Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kapitalisme Digital: Mesin Perusak Mental Generasi

Jumat, 12 Desember 2025 | 15:45 WIB Last Updated 2025-12-12T08:45:10Z

TintaSiyasi.id -- Indonesia sedang menghadapi krisis yang secara perlahan merusak struktur generasi mudanya. Hal ini dilansir dari Laporan Digital 2025 Global Overview penggunaan ponsel untuk mengakses internet yakni sebanyak 98,7% penduduk Indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online, melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang mencatat 98,5%. (cnbcindonesia.com, 29/11/2025)

Dominasi ponsel sebagai perangkat utama internet di Indonesia juga tercermin dari data lainnya yang memang sangat sesuai dengan fakta di lapangan. Di balik layar ponsel yang seolah tak pernah mati, jutaan remaja dan anak muda mengalami kerusakan mental yang tidak lagi dianggap ringan. Data di lapangan, orangtua dan guru mengeluh pada pola yang sama yakni sulitnya mendidik anak imbas dari penggunaan media sosial yang berlebihan. Pada akhirnya, membentuk generasi yang gelisah, mudah cemas, kehilangan fokus, dan semakin jauh dari kemampuan berpikir mendalam. Melalui berbagai tes seperti uji daya ingat, tes ketajaman fokus, tes kecemasan, dan indeks prestasi, para peneliti menemukan beberapa efek negatif dari penggunaan ponsel pintar dan internet yang ekstensif. Dampak negatif ini meliputi kecemasan jika tidak memegang gawai, fear of missing out (FOMO), penurunan indeks prestasi, dan yang terbaru adalah risiko gangguan digital dementi. (kompas.id, 28/11/2025)

Fenomena “digital dementia” yang merupakan kemunduran daya ingat dan ketajaman nalar akibat konsumsi digital berlebihan, bukan sekadar istilah dramatis, tetapi realitas yang kini terlihat di ruang-ruang kelas, rumah tangga, hingga pergaulan, yang ini bukanlah akhir dari penurunan kognitif, tapi justru awal dari ‘efek domino’ yang mengebiri produktivitas manusia. Jika tidak segera ditanggapi secara serius, kondisi ini akan membuat Indonesia berisiko kehilangan potensi sumber daya manusia yang berkualitas karena Digital Dementia dapat membuat kemampuan kognitif anak muda di Indonesia mengalamai penuaan dini.
Lebih parah lagi, platform digital mulai dari media sosial, game online, hingga aplikasi berbasis AI, telah menciptakan ruang kesepian massal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kesepian sebagai salah satu masalah kesehatan utama masyarakat global, terutama di kalangan anak muda. Laporan WHO yang dirilis akhir Juni 2025 memperkirakan 16 persen penduduk dunia dilanda kesepian. (kompas.id, 28/11/2025). 

Ironisnya, generasi yang paling terkoneksi secara digital justru menjadi generasi yang paling terputus dari dirinya sendiri, keluarganya, dari dunia nyata, dan dari nilai hidup yang seharusnya membentuk karakter. Media sosial yang bebas usia membuat anak-anak yang belum matang secara psikologis dibanjiri konten toxic: perbandingan hidup, standar kecantikan absurd, tren ekstrem, hingga percakapan dewasa yang seharusnya belum mereka akses. 

Ini semua adalah kebebasan yang dijamin dalam kapitalisme liberalisme yang diterapkan di negeri ini. Didalam sistem kapitalisme modern, media digital tidak pernah netral. Perusahaan digital tidak hidup dari kreativitas pengguna, melainkan dari eksploitasi perhatian pengguna. Karena itu, semakin rusak mental seseorang, semakin kecanduan, semakin butuh validasi, justru semakin menguntungkan bagi mereka. Inilah wajah paling telanjang dari kapitalisme digital. Keuntungan menjadi tujuan mutlak, sementara kesehatan mental generasi muda tidak dianggap penting.

Indonesia, menjadi pasar empuk dalam skema ini. Dengan populasi muda yang besar dan tingkat literasi digital yang belum matang, negara ini berubah menjadi ladang subur bagi platform global. Jika situasi ini dibiarkan, maka negeri ini akan merasakan sulit mencari generasi yang kuat secara iman, pemikiran, fisik dan mental. Padahal, sebuah peradaban besar hanya bisa dibangun oleh generasi yang kuat secara mental, matang secara spiritual, dan kokoh secara intelektual.

Di sinilah urgensi hadirnya sistem yang memiliki komitmen tegas untuk membentuk generasi terbaik. Hal itu hanya bisa kita wujudkan dalam sistem Islam yakni Daulah Khilafah. Dalam kerangka khilafah, negara bukan hanya regulator pasif, melainkan pendidik dan pelindung masyarakat. Negara memiliki kewajiban mencetak generasi unggul yang bukan hanya cerdas teknologi, tetapi juga memiliki karakter, akidah, dan visi kehidupan yang benar. Komitmen ini diwujudkan melalui langkah-langkah menyeluruh dan terstruktur.

Pertama, negara melakukan langkah preventif terhadap pengaruh buruk media digital. Ini dimulai dari optimalisasi peran orang tua sebagai madrasah pertama, pendidikan pertama bagi anak. Negara memastikan orang tua mendapat dukungan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang membantu tugas mereka, bukan merusaknya. Masyarakat pun diberdayakan untuk melakukan kontrol sosial melalui amar makruf nahi mungkar, sehingga interaksi sosial tidak dibiarkan liar, tetapi dikawal oleh nilai Islam yang menjaga kehormatan dan kesehatan jiwa.

Kedua, negara menjalankan kebijakan khusus untuk mengawasi media digital secara ketat. Konten yang bertentangan dengan nilai Islam tidak akan dibiarkan beredar bebas. Perusahaan digital yang melanggar hukum syariat akan dikenai sanksi tegas. Dalam khilafah, kepentingan generasi lebih utama daripada kepentingan korporasi.

Ketiga, negara membatasi platform media sosial yang boleh beroperasi. Hanya media yang sesuai dengan syariat Islam dan keselamatan publik yang akan diberi izin. Platform yang terbukti merusak mental, memfasilitasi penyimpangan, kemaksiatan atau memelihara kecanduan akan dilarang dengan tegas.

Keempat, negara menetapkan batas usia ketat untuk penggunaan media sosial. Anak-anak tidak dibiarkan berhadapan dengan dunia digital sebelum mereka menguasai fondasi akidah Islam yang menjadi tameng bagi kesehatan mental dan identitas mereka.

Kelima, penggunaan AI diatur secara detail agar tidak menjadi sumber manipulasi atau kerusakan emosional. AI harus menjadi alat kebaikan, bukan mesin yang membentuk generasi pasif, malas berpikir, atau kehilangan jati diri.

Maka sangat jelas dengan kerangka ini, perbedaan antara Kapitalisme dan Khilafah: kapitalisme telah menjadi perusak generasi, sementara Khilafah menjaga dan membimbing generasi menuju peradaban mulia dengan Islam. Jika Indonesia ingin menyelamatkan masa depannya, harus ada keberanian untuk keluar dari jebakan sistem yang rusak ini dan menerapkan syariat islam kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Hilda Handayani
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update