Tintasiyasi.id.com -- Indonesia memperkuat komitmennya dalam melindungi anak-anak dan kelompok rentan di dunia maya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 ini menjadi dasar hukum kuat bagi negara untuk menghadirkan ruang digital yang aman, sehat, dan berkeadilan (komdigi.go.id, 25/05/2025)
Pemerintah menghadirkan PP Tunas ini sebagai upaya memperkuat perlindungan anak di ruang digital. Langkah ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran publik atas derasnya paparan negatif yang menimpa generasi muda.
Namun pertanyaannya: seberapa efektif regulasi ini dalam menjawab masalah yang sebenarnya jauh lebih dalam daripada sekadar akses digital?
Dalam ketentuan PP TUNAS, anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman seperti situs edukasi, usia 13-15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, usia 16-17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua, sementara 18 tahun ke atas dapat mengakses semua platform secara independen.
Namun, PP ini tidak menyebutkan secara spesifik platform mana yang tergolong rendah, sedang, atau tinggi. Platform seperti X, Instagram, atau YouTube diminta melakukan evaluasi mandiri dan melaporkan hasilnya ke Komdigi (cnbcindonesia.com, 22/10/2025)
Dua fakta utama terus mencuat yaitu terkait paparan konten berbahaya yang meningkat tajam hingga banyak anak dan remaja terpapar pornografi, cyberbullying, kekerasan verbal, hingga gaya hidup liberal yang mudah mereka akses lewat media sosial.
Fakta berikutnya adalah kesehatan mental generasi muda yang rapuh. Semakin sering diberitakan anak-anak dan remaja yang mengalami krisis mental hingga bunuh diri, terutama ketika menghadapi tekanan sosial, perundungan daring, atau kegagalan hidup yang kemudian diperparah oleh dinamika media sosial.
Fenomena ini membuat publik menaruh harapan pada regulasi yang mampu meredam risiko-risiko digital tersebut. Namun, apakah pembatasan teknis saja cukup?
Ketika dilihat lebih mendalam, sejatinya media sosial bukan penyebab utama kerusakan generasi. Media sosial hanya memantulkan dan memperbesar sisi-sisi rapuh yang sudah terbentuk sebelumnya.
Anak yang lemah mental, kosong secara nilai, atau tidak memiliki pendampingan yang kuat akan lebih mudah terjerumus, karena emosi mereka diperkuat oleh pola konsumsi digital yang serba cepat dan impulsif.
Krisis yang menimpa anak bukan semata karena teknologi, tetapi karena lingkungan sosial yang dibangun oleh nilai-nilai sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan serta kapitalisme yang menjadikan pasar sebagai pusat orientasi hidup.
Keduanya melahirkan budaya hedonistik, nilai liberal yang serba bebas, individualisme, rendahnya pengawasan moral,dan lemahnya pembinaan karakter di keluarga maupun sekolah. Dengan kata lain, kerusakan itu muncul dari sistem nilai yang membentuk masyarakat, bukan dari media sosial itu sendiri.
PP Tunas memang penting, tetapi ia lebih fokus pada sisi teknis, seperti filter, pelaporan, dan pembatasan akses. Masalahnya ia tidak menyentuh pembentukan karakter, tidak menjawab krisis nilai, dan tidak menawarkan perubahan lingkungan sosial yang lebih sehat bagi anak. Regulasi digital tanpa fondasi nilai hanya akan menjadi pagar tipis yang mudah ditembus.
Perilaku manusia dibentuk melalui pemahaman bukan melalui platform. Sosial media hanyalah hasil perkembangan teknologi. Ia bersifat netral, tetapi penggunaannya ditentukan oleh nilai dan ideologi yang mengatur masyarakat. Jika generasi tidak memiliki pemahaman dan akhlak yang kuat, maka teknologi apa pun akan menjadi ruang risiko.
Perlindungan digital tidak boleh berdiri sendiri, ia harus disokong oleh sistem pendidikan yang menanamkan nilai keimanan, akhlak, dan pola pikir sehat. Dengannya anak mampu memilah informasi, mengendalikan dorongan, memiliki daya tahan mental, dan menempatkan diri secara bijak dalam dunia maya.
Butuh pula penerapan nilai-nilai dalam tata pendidikan, sosial, dan hukum negara. Maka budaya pergaulan lebih terjaga, konten destruktif tidak tumbuh subur, keluarga dibina dengan nilai yang kuat, dan masyarakat memiliki standar moral yang jelas.
Sistem nilai yang konsisten inilah yang menciptakan lingkungan ideal untuk membentuk generasi tangguh, berakhlak baik, dan tahan terhadap guncangan digital.
Perlindungan anak bukan hanya tugas pemerintah saja. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, hingga generasi muda sendiri perlu memahami nilai-nilai Islam, menerapkan prinsip hidup yang sehat dan beradab, serta bersama-sama menjaga ruang sosial agar tetap bersih dan mendukung tumbuh kembang generasi.
PP Tunas adalah langkah baik, namun belum menyentuh akar persoalan. Perlindungan yang efektif hanya bisa terwujud jika regulasi digital dibangun di atas fondasi nilai yang benar, pendidikan moral yang kuat, dan lingkungan sosial yang mendukung terbentuknya karakter anak yang tangguh. Wallahu’alam bishshawwab.[]
Oleh: Lia Julianti
(Aktivis Dakwah Tamansari Bogor)