TintaSiyasi.id -- Upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam merehabilitasi hutan dan lahan kritis patut dicatat sebagai langkah penting. Program penanaman kembali melalui skema REDD+ Result Based Payment (RBP) seluas 250 hektare di Banjarbaru, serta rehabilitasi kawasan mangrove di wilayah pesisir, menunjukkan adanya kesadaran bahwa kerusakan ekologis tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah juga melibatkan masyarakat dalam proses penanaman dan pemeliharaan, dengan harapan pemulihan lingkungan berjalan seiring dengan penguatan ekonomi lokal dan ketahanan daerah terhadap bencana (ANTARA, 27/11/2025).
Di saat yang sama, Kementerian Kehutanan melaporkan deforestasi nasional tahun 2024 mencapai 175.400 hektare, dirilis pada 21 Maret 2025. Fakta ini menunjukkan bahwa rehabilitasi hari ini sejatinya adalah usaha menutup luka lama yang terus menganga.
Di balik berbagai aktivitas rehabilitasi hutan, terdapat persoalan yang jauh lebih mendasar: apakah rehabilitasi ini benar-benar menyentuh akar persoalan, atau hanya menjadi tambalan dari model pembangunan yang sejak awal memosisikan alam sebagai objek eksploitasi?
Masalah hutan bukan semata soal pohon, melainkan persoalan arah pembangunan. Dalam sistem sekuler–kapitalistik, hutan direduksi menjadi angka dan komoditas. Alam dihitung berdasarkan nilai ekonomi, bukan berdasarkan hak hidup dan keseimbangannya. Negara mampu membuat regulasi teknis, tetapi gagal membangun kesadaran moral kolektif. Selama orientasi utamanya adalah pertumbuhan investasi, maka kerusakan hanya akan dikelola, bukan dihentikan.
Jika paradigma sekuler menjadi dasar kebijakan, hutan akan terus diperlakukan sebagai instrumen ekonomi. Tutupan lahan dihitung dalam grafik, emisi dikonversi dalam skema pasar karbon, dan keberhasilan diukur dari laporan statistik. Pendekatan semacam ini tampak rasional, tetapi miskin dimensi moral. Negara bisa menyusun regulasi teknis, tetapi gagal melahirkan kesadaran kolektif untuk menjaga alam sebagai amanah. Akibatnya, satu sisi tangan negara menanam kembali, sementara sisi lain membuka ruang bagi korporasi untuk kembali menekan kawasan hutan.
Islam memandang persoalan ini secara lebih mendalam. Kerusakan hutan bukan sekadar gagal tata kelola, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap peran manusia sebagai khalifah di bumi. Hutan dan seluruh sumber daya alam dipandang sebagai milik umum yang tidak boleh dimonopoli segelintir pihak. Negara dalam sistem Islam tidak bertindak sebagai fasilitator investasi, tetapi sebagai penjaga hak publik atas alam.
Dalam visi negara khilafah, pengelolaan hutan berdiri di atas prinsip amanah dan keadilan. Hutan tidak diprivatisasi, tidak dikonsesikan secara leluasa, dan tidak dijadikan komoditas utama untuk kepentingan pasar. Negara memastikan pemanfaatannya berjalan secara terbatas dan berkelanjutan. Setiap bentuk perusakan, seperti pembakaran hutan, pembalakan liar, hingga perusakan wilayah pesisir, diposisikan sebagai pelanggaran hukum syariat, karena merugikan hak hidup masyarakat luas.
Khalifah tidak menunggu kerusakan meluas baru bertindak. Pengawasan kawasan hutan dilakukan secara ketat, jalur-jalur rawan dijaga langsung aparat negara, dan masyarakat sekitar hutan diposisikan sebagai bagian dari sistem penjagaan, bukan hanya objek program bantuan. Anggaran pelestarian alam tidak bergantung pada proyek donor atau skema internasional, melainkan menjadi tanggung jawab negara melalui baitul mal.
Perbedaan paling mendasar adalah orientasi. Dalam sistem Islam, menjaga alam bukan sekadar kewajiban negara, tetapi ibadah yang lahir dari ketundukan pada aturan Sang Pencipta. Program rehabilitasi tidak berhenti pada target ekonomi atau angka karbon, tetapi menjadi bagian dari ketaatan kolektif. Menjaga keseimbangan ekologis dipandang sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
Langkah yang dilakukan Kalsel hari ini tetap layak diapresiasi. Penanaman kembali dan memulihkan pesisir adalah ikhtiar yang baik. Namun, selama arah pembangunan masih menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai pusat, sementara amanah ekologis ditempatkan di pinggir, maka bencana ekologis hanya tinggal menunggu waktu.
Hutan dan dosa pembangunan pada akhirnya bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi persoalan arah peradaban. Ketika pembangunan dijalankan tanpa dasar iman dan tanggung jawab syar’i, ia akan melahirkan kemajuan yang rapuh dan penuh risiko. Sebaliknya, ketika pembangunan bertumpu pada amanah, bukan hanya hutan yang selamat, tetapi masa depan umat pun ikut terjaga.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua