TintaSiyasi.id -- Duka begitu mendalam dirasakan oleh masyarakat Indonesia akibat bencana banjir dan tanah longsong di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Hingga saat ini kondisi wilayah bencana dan para korban masih sangat memprihatinkan akibat kerusakan parah yang melanda beberapa wilayah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan jumlah korban meninggal dunia akibat bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumut dan Sumbar menjadi 961 jiwa per pukul 16.00 wib, Senin (8/12). (cnnindonesia.com, 8/12/2025)
Bencana yang terjadi di negeri ini sering terjadi. Belum lama bencana terjadi di Pulau jawa kini melanda Pulau Sumatera. Secara umum, masyarakat memandang bahwa bencana yang melanda Aceh dan Sumatera bukan semata karena faktor alam tetapi dampak dari campur tangan manusia yang telah merusak alam dan lingkungan yang sudah berlangsung lama. Penggundulan hutan secara besar-besaran yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang cukup luas sehingga menjadikan daya serap air di tanah tidak maksimal. Akibatnya, air tidak dapat ditahan oleh akar-akar kelapa sawit. Belum lagi kerusakan ekologi, hilangnya tempat tinggal bagi binatang-binatang liar yang ada di hutan. Mengakibatkan hewan-hewan yang hidup dihutang kehilangan tempat tinggal.
Semua ini terjadi tidak begitu saja, ada legitimasi dari tangan-tangan pemerintah untuk memuluskan kepentingan para pemilik lahan yang luas tanpa memikirkan dampak lingkungan. Pemberian hak konsensi lahan, obral izin perusahan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Minerba, UU Ciptaker dan lain-lain. Semua ini dilakukan atas nama investasi tanpa memperdulikan dampak bagi lingkungan, manusia dan alam semesta.
Inilah keburukan sistem kapitalisme yang diterpakan dinegeri ini. Demokrasi kapitalistik antara penguasa dan pengusaha bekerjasama dan saling mendapatkan keuntungan meskipun merampas hak milik rakyat. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan kesejahteraan jika para pemimpin memberi karpet merah bagi para korporat padahal jelas-jelas merusak lingkungan.
Musibah ini memperlihatkan kepada kita bahwa alam sudah muak dengan ulah keserakahan manusia dalam asuhan kapitalisme. Padahal, curah hujan ekstrim tidak selamanya membawa bencana jika alam masih terjaga. Kita harus menyadari bahwa kita membutuhkan pengaturan dalam kepemilikan dan pengaturan lahan agar tidak kebablasan.
Sudah jelas akibat yang kita rasakan jika kita meninggalkan hukum Allah yakni penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pengelolaan lingkungan. Masyarakat hanya di jadikan penonton dan penderita. Para pengusaha dan penguasa berkolaborasi menerima keuntungan di atas penderitaan rakyatnya.
Allah SWT telah jelas mengingatkan tentang kerusakan didalam Kitabullah, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia" (QS. Ar-Rum 41)
Maka ketika manusia meninggalkan hukum Allah dan menggantikannya dengan hukum buatan manusia yaitu kapitalisme liberalisme, maka keberkahan akan hilang, kerusakan akan datang dengan terjadi nya longsor, banjir bandang dan bencana lainnya.
Dalam Islam, alam adalah karunia Allah SWT yang disediakan untuk kehidupan makhluk ciptaan Allah serta dipandang sebagai amanah yang harus dijaga kelestariannya, bukan komoditas yang eksploitasi. Setiap kebijakan negara harus tunduk terhadap syariah Islam termasuk dalam pengelolaan alamnya dan menjaga kelestariannya agar dikelola dengan benar. Hutan, sungai dan sumber energi bukan milik negara apalagi milik korporasi, melainkan milik umat. Negara hanya mengelola dan memastikan manfaatnya didistribusikan kepada masyarakat.
Kepentingan menjaga kelestarian alam akan terus dipantau dalam Negara Islam (khilafah). Khilafah akan melakukan berbagai upaya preventif semaksimal mungkin agar tidak terjadi bencana. Namun, jika bencana tetap terjadi sesuai kehendak Allah maka Khilafah juga akan siap mengeluarkan biaya semaksimal mungkin dengan anggaran dari Baitul Maal untuk hadir membantu masyarakat. Negara juga melukakan mitigasi bencana secara ilmiah dengan menampung pendapat para ahli lingkungan, geolog, hidrolog dan perencana tata ruang. Politik tata ruang Islam akan memetakan wilayah sesuai karakter alamnya seperti zona pemukiman, industri, serapan air, cadangan air, himmah (kawasan yang dilindungi ketat), hingga wilayah hutan yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Dengan model tata ruang seperti ini bencana dapat di minimalisir dan dicegah sedini mungkin.
Maka, hanya dengan penerapan hukum Allah dalam bingkai khilafah, negara dapat meminimalisir terjadinya berbagai bencana yang menyengsarakan rakyat. Seorang khalifah akan fokus pada urusan kesejahteraan dan keselamatan nyawa rakyatnya. Khalifah selalu memastikan kebijakan menghilangkan dharar dan mewujudkan kemaslahatan publik. Bencana yang terjadi adalah peringatan keras akan rapuhnya hubungan alam dengan manusia. Sudah saatnya kita kembali berhukum pada aturan Allah SWT yang mensejahterakan rakyat serta seluruh alam dengan penerapan Khilafah Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Farida Marpaung
(Aktivis Muslimah)