TintaSiyasi.id -- Di era digital saat ini, penggunaan internet dan media sosial terus meningkat pesat di Indonesia. Pada tahun 2025, jumlah pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 229,4 juta orang dimana penetrasi digital terjadi hampir merata di seluruh kelompok usia, termasuk generasi muda seperti Gen Z (jakartabriefing.com, 11-08-2025). Gen Z sendiri dikenal sebagai generasi yang tumbuh bersama teknologi digital sejak lahir, sehingga media sosial bukan hanya alat komunikasi tetapi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Meski era digital membawa kemudahan akses informasi, kritik terhadap pengaruh media sosial terhadap Gen Z juga semakin nyata. Banyak penelitian menunjukkan tekanan sosial yang dirasakan generasi ini di ruang digital termasuk perasaan cemas, takut ketinggalan (FOMO), dan ketidakpuasan terhadap citra diri akibat perbandingan sosial yang terus terjadi di media sosial (news.detik.com, 21-04-2025). Karena media sosial mendominasi ruang keseharian mereka, sebagian orang melihat Gen Z sebagai generasi yang rentan terhadap dampak buruk sekaligus mengalami tekanan emosional yang kompleks akibat interaksi digital tersebut.
Namun, di lain sisi, Gen Z juga dipandang memiliki potensi kritik dan kapasitas aktivisme yang besar. Mereka mampu memobilisasi opini publik, berbagi pengetahuan, serta mengadvokasi isu-isu sosial melalui platform digital. Aktivisme digital yang bersifat glocal (global dan lokal) memberi ruang bagi mereka untuk menyuarakan perubahan sosial, kebijakan publik, dan keadila yang dimana sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa dukungan teknologi digital. Ini menunjukkan bahwa Gen Z bukan sekadar generasi lemah, tetapi juga generasi yang mampu menjadi agen perubahan.
Meski demikian, ruang digital tidak pernah netral. Ruang ini didominasi oleh nilai-nilai sekuler kapitalistik yang sering menekankan konsumsi, standar kecantikan, popularitas, dan profit. Nilai-nilai ini sering kali menjadi narasi dominan yang dibentuk oleh algoritma platform yang memprioritaskan konten yang menarik, bukan konten yang membangun karakter atau moral. Akibatnya, Gen Z tumbuh dalam lingkungan digital yang lebih sering mendorong konsumtif, pragmatis, dan berorientasi pada hasil yang kemudian membentuk perilaku digital mereka sebagai pencari validasi melalui jumlah likes, shares, dan followers.
Positifnya, media digital masih membuka ruang besar bagi Gen Z untuk belajar, berekspresi, serta mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari berbagai sumber dengan cepat. Mereka dapat mengakses materi edukatif, terlibat dalam diskusi lintas budaya, dan berpartisipasi dalam kampanye sosial yang membawa dampak nyata. Keterbukaan informasi memberi peluang bagi mereka untuk memperluas wawasan jauh lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, dampak negatif seperti tekanan mental, perbandingan sosial, serta kecenderungan mempertanyakan nilai-nilai tradisional termasuk agama juga menjadi tantangan signifikan yang harus dihadapi.
Salah satu kritik penting adalah bahwa pergerakan Gen Z di ruang digital cenderung pragmatis, artinya mereka tidak sekadar mengekspresikan aspirasi, tetapi bergerak mencari validasi sosial di masyarakat digital. Karakteristik digital native ini menjadikan tindakan mereka sering dipengaruhi oleh tren dan respon cepat terhadap stimulus digital, bukan oleh prinsip atau nilai yang kokoh. Inilah yang kadang membuat aktivisme mereka tampak kurang mendalam secara ideologis dan lebih pada respons terhadap isu yang viral.
Menyelamatkan generasi dari hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik menjadi sangat penting, terutama agar Gen Z tidak hanya menjadi produk konsumsi digital melainkan individu yang berpikir secara mendalam dan berbasis nilai. Paradigma berpikir sekuler harus digeser dengan paradigma berpikir Islam yang komprehensif mengutamakan nilai moral, tujuan hidup yang jelas, dan prinsip etik berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Paradigma seperti ini membantu mereka untuk memilah mana yang hanya tren sementara dan mana yang benar-benar bermanfaat secara jangka panjang.
Pergerakan Gen Z perlu diarahkan untuk menghasilkan solusi sistemis dan ideologis berdasarkan nilai-nilai Islam. Aktivisme bukan hanya soal viral atau trending, tetapi tentang bagaimana perubahan sosial yang dicapai berakar pada prinsip yang kokoh, bukan sekadar opini sementara. Aktivisme Islam yang sahih menuntut kesadaran akan maqasid syariah tujuan syariat yang menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sehingga pemikiran dan tindakan mereka mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai moral dan kebaikan universal.
Upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh Gen Z saja. Diperlukan sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara untuk membentuk lingkungan yang sehat secara digital dan moral. Keluarga berperan dalam mendidik sejak dini tentang penggunaan teknologi bijak dan memberi fondasi nilai agama, masyarakat memberikan ruang pembelajaran sosial yang mendukung pertumbuhan karakter sedangkan negara menyediakan kebijakan dan regulasi yang melindungi generasi dari konten destruktif dan menumbuhkan literasi digital yang beretika. Dengan kolaborasi ini, generasi Gen Z bisa menjadi pelaku perubahan yang kuat, berakar pada nilai Islam dan siap menjawab tantangan era digital secara sahih dan beradab. []
Oleh: Puspita Dewi R.
Aktivis Muslimah