Tintasiyasi.id.com -- Era digital hari ini bukan sekadar ruang tambahan, tetapi ruang hidup yang membentuk cara berpikir, merasakan, hingga menentukan identitas manusia modern.
Dengan jumlah pengguna internet Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa, dunia digital telah menjadi medan interaksi utama, khususnya bagi Gen Z, generasi yang lahir langsung di tengah arus teknologi.
Gen Z sering dilekatkan pada stigma, rapuh, mudah cemas, dan serba membutuhkan validasi. Namun, di sisi lain, mereka adalah generasi yang paling kritis, cepat belajar, kreatif, dan mampu menginisiasi aktivisme sosial hanya dengan satu unggahan.
Paradoks inilah yang menjadikan mereka generasi paling potensial sekaligus paling rentan.
Ruang Digital Tidak Pernah Netral
Banyak yang merasa bahwa ruang digital adalah ruang bebas nilai. Padahal, sebagaimana ditegaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa setiap ruang yang membentuk opini dan perilaku manusia pasti didominasi oleh ideologi yang berkuasa.
Dalam hal ini, ruang digital global dibangun oleh nilai sekuler-kapitalistik yang mengagungkan kebebasan tanpa batas dan menjadikan manusia serta datanya sebagai komoditas.
Nilai sekuler memisahkan agama dari kehidupan publik. Sementara kapitalisme mendorong budaya konsumtif, kompetisi citra, dan eksploitasi atensi. Hasilnya, Gen Z menghadapi arus besar yang membentuk pola pikir, problem mental dan kecemasan sosial, nilai inklusif-progresif yang sering berbenturan dengan syariat, kecenderungan merelatifkan kebenaran serta munculnya moralitas baru yang terputus dari generasi sebelumnya.
Syaikh Taqiyuddin menegaskan bahwa opini publik lahir dari persepsi yang dibentuk oleh pemikiran dasar (qaidah fikriyah). Jika pemikiran dasar generasi ini sekuler, maka opini dan perilaku mereka pun akan sekuler, meski lahir dari keluarga Muslim.
Karena itu, masalah utama Gen Z bukan sekadar gadget atau media sosial, tetapi paradigma hidup yang membungkus ruang digital itu sendiri.
Aktivisme Gen Z: Peluang Besar, Tantangan Besar
Meski terpapar hegemoni sekuler, Gen Z menyimpan kekuatan luar biasa. Akses pengetahuan yang luas, kemampuan adaptasi tinggi, serta keberanian menyuarakan isu global menjadikan mereka pionir glocal activism, gerakan yang terinspirasi global namun dieksekusi di ruang lokal.
Mereka bergerak cepat, responsif, dan kreatif. Isu Palestina, lingkungan, HAM, kesehatan mental, semua bisa dibahas dan diperjuangkan melalui konten singkat yang berdampak luas.
Namun ada sisi lain yang perlu diwaspadai bahwa aktivisme mereka cenderung pragmatis, diarahkan oleh algoritma, dan sering berorientasi viral, bukan solusi. Tanpa fondasi ideologis, aktivisme ini seperti gelombang besar, tetapi tidak berakar.
Menurut Syaikh An-Nabhani, perubahan hakiki tidak cukup dengan gerakan emosional atau spontan, tetapi harus bertumpu pada pemikiran ideologis yang menghancurkan pemikiran rusak dan menggantinya dengan pemikiran Islam. Jika tidak, gerakan hanya akan menjadi fenomena musiman.
Pentingnya Menyelamatkan Cara Berpikir Gen Z
Karena akar persoalannya ada pada paradigma sekuler-kapitalistik, maka penyelamatan Gen Z harus dimulai dari perubahan cara berpikir. Bukan dengan sekadar edukasi digital, tapi dengan menanamkan kembali kerangka berpikir Islam yang menjadikan Allah sebagai pusat orientasi.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan bahwa ideologi adalah fondasi perubahan masyarakat. Sebuah generasi hanya akan bangkit jika memiliki penilaian benar terhadap realitas,
pemikiran solusi yang berasal dari akidah, serta
metode perubahan yang sesuai syariat.
Tanpa ini, Gen Z akan terus hanyut oleh banjir wacana digital yang menormalisasi nilai asing. Dengan paradigma Islam, Gen Z tidak lagi menjadi korban algoritma, tetapi subjek perubahan yang membawa nilai-nilai Qur’ani ke ruang digital.
Potensi Gen Z harus diarahkan pada perjuangan yang bersifat sistemis. Aktivisme yang hanya menuntut perubahan moral individu tanpa menyentuh akar persoalan tidak akan menghasilkan transformasi.
Syaikh Taqiyuddin menekankan bahwa masalah masyarakat tidak akan selesai tanpa perubahan sistem yang mengaturnya. Artinya
kerusakan moral, kecanduan digital, problem mental, hingga krisis identitas Gen Z, semua memiliki akar yang sama, yaitu sistem sekuler-kapitalistik yang menjadi payung regulasi, pendidikan, media, dan budaya.
Karena itu, arah aktivisme Gen Z perlu dikembalikan pada perjuangan ideologis, yaitu memperjuangkan syariat sebagai solusi kehidupan, memperbaiki opini publik, serta mendorong lahirnya sistem yang berlandaskan Islam.
Perubahan generasi tidak bisa berjalan individual. Islam mengajarkan bahwa pembinaan manusia membutuhkan tiga pilar,
Pertama, keluarga. Pondasi spiritual, adab digital, dan keteladanan. Keluarga harus menjadi ruang yang memperkuat akidah, bukan sekadar pengawasan teknis gadget.
Kedua, masyarakat. Menjaga norma, menguatkan budaya Islam, serta menjadi lingkungan yang mendorong interaksi sehat dan produktif.
Ketiga, negara. Dalam pandangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, negara memiliki fungsi strategis untuk mencetak generasi berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan, kebijakan media, ekonomi, hingga politik luar negeri.
Tanpa negara yang menegakkan syariat secara menyeluruh, generasi akan selalu terpapar nilai asing tanpa pelindung.
Era digital memberikan peluang besar tetapi juga ancaman serius. Gen Z adalah generasi yang kritis dan berdaya, namun jika berada di tengah pusaran hegemoni sekuler-kapitalistik, maka justru bisa mengikis identitas Muslim mereka.
Maka tugas kita bukan sekadar mengatur penggunaan teknologi, tetapi mengembalikan paradigma hidup mereka kepada Islam.sebagaimana ditekankan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bahwa perubahan sejati lahir dari pemikiran ideologis yang kokoh dan sistem yang menegakkannya.
Dengan sinergi keluarga, masyarakat, dan negara yang berlandaskan Islam, Gen Z dapat menjadi kekuatan besar yang bukan hanya mewarnai ruang digital, tetapi membangun peradaban.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)