Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kaleidoskop Bencana 2025 di Jawa Timur dan Indonesia: Antara Realitas dan Ketidaksiagaan

Senin, 29 Desember 2025 | 22:03 WIB Last Updated 2025-12-29T15:03:53Z

Tintasiyasi.id.com -- Tahun 2025 mencatat salah satu periode paling menantang dalam sejarah bencana alam Indonesia. Sebagai negara yang terletak di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan jalur monsun tropis, Indonesia secara geografis memang sangat rawan terhadap bencana alam. 

Sepanjang tahun ini terjadi ribuan insiden bencana, termasuk banjir, tanah longsor, erupsi gunung api, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta bencana hidrometeorologi lainnya yang berdampak luas terhadap masyarakat. 

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa hingga pertengahan Oktober 2025 tercatat lebih dari 2.590 kejadian bencana alam di seluruh Indonesia, dengan sebagian besar adalah banjir dan tanah longsor (rri.co.id, 27/10/2025).

Di Sumatra dan beberapa wilayah lain, banjir ekstrem dan tanah longsor yang dipicu hujan monsun bahkan telah menelan ribuan nyawa dan mengungsi ratus ribu orang. Di provinsi Sumatra Utara, Barat, dan Aceh, bencana mengakibatkan lebih dari 1.000 korban jiwa dan ratusan ribu warga mengungsi, sementara infrastruktur rusak parah dan bantuan terhambat karena jalan serta komunikasi terputus. (nu.or.id, 1/12/2025)

Secara khusus di Jawa Timur, gunung berapi seperti Gunung Semeru kembali menunjukkan aktivitas signifikan pada akhir tahun. Gunung Semeru yang merupakan salah satu gunung paling aktif di Pulau Jawa mengalami erupsi disertai semburan awan panas dan abu vulkanik, menyebabkan evakuasi massal, kerusakan rumah, dan pengungsi di berbagai kecamatan.(jatimtimes.com, 19/11/2025)

Selain itu, banyak daerah di Jawa dan luar pulau juga mengalami tanah longsor, banjir, puting beliung, serta karhutla bahkan kebakaran tradisional di beberapa desa menyebabkan puluhan rumah rusak, jutaan rupiah kerugian materiil, dan ratusan jiwa kehilangan tempat tinggal. 

Fenomena dan Realita Penanganan Bencana

Indonesia memang rentan bencana, namun persoalan hari ini bukan sekadar soal frekuensi kejadian. Tantangan terbesar adalah buruknya mitigasi bencana (pencegahan) dan kurang efektifnya tindakan kuratif (evakuasi dan penanganan darurat) ketika bencana datang.

Pertama, mitigasi yang lemah.
Banyak laporan menunjukkan bahwa alih fungsi lahan, deforestasi, dan tata ruang yang tidak memprioritaskan keselamatan jiwa manusia turut memperburuk dampak bencana. Kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan tanpa perhitungan ekologis jangka panjang turut mempercepat terjadinya banjir dan longsor. 

Kedua, keterlambatan evakuasi dan kurangnya koordinasi.
Ketika banjir besar dan longsor melanda, relawan dan tim SAR seringkali membutuhkan waktu lama untuk mencapai lokasi terdampak karena infrastruktur terputus, peralatan tidak memadai, dan sistem respons yang lamban. Kondisi ini berkontribusi pada meningkatnya korban jiwa dan dampak psikososial yang berkepanjangan bagi warga terdampak. 

Ketiga, pengelolaan risiko yang fragmentaris. Meski ada lembaga seperti BNPB, pendekatan penanggulangan bencana seringkali bersifat reaktif dan insidental, fokus pada respon sesaat daripada manajemen risiko bencana jangka panjang yang komprehensif.

Analisis terhadap fenomena bencana 2025 menunjukkan beberapa persoalan struktural, diantaranya,

Pertama, penguasa menyepelekan ba­hw­a bencana itu realitas geografis. Indonesia telah diperingatkan oleh banyak ahli sejak lama tentang kerentanan bencana, namun kebijakan mitigasi seringkali terabaikan dalam perencanaan pembangunan nasional maupun daerah. Ketika bencana datang, negara cenderung tiarap dan bereaksi lamban, bukan bergerak cepat dan terkoordinasi.

