Drone: Perlawanan Oligarki, Penghilangan Jejak?

Selasa, 16 Desember 2025 | 05:17 WIB Last Updated 2025-12-15T22:17:22Z

TintaSiyasi.id -- 9 Desember 2025. Bangsa ini dihajar dua kali, pada hari yang sama. Pertama, Kapolri menerbitkan Perkap Nomor 10 Tahun 2025. Isinya, membuka ruang bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga. Kebijakan ini terang-benderang bertabrakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang polisi aktif menjabat di luar institusi non-Polri. Pilihannya ada dua; pensiun dini atau mengundurkan diri. Yang lebih mengganggu, Presiden Prabowo Subianto memilih diam. Adem-ayem. Seperti sama sekali tak terusik oleh polah Sigit. Tdak ada koreksi. Apalagi sanksi. Publik pun bertanya: siapa sebenarnya yang memegang kendalidk negeri ini?

Tamparan kedua datang dari Cempaka Putih. Gedung Terra Drone terbakar. Dua puluh dua karyawan magang meninggal dunia setelah menghirup karbon monoksida dari satu-satunya tangga yang berubah menjadi cerobong asap. Direktur utama perusahaan telah ditetapkan sebagai tersangka atas kelalaian fatal.

Dua tamparan itu memang terpisah. Tapi dampaknya sama. Semacam ada kendali yang lepas kendali. Lepas dari otoritas negeri, bahkan yang tertinggi. Presiden! 

Di Indonesia, api tidak pernah sekadar membakar bangunan. Api juga membakar jejak. Dan sejarah republik ini menunjukkan, terlalu sering api muncul tepat ketika jejak sangat dibutuhkan.

Kebakaran gedung Terra Drone Indonesia tidak bisa dibaca sebagai tragedi ruko biasa. Ini bukan semata soal baterai litium meledak. Juga bukan sekadar kelalaian standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Peristiwa ini menyentuh jantung persoalan agraria nasional. Data pemetaan lahan. Ini sesuatu yang kini nilainya bisa meliaran kalk lebih mahal daripada bangunan itu sendiri.

Terra Drone bukan UMKM penjual suku cadang motor. Ia perusahaan pemegang data pemetaan presisi tinggi untuk jutaan hektare lahan sawit, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Data itu dihasilkan melalui teknologi LiDAR, pemindaian laser dari udara yang mampu menembus kanopi pohon, membaca kontur tanah, dan menghitung kepadatan vegetasi. LiDAT bahkan mampu memperkirakan umur tanaman. Berbeda dengan citra satelit biasa yang bisa dibantah sebagai bayangan awan, LiDAR adalah kamera yang nyaris tak bisa berbohong.

Senjata Itu Bernama Poligon

Namun inti persoalannya bukan sekadar teknologi canggih LiDAR. Ia bernama poligon.Poligon terdengar teknis, tetapi dampaknya politis dan ekonomis. Ia adalah batas lahan dalam peta digital. Garis hukum yang menentukan apakah sebuah kebun sah atau ilegal. Di era sekarang, negara tidak lagi bergantung pada peta kertas buram atau klaim sepihak. Yang diuji adalah poligon: titik koordinat sudut-sudut lahan. Luas persisnya, serta posisinya terhadap kawasan hutan, sungai, desa, dan tanah adat.

Satu pergeseran garis poligon beberapa meter saja bisa berarti ratusan hektare. Nilai ekonominya mencapai ratusan miliar rupiah. Dari situlah bisa dibuktikan apakah HGU dilebihkan. Apa kebun masuk kawasan hutan. Plasma fiktif. Atau kebun dibuka sebelum izin terbit. Karena itu, dalam dunia kejahatan agraria, poligon adalah musuh. Ia senjata pembuktian yang paling ditakuti. Maka tak mengherankan jika hilangnya poligon sering kali menjadi “keberuntungan”.

Kebakaran Terra Drone terjadi saat negara sedang gencar mengaudit sekitar 6,4 juta hektare sawit bermasalah. Data dibuka. Batas ditelusuri. Konsesi diuji ulang. Di tengah situasi sepanas itu, pusat kerja salah satu pemegang data pemetaan paling presisi justru hangus.

Tidak perlu tergesa menuduh siapa. Dalam pakem kriminal, pertanyaan pertama selalu soal motif. Dan pertanyaan berikutnya sangat sederhana: siapa yang diuntungkan?

Bagi perusahaan sawit dengan lahan tumpang tindih kawasan hutan, audit menjadi kabur ketika data presisi lenyap. Bagi mafia tanah di proyek strategis nasional seperti Tol Cisumdawu, jejak transaksi kian sulit dibuktikan. Bagi spekulan, batas bisa digambar ulang dengan dalih data lama tidak akurat. Hilangnya data bukan sekadar kerugian teknis. Ia mengubah posisi tawar hukum.

Ironinya, korban terbesar justru manusia; karyawan biasa. Sementara bagi korporasi, bangunan bisa dibangun ulang. Server pusat bisa dipulihkan. Yang tak tergantikan adalah arsip lokal. Hard drive cadangan, log penerbangan drone, catatan manual perubahan koordinat, dan rekaman kerja harian. Ini rangkaian nukti primer yang paling dibutuhkan jika negara sungguh-sungguh mau menelusuri manipulasi lahan.

Modus Generik Tapi Jitu: Kebakaran

Di titik inilah publik patut waspada. Sebab sejarah Indonesia mencatat, kebakaran kerap muncul sebagai metode penghilangan jejak yang efektif. Publik masih mengingat kebakaran Gedung Bank Indonesia di awal 2000-an, saat skandal BLBI dikuliti. Kita juga tidak lupa kebakaran Gedung Kejaksaan Agung pada 2020, yang kala itu dijelaskan sebagai akibat puntung rokok. Saat itu, Kejagung tengah menangani kasus-kasus besar korupsi. Jauh sebelumnya, arsip pertanahan dan kantor pemerintahan daerah berulang kali terbakar tepat ketika sengketa tanah memanas.

Apakah semua itu kebetulan? Disengaja? Tidak perlu buru-buru disimpulkan. Yang jelas, polanya konsisten. Ketika bukti dibutuhkan, api datang. Membakar habis. Dan setelah itu, publik diminta percaya bahwa semuanya kebetulan.

Masih ada pertanyaan yang layak dijawab secara terbuka. Mengapa fasilitas sepenting itu berada di ruko padat penduduk tanpa sistem keselamatan memadai? Mengapa tidak ada transparansi rinci soal data apa saja yang hilang? Dan yang tidak kalah menggelitiknya, mengapa banyak klien besar justru memilih diam?

Kebakaran Terra Drone bukan hanya tragedi kemanusiaan. Sangat mungkin ia justru bagian dari perang data. Dalam dunia modern, siapa menguasai peta, menguasai lahan. Siapa menguasai lahan, menguasai ekonomi. Dan siapa menguasai ekonomi, memengaruhi kebijakan. Di Indonesia, relasi ini tampak telanjang.

Api memang telah padam. Ada keluarga yang berduka. Ada nyawa yang hilang. Namun sejarah mengajarkan satu hal pahit: dalam banyak kasus besar, api bukan akhir cerita. Ia justru awal dari lenyapnya jejak kejahatan. []

Jakarta, 14 Desember 2025


Oleh: Edy Mulyadi
Jurnalis Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update