TintaSiyasi.id -- Tim gabungan BNPB, TNI/Polri, Basarnas, kementerian/lembaga, serta pemerintah daerah terus melakukan upaya penanganan darurat bencana hidrometeorologi di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Berdasarkan data sementara per Senin (1/12) pukul 17.00 WIB, total korban meninggal dunia mencapai 604 jiwa dan 464 jiwa masih dinyatakan hilang. Tim gabungan terus bekerja mempercepat operasi pencarian, pertolongan, penyaluran logistik, dan pembukaan akses wilayah terdampak.(bnpb.go.id, 02 Desember 2025 12:55 WIB)
Bencana alam banyak terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Penanganan bencana lamban menunjukan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif, baik pada tataran individu, masyarakat dan negara. Pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana. Hingga saat ini masih banyak daerah-daerah yang terisolir dan belum tersentuh bantuan sama sekali.
Bahkan banyak masyarakat yang seharusnya dievakusi segera mungkin, seperti bayi, lansia, dan orang sakit, namun BNPB dan BPBD mengaku kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim. Namun faktanya jika melihat di media sosial para relawan dari masyarakat sipil yang bergerak secara sukarela atas nama kemanusiaan, tetap bisa mencapai titik-titik lokasi yang 'katanya' sulit untuk diakses itu. Padahal seharusnya itu bukan tanggung jawab mereka melainkan negaralah yang bertanggung jawab penuh atas penanggulan bencana yang terjadi saat ini.
Mitigasi yang lemah, respon yang lamban, merupakan bukti negara abai pada nyawa rakyat. Banyak wilayah-wilayah yang masyarakatnya tidak bisa makan selama berhari-hari.
Di sisi lain, media dan pemerintah selalu menjadikan 'curah hujan ekstrem' sebagai kambing hitam tiap kali musibah banjir dan longsor terjadi.
Hujan sebenarnya merupakan fenomena alam yang normal, tanah yang rusaklah yang menyebabkan bencana. Karena alam memiliki buffer alami, sehingga jika seandainya hutannya masih utuh, bukit masih punya akar pepohonan, dan tanah punya daya serap yang baik, hujan sederas apapun tidak akan langsung menyebabkan banjir atau tanah longsor.
Hujan deras dan banjir bandang memang datang dari langit. Tetapi gelondongan kayu tidak pernah jatuh dari awan. Hujan deras pasti membawa air, tapi tidak mungkin membawa batang kayu sebesar tiang listrik jika tak ada yang memotongnya.
Bencana alam yang terjadi terus-menerus dan berulang merupakan dampak kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan oleh penguasa. Dan ini merupakan hasil dari akumulasi kebijakan-kebijakan buruk dan keputusan politik yang seringkali berpihak pada kepentingan para pemilik modal dibandingkan kepentingan rakyat.
Jangan salahkan hujannya, tata kelola lingkungan yang buruklah yang mengakibatkan alam kehilangan buffer alaminya. Sehingga, tanah tidak mampu menahan aliran air.
Jika negara lalai mengatur ruang hidup rakyat, dan mengutamakan kepentingan pemilik modal dengan memberikan izin pembukaan lahan secara besar-besaran (deforestasi), maka bencana adalah konsekuensinya.
Pulau Sumatera secara topografi terdiri dari dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Topografi ini membangun banyak sungai, sehingga Sumatera disebut 'Pulau Seribu Sungai'. Keberadaan puluhan sungai besar di Sumatera sekarang terancam rusak karna aktivitas ekonomi ekstraktif, illegal logging, kayak perkebunan skala besar, penambangan, pembangunan infrastruktur, mulai dari wilayah dataran tinggi sampai rendah. Ada enam sungai besar yang berhulu di Bukit Barisan dan bermuara di pesisir timur Sumatera, yakni Sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak, dan Roka (Mongabay.co.id, 2020).
Berdasarkan fakta ini, dapat dikatakan bahwa Sumatera merupakan jalur jalannya air (aliran air) menuju lautan. Sehingga harus memiliki tatanan kota yang baik, dan harus memiliki daerah-daerah yang dijadikan sebagai daerah serapan (hutan serapan). Tujuannya untuk mencegah agar aliran air tidak terganggu, sehingga tanah tidak kehilangan kemampuannya untuk menahan air. Karena, jika tanah kehilangan kemampuan untuk menahan air, inilah yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Namun sekarang banyak sekali proyek-proyek raksasa yang melakukan deforestasi di daerah-daerah serapan (hutan) pulau Sumatera. Mereka melakukan pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan, perkebunan dan perumahan. Semua proyek ini mengatasnamakan pembangunan daerah. Ending-nya, hujan yang selalu disalahkan, padahal sistem ekologinya yang sudah di hancurkan.