Kedua, kongkalikong kekuasaan dan ekonomi. Merusak lingkungan,
kolaborasi antara penguasa dan investor yang lebih mengejar profit seringkali mengabaikan kaidah kelestarian lingkungan. Pembukaan lahan hutan untuk meraup keuntungan jangka pendek berkontribusi langsung pada kerentanan ekologis yang kemudian memunculkan bencana mematikan bagi rakyat.

Ketiga, paradigma kapitalisme dalam kepemimpinan. Sistem demokrasi kapitalis menjadikan negara cenderung berperan sebagai fasilitator pasar ketimbang pelindung rakyat. Sebagai akibatnya, fungsi negara sebagai pelindung jiwa dan pemelihara kesejahteraan rakyat seringkali terabaikan karena logika profit-fokus mengalahkan logika keselamatan dan keadilan sosial.

Solusi Islam

Dalam perspektif Islam, terutama menurut kerangka fikih nizhamul Islam, negara tidak boleh hanya bereaksi, namun negara harus melindungi jiwa, harta, dan martabat rakyatnya sebagai amanah pemerintahan.

Kepemimpinan dalam Islam menempatkan penguasa sebagai raa’in (penjaga) dan junnah (pelindung), bukan sebagai regulator pasif atau fasilitator modal semata.

Pertama, pencegahan dan tata ruang berbasis keselamatan jiwa. Negara yang menerapkan syariat Islam akan menata lingkungan dan ruang hidup sesuai kaidah-keutuhan alam, pemulihan ekologis, serta mitigasi risiko bencana dari tahap perencanaan. 

Hal ini mencakup pengelolaan hutan, larangan eksploitasi tanpa izin syariat, dan komitmen menjaga keseimbangan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan bencana besar.

Kedua, respons cepat dan koordinasi tanggap bencana. Sistem pemerintahan Islam akan menempatkan lembaga darurat dan fasilitas mitigation sebagai prioritas utama, dengan pendanaan dari baitul maal (negara), sehingga tidak tergantung pada subsidi atau dukungan swasta yang sering tertunda.

Ketiga, pemberdayaan teknologi dan riset ilmiah. Teknologi modern dan penelitian ilmiah akan dirangkul sebagai alat untuk memperkuat mitigasi, monitoring dini, peringatan cepat, serta evakuasi efektif sehingga dampak bencana dapat diminimalkan secara maksimal.

Keempat, akuntabilitas moral dan kepemimpinan. Dalam sistem Islam, pemimpin bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyatnya. Ketika terjadi kelalaian dalam perlindungan rakyat, bukan sekadar evaluasi politik, tetapi juga hisab moral di akhirat, yang menjadikan penguasa lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap kebutuhan rakyat yang sedang dilanda musibah.

Tahun 2025 adalah cermin nyata bahwa tanpa prioritas pada keselamatan rakyat, sebuah bangsa akan terjebak dalam siklus bencana yang merenggut nyawa dan harta. Kekeliruan mitigasi, lambannya respon, dan dominasi logika kapitalis dalam pengambilan kebijakan memperparah dampak bencana yang seharusnya bisa diminimalkan.

Yang mampu mewujudkan proteksi total terhadap jiwa rakyat baik sebelum, ketika, maupun setelah bencana adalah sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam, yaitu Daulah Khilafah.

Di bawah naungan khilafah, negara betul-betul menjalankan fungsi sebagai raa’in dan junnah dengan prioritas utama keselamatan jiwa, kesejahteraan umat, dan keharmonisan alam.

Dan bukan sekadar sebuah cita-cita, ini adalah konsekuensi logis dari hukum syariat yang menyatukan hikmah, keadilan, dan perlindungan nyata bagi seluruh rakyatnya.[]

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

Opini

×
Berita Terbaru Update