Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Generasi Muda Takut Nikah: Saat Kapitalisme Lebih Menakutkan dari Mertua

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:00 WIB Last Updated 2025-12-14T01:00:24Z

TintaSiyasi.id -- Pernikahan yang dulu disebut pintu berkah kini berubah jadi hantu ekonomi. Nasihat klise “cepat nikah sebelum tua” sudah tak mempan karena realitas hidup jauh lebih menekan daripada omelan keluarga. Anak muda bertanya balik, “Nikah? Dengan gaji segini?” Biaya hidup mencekik membuat akad terasa seperti lompat dari tebing tanpa parasut.

Fenomena ini bukan lebay ala drama Korea. Kompas (6/05/2025) dalam laporan “Tekanan Biaya Hidup dan Fenomena Generasi Muda Lebih Takut Miskin daripada Takut Tidak Menikah” menggambarkan betapa beratnya napas generasi yang hidup di tengah harga hunian yang tak masuk akal, persaingan kerja yang menguras tenaga, dan cicilan yang membayangi masa depan. Wajar bila pernikahan dianggap paket tambahan beban hidup, bukan ruang ketenteraman.

Narasi “marriage is scary” yang viral di TikTok dan Twitter tumbuh dari pengalaman nyata dalam kapitalisme yang telah menjadikan keluarga sebagai proyek mahal. Rumah berubah menjadi mimpi kredit 30 tahun, sementara gaji pas-pasan hanya cukup untuk bertahan sebulan. Sistem memaksa anak muda memilih antara makan layak atau menikah. Pilihannya jelas—selamatkan perut dulu.

Ketakutan ini bukan tanda pemuda manja. Ini kecerdasan melihat bagaimana sistem bekerja. Kapitalisme membuat harga naik tanpa etika, pekerjaan makin sulit, upah stagnan, dan kestabilan hidup terasa seperti barang langka. Menikah tampak seperti undangan menuju jurang finansial. Mau membangun keluarga, tapi realitas berbisik: “Cukup bertahan hidup saja sudah prestasi.”

Masalah memburuk karena negara—yang seharusnya jadi perisai rakyat—lebih sering berperan sebagai komentator. Kebutuhan dasar rakyat dibiarkan tunduk pada harga pasar. Rumah mahal? Terima saja. Pendidikan dan kesehatan mencekik? Urus sendiri. Negara sibuk membanggakan proyek-proyek besar, tapi lupa menyediakan ruang aman bagi generasi yang ingin membangun keluarga. Akhirnya hidup jadi kompetisi pribadi, bukan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.

Di sisi lain, pendidikan sekuler dan media liberal menancapkan standar hidup tinggi yang membuat anak muda selalu merasa “belum siap”. Harus punya apartemen, harus mapan dulu, harus traveling dulu, harus mengumpulkan dana puluhan juta sebelum menikah. Hedonisme dipromosikan sebagai kebutuhan, bukan pilihan. Akibatnya, pernikahan bergeser dari ibadah menjadi proyek mahal yang mensyaratkan kesempurnaan finansial.

Tidak aneh jika banyak pemuda memandang pernikahan sebagai beban, bukan jalan kebaikan atau penerus keturunan. Mereka menimbang angka, bukan nilai. Mereka takut kehilangan kenyamanan, takut makin miskin, takut gagal memenuhi standar hidup kapitalisme. Bukan karena tidak ingin keluarga, tetapi karena sistem menciptakan kondisi yang mematikan keberanian mereka.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam menghadirkan negara yang turun tangan langsung menjamin kebutuhan dasar rakyat. Dalam sistem Islam, negara wajib memastikan rakyat hidup layak—bukan sekadar bertahan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka.” (HR. Bukhari). Kewajiban ini tidak bisa dinegosiasikan dengan dalih pasar bebas. Negara harus membuka lapangan kerja, menjaga distribusi kekayaan, dan memastikan tidak ada rakyat yang hidup dalam ketakutan ekonomi.

Salah satu pilar ekonomi Islam adalah pengelolaan milkiyyah ‘ammah—sumber daya publik seperti minyak, gas, hutan, tambang, dan air. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud). Artinya, sumber daya besar itu bukan untuk korporasi atau investor asing. Jika negara mengelolanya dan mengembalikan seluruh hasilnya kepada rakyat—melalui layanan murah, infrastruktur tepat guna, dan subsidi kebutuhan pokok—biaya hidup otomatis turun. Hunian terjangkau, transportasi murah, dan hidup tidak lagi terasa seperti permainan bertahan hidup.

Dalam pendidikan, Islam membentuk generasi berkarakter melalui kurikulum berbasis akidah. Anak tidak tumbuh sebagai budak gaya hidup, tetapi sebagai pribadi berprinsip yang tahu tujuan hidupnya. Mereka tidak terjebak glamorisme, tidak merasa gagal hanya karena belum punya apartemen, dan tidak melihat pernikahan sebagai ancaman finansial. Mereka tumbuh sebagai penopang peradaban, bukan konsumen abadi sistem kapitalisme.

Islam juga menguatkan institusi keluarga. Pernikahan dimuliakan sebagai ibadah, bukan proyek mewah. Islam bahkan mendorong masyarakat untuk memudahkan pernikahan. Allah berfirman, “Nikahkanlah orang yang sendirian di antara kalian…” (QS. An-Nur: 32). Keluarga dipandang sebagai benteng ketenangan: “Dia menciptakan untukmu pasangan… agar kamu memperoleh ketenteraman.” (QS. Ar-Rum: 21). Ketenteraman inilah yang direnggut kapitalisme, lalu dikembalikan Islam sebagai pondasi hidup.

Ketika kebutuhan hidup terjamin, beban ekonomi ringan, pendidikan membentuk karakter kuat, dan negara hadir memuliakan keluarga, pernikahan kembali menjadi ruang ibadah yang penuh berkah. Generasi muda tidak lagi takut melangkah, karena mereka tahu negara dan masyarakat menopang mereka—bukan membiarkan mereka tenggelam di tengah mahalnya hidup.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Tuty Prihatini, S.Hut.
Aktivis Muslimah Banua

Opini

×
Berita Terbaru Update