Tintasiyasi.id.com -- Belakangan ini semakin sering kita mendengar anak muda berkata bahwa mereka belum siap menikah. Ada yang menyampaikannya sambil bercanda, namun tidak sedikit yang sebenarnya menyimpan kecemasan mendalam.
Banyak dari mereka merasa belum stabil secara ekonomi pekerjaan belum pasti, penghasilan belum mencukupi, atau tabungan belum dianggap layak. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan menikah bagi generasi muda bukan lagi sekadar soal kesiapan mental, tetapi juga berkaitan dengan tekanan ekonomi yang terus menghimpit (Muslimah.news, 25 Mei 2025).
Ketakutan mereka bukan muncul karena enggan berkomitmen, tetapi karena merasa tidak sanggup menghadapi konsekuensi finansial setelah menikah. Ini adalah respons yang wajar dalam sistem ekonomi yang membuat kebutuhan dasar semakin sulit dijangkau.
Standar Kesiapan Menikah yang Semakin Tinggi
Di masa kini, standar “siap menikah” seolah semakin berat. Rumah, kendaraan, penghasilan stabil, pesta pernikahan yang layak dipamerkan—semua dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi. Padahal sebagian besar standar itu hanyalah hasil konstruksi sosial yang terbentuk dalam budaya konsumtif.
Islam memandang pernikahan secara lebih sederhana dan menenangkan. Allah ﷻ berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ… إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu… Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 32)
Ayat ini menegaskan bahwa kekayaan bukan tolok ukur kesiapan menikah. Justru Allah menjanjikan kecukupan bagi mereka yang menikah dengan niat yang baik.
Namun kapitalisme membentuk persepsi sebaliknya: bahwa pernikahan hanya pantas dijalani jika seseorang telah mencapai standar materi tertentu (Tintasiyasi.com, 26 Mei 2025)
Tekanan Ekonomi yang Mendorong Ketakutan
Realitas ekonomi hari ini memang tidak mudah. Harga rumah naik jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan upah. Biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok terus meningkat. Banyak anak muda merasa sudah bekerja keras, tetapi tetap sulit menabung atau mencapai stabilitas finansial.
Tekanan semacam ini menciptakan rasa tidak aman yang berkelanjutan. Dalam kondisi seperti itu, wajar jika mereka merasa ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketakutan ini bukan tanda kurangnya kedewasaan, tetapi cerminan dari sistem ekonomi yang tidak menghadirkan jaminan kesejahteraan.
Budaya Konsumtif yang Menciptakan Ilusi Pernikahan Ideal
Di saat yang sama, media sosial memperkuat tekanan mental generasi muda. Pernikahan digambarkan sebagai pesta mewah dengan dekorasi glamor dan gaya hidup pasangan yang serba sempurna.
Gambaran seperti ini membuat banyak orang merasa belum layak menikah jika tidak mampu memenuhi standar visual tersebut.
Padahal kenyataannya, sebagian besar standar itu tidak mencerminkan kebutuhan nyata dalam membangun keluarga. Ia hanya menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan harus dimulai dengan kesempurnaan materi.
Islam Menawarkan Paradigma yang Menenangkan
Islam memosisikan pernikahan sebagai ibadah yang menghadirkan ketenangan, bukan beban. Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: النَّاكِحُ يُرِيدُ الْعَفَافَ…
“Ada tiga golongan yang pasti Allah tolong; salah satunya adalah orang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini bukan hanya motivasi, tetapi cerminan prinsip Islam bahwa masyarakat dan negara seharusnya mendukung pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Berbeda dengan kapitalisme yang menyerahkan seluruh beban biaya hidup kepada individu, Islam mengatur agar ekonomi berjalan secara adil dan kebutuhan pokok terpenuhi tanpa tekanan berlebihan.
Menata Ulang Cara Pandang
Generasi muda tidak salah ketika mereka merasa takut menikah. Mereka hidup dalam sistem yang membuat pernikahan tampak seperti risiko besar. Menyalahkan mereka hanya mengabaikan akar persoalan yang sebenarnya:
ekonomi kapitalistik yang menciptakan kesenjangan dan ketidakpastian. Islam menawarkan alternatif yang lebih manusiawi dan menenteramkan.
Dengan kembali pada nilai-nilai Islam, pernikahan dapat dipandang sebagai perjalanan ibadah yang mendatangkan sakinah, bukan sebagai proyek besar yang menakutkan.[]
Oleh: Alfi Hayunda
(Aktivitas Muslimah)