Secara tidak langsung, deforestasi akan mengubah fungsi hutan yang awalnya sebagai wadah pelestarian lingkungan dan ekosistemnya, menjadi wadah kepentingan manusia. Pastinya tujuan manusia dalam kapitalisme ini adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Padahal, dampak buruk dari deforestasi ini lebih banyak kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya.
Jika banjir yang terjadi hanya insidental, bisa dikatakan merupakan persoalan teknis saja. Tetapi jika banjirnya selalu terjadi, berulang, dan makin lama semakin parah, maka pasti persoalannya sudah sistemik.
Sebenarnya banjir sistemik secara teknis dapat diselesaikan dengan adanya bendungan baru, pompa baru, kanal baru, dll.
Tetapi jika sudah menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong penduduk miskin tinggal di sempadan sungai, keserakahan yang membuat hutan digunduli, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk mengatasi bencana, pejabat yang tidak kompeten mengawasi infrastruktur, dsb, bisa dikatakan masalahnya ada pada sistem non-teknis.
Sistem non-teknis jika saling terkait, dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini diserahkan pada mekanisme pasar dan proses ala kapitalis, maka ini persoalannya sudah ideologis.
Jika masalahnya ideologis, maka satu-satunya cara mengatasinya adalah mengganti ideologi yang rusak itu dengan ideologi Islam. Dalam Islam dilarang keras untuk berprilaku tamak dan diperintahkan untuk menjaga kestabilan lingkungan, sehingga setiap pembangunan yang dilakukan harus berlandaskan pada keimanan dan berdimensi akhirat. Bukan keuntungan semata.
Jadi, jangan berkedok dibalik pembangunan dan kemajuan wilayah dengan cara membuka lahan secara besar-besaran. Pembangunan memang penting tetapi menjaga keseimbangan lingkungan dengan tetap menyediakan daerah-daerah serapan juga tak kalah penting.
Dalam perspektif Islam, bencana dipandang melalui dua dimensi besar: ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah menekankan bahwa bencana merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah sekaligus sarana pengingat bagi manusia agar kembali kepada-Nya. Alam semesta berjalan sesuai kehendak Allah, sehingga ketika terjadi bencana, umat diperintahkan untuk mengambil pelajaran bahwa kehidupan dunia bersifat fana dan manusia hendaknya terus memperbaiki kualitas iman serta amalnya.
Di sisi lain, terdapat dimensi siyasiyah yang berhubungan dengan peran negara dalam mengatur tata kelola ruang dan mengelola lingkungan. Islam menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi di muka bumi banyak diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Oleh sebab itu, edukasi ruhiyah kepada masyarakat harus dilengkapi dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang mengingatkan larangan merusak alam serta dampak dosa yang dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan manusia. Konsistensi menjaga alam merupakan bagian dari amanah sebagai khalifah fi al-ardh.
Dalam kerangka siyasiyah, negara memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan upaya mitigasi bencana secara serius, sistematis, dan komprehensif. Pengelolaan wilayah harus dirancang sesuai kaidah keselamatan, meminimalisasi risiko kerusakan, serta memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan keseimbangan alam. Tanggung jawab ini merupakan bagian dari penjagaan terhadap jiwa rakyat (hifzh al-nafs) yang menjadi salah satu tujuan utama syariat Islam.
Ketika bencana terjadi, Islam mewajibkan pemerintah untuk hadir secara nyata memberikan perlindungan, bantuan, dan pendampingan kepada para penyintas. Dukungan tersebut tidak hanya bersifat darurat, tetapi juga berkelanjutan hingga masyarakat mampu pulih dan menjalani kehidupan normal kembali pasca bencana. Dengan demikian, paradigma Islam mengenai bencana mencakup perpaduan iman, etika menjaga lingkungan, serta kebijakan negara yang berpihak pada keselamatan dan kemaslahatan rakyat.
Dan semua itu hanya bisa terwujud dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah, di bawah naungan institusi khilafah. []
Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns.
(Aktivis Muslimah)