Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Generasi Muda Takut Menikah: Potret Luka Ekonomi Kapitalisme

Jumat, 12 Desember 2025 | 15:38 WIB Last Updated 2025-12-12T08:38:39Z

TintaSiyasi.id -- Setiap generasi menghadapi tantangan yang berbeda pada masanya, sehingga membentuk cara pandang yang tidak sama termasuk dalam memaknai pernikahan. Pada masa lalu, pernikahan dianggap sebagai tanda kedewasaan yang perlu dicapai. Mereka yang memasuki usia 30-an dan belum menikah dipandang terlambat, terutama pada perempuan dan kerap mendapat stigma negatif di masyarakat.

Namun, pandangan tersebut kini bergeser. Fenomena yang ramai dibahas di media sosial menunjukkan bahwa banyak generasi muda lebih mengutamakan keamanan finansial dibandingkan keharusan untuk segera menikah. Stabilitas ekonomi menjadi prioritas, sementara keinginan membangun keluarga ditempatkan di posisi kedua. (www.kompas.com, 27/12/2025)

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pandangan generasi muda terhadap pernikahan mengalami pergeseran besar. Jika dahulu pernikahan dipandang sebagai tonggak kedewasaan yang patut diraih pada usia tertentu, kini bagi banyak anak muda pernikahan justru menjadi keputusan yang dianggap penuh risiko. Fenomena ini tampak jelas dalam berbagai diskusi di media sosial, ketika narasi “marriage is scary” menjadi umum dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. 

Perubahan ini tentu tidak muncul tanpa sebab. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah kondisi ekonomi yang kian menekan generasi muda. Mereka hidup dalam realitas yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Biaya hidup yang tinggi, upah yang tidak sebanding, dan peluang dan persaingan kerja yang semakin ketat. Di tengah keadaan tersebut, pernikahan sering kali dipandang sebagai beban tambahan yang harus ditunda hingga situasi ekonomi membaik atau mendapatkan jaminan pekerjaan.

Banyak anak muda saat ini yang meyakini bahwa kestabilan finansial lebih penting dari pada memenuhi tuntutan agama untuk segera menikah agar menghindarkan diri dari yang dilarang. Dalam kondisi seperti itu, pernikahan dianggap sebagai tanggung jawab besar yang membutuhkan persiapan ekstra, baik secara mental maupun material. Kecemasan ini semakin diperkuat oleh budaya digital. Media sosial kerap memperlihatkan kisah sulitnya berumah tangga tanpa kesiapan ekonomi. Narasi-narasi tersebut, meski lahir dari pengalaman nyata, membentuk persepsi bahwa pernikahan identik dengan masalah dan kesulitan finansial. Belum lagi masalah rumahtangga lainnya hingga mengakibatkan perceraian. Walhasil, banyak anak muda lebih memilih untuk fokus pada karier dan stabilitas pribadi terlebih dahulu.

Jika dicermati, ketakutan generasi muda terhadap pernikahan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita saat ini di bawah naungan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menghadapkan kita pada biaya hidup tinggi, kesenjangan ekonomi, dan ketidakpastian pekerjaan. Anak muda tumbuh di tengah realitas bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan sendiri tanpa jaminan kesejahteraan dari negara.
Negara yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan rakyat, justru menjadi pihak yang mempersulit kehidupan masyarakat. Bahkan cenderung bertindak sebagai regulator yang pasif. Layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan hunian harus kita bayar dengan biaya tinggi. Ini membuat beban ekonomi sepenuhnya dipikul oleh individu, sehingga pernikahan dianggap sebagai tambahan tanggung jawab yang berat.

Di sisi lain, pendidikan dan media yang didominasi nilai-nilai sekuler dan liberal menumbuhkan gaya hidup materialistik. Ukuran kebahagiaan direduksi menjadi pencapaian materi, konsumsi gaya hidup, dan pencitraan sosial. Dalam pola pikir seperti ini juga, pernikahan kerap dipersepsikan sebagai penghalang, bukan sebagai ruang ibadah atau langkah melanjutkan keturunan.

Fenomena ketakutan menikah di kalangan generasi muda tidak bisa hanya disikapi sebagai masalah individu. Hal ini merupakan masalah struktural yang perlu diselesaikan melalui perubahan sistemik. Di sinilah pentingnya melihat kembali bagaimana sistem ekonomi dan sosial dapat mendukung institusi keluarga.

Pertama, negara harus hadir secara nyata dalam menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Dalam perspektif ekonomi Islam, negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja, mengatur kepemilikan umum demi kesejahteraan bersama, serta memastikan akses kebutuhan pokok yang terjangkau. Ketika beban hidup tidak sepenuhnya ditanggung individu, kecemasan finansial akan jauh berkurang.

Kedua, kekayaan umum seperti energi, sumber daya alam, dan layanan publik harus dikelola oleh negara, bukan oleh swasta atau asing. Ketika hasilnya dikembalikan kepada rakyat, biaya hidup dapat ditekan, dan masyarakat dapat menikmati distribusi kesejahteraan yang lebih merata.

Ketiga, pendidikan harus dibangun di atas akidah yang benar. Kurikulum perlu dirancang untuk membentuk generasi berkarakter, memiliki visi hidup yang jelas, dan tidak mudah terjebak dalam gaya hidup hedonis. Generasi yang memiliki akidah yang kuat tidak akan memandang pernikahan sebagai penghalang, tetapi sebagai ibadah kepada Allah SWT dan bagian dari peran penting dalam membangun peradaban.

Keempat, institusi keluarga harus diperkuat. Budaya yang mendukung pernikahan sebagai jalan ibadah, penjagaan kehormatan, dan kelanjutan generasi perlu ditumbuhkan kembali. Keluarga yang kuat adalah fondasi masyarakat yang sehat dan produktif.

Ketakutan generasi muda terhadap pernikahan bukan sekadar persoalan pribadi atau pilihan gaya hidup. Ini adalah cermin dari luka struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalisme—sistem yang memindahkan seluruh beban hidup ke pundak individu dan menumbuhkan gaya hidup materialistik.

Sudah saatnya kita membangun kembali cara pandang yang sehat terhadap pernikahan, sekaligus menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang mendukungnya. Ketika negara hadir, pendidikan dibenahi, dan nilai-nilai keluarga diperkuat, pernikahan tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan.

Solusi tersebut tidak lain hanyalah dengan menerapkan aturan hidup yang berasal dari Islam. Islam menawarkan solusi komprehensif—mulai dari ekonomi, pendidikan, masyarakat, hingga keluarga dan dapat melahirkan lingkungan sosial yang sehat bagi pernikahan melalui bingkai Khilafah Islamiyah.

Dengan penerapan nilai-nilai Islam secara menyeluruh, pernikahan bukan lagi terlihat sebagai beban yang menakutkan, tetapi sebagai ibadah yang menenteramkan serta pilar utama bagi lahirnya generasi terbaik.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update