Renungan Panjang untuk Jiwa yang Mencari Allah
TintaSiyasi.id -- Dalam kitab al-Hikam, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengucapkan sebuah renungan halus yang tidak ditujukan untuk telinga biasa, tetapi untuk hati yang sedang mengetuk pintu Allah:
"Ada cahaya yang diizinkan hanya sampai, dan ada cahaya yang diizinkan masuk."
Kalimat yang singkat, tetapi mengandung kedalaman makna yang dapat mengubah cara kita memahami iman, ilmu, ibadah, dan perjalanan ruhani.
Untuk memahaminya, kita perlu menyelami apa yang dimaksud dengan "cahaya (nūr)" dalam tradisi tasawuf.
Apa Itu Cahaya dalam Perspektif Tasawuf?
Cahaya yang dimaksud Ibnu ‘Athaillah bukan cahaya fisik, tetapi cahaya hidayah, ilmu, iman, kedekatan, dan ketersingkapan (kasyf) ruhani.
Allah berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah Cahaya langit dan bumi.”
Maka cahaya dalam pengertian ini adalah:
• petunjuk dari Allah,
• kesadaran hati,
• rasa manis dalam ibadah,
• pemahaman ruhani yang melampaui akal.
Tetapi cahaya ini tidak selalu serta-merta menetap dalam hati seseorang. Ada tingkatan. Ada adab. Ada izin.
1. Cahaya yang Sampai tetapi Tidak Masuk (نور يصل ولا يدخل)
Ini adalah cahaya yang sampai pada akal, lisan, dan pengetahuan seseorang, tetapi belum masuk ke dalam hati.
Ciri-cirinya:
• Ilmu bertambah, tetapi amal tidak bertambah.
• Hafalan semakin banyak, tetapi rasa takut kepada Allah tidak meningkat.
• Pengetahuan agama luas, tetapi sifat sombong, marah, atau iri masih menguasai diri.
• Seseorang tahu bahwa shalat malam itu mulia, tetapi ia belum mampu bangun.
• Ia memahami makna akhirat, tetapi dunia masih menjadi tujuan utamanya.
Cahaya ini seperti embun yang jatuh pada kaca yang penuh debu—ia menyentuh, tetapi tidak menyerap.
Itulah sebabnya para ulama berkata:
“Ilmu yang tidak menembus hati hanyalah informasi.”
Dan Ibnu Qayyim menyebut tipe ini sebagai:
النور الذي لا يتجاوز الحفظ واللسان
Cahaya yang berhenti pada hafalan dan ucapan.
Ini bukan kebinasaan—tetapi peringatan bahwa pintu hati belum dibuka.
2. Cahaya yang Masuk dan Menetap (نور يدخل ويستقر)
Ini adalah cahaya yang diizinkan Allah memasuki hati, sehingga menjadi bagian dari diri seseorang.
Ciri-cirinya sangat berbeda:
• Ilmu menghadirkan rasa takut kepada Allah, bukan kebanggaan.
• Ibadah bukan kewajiban kaku, tetapi kebutuhan ruhani.
• Zikir bukan sekadar bacaan, tetapi kenikmatan batin.
• Akhlak berubah menjadi lembut, penyabar, rendah hati.
• Dunia bukan lagi tujuan, tetapi alat untuk mendekat kepada Allah.
Cahaya jenis ini mengubah seseorang.
Bukan hanya caranya belajar dan berbicara, tetapi caranya memandang dunia, manusia, waktu, dan Allah.
Imam Hasan al-Bashri berkata:
“Ilmu yang benar adalah yang mengubah wajahmu, perkataanmu, dan amalmu.”
Cahaya ini adalah hasil dari izin Ilahi—bukan sekadar hasil usaha manusia.
Mengapa Cahaya Tidak Selalu Diizinkan Masuk?
Karena hati bukan ruang kosong.
Ada tirai-tirai yang menghalangi cahaya:
Penghalang Cahaya Bentuknya
حُبُّ الدُّنْيَا Kecintaan berlebihan pada dunia
العُجْب Mengagumi diri sendiri
الرِّياء Mencari pujian manusia
الغَفْلَة Lalai dari Allah
الذُّنُوب Dosa yang belum ditaubati
الكِبْر Kesombongan
Selama hati penuh dengan selain Allah, cahaya tidak akan menemukan tempat untuk berdiam.
Syaikh Muhammad al-Ghazali mengatakan:
“Hati itu seperti rumah. Cahaya tidak bisa tinggal bersama kegelapan.”
Bagaimana Agar Cahaya Itu Masuk?
para ulama tasawuf memberi jalan yang jelas:
1. Taubat yang sungguh-sungguh (التوبة النصوح).
Hati tidak akan menerima cahaya selama dosa menjadi tamunya.
2. Ikhlas (الإخلاص).
Cahaya Allah tidak menetap pada hati yang mencari perhatian manusia.
3. Zikir konsisten (الذكر الدائم).
Zikir adalah ketukan paling halus pada pintu hati.
4. Rendah hati (التواضع).
Cahaya tidak turun kepada hati yang tinggi dan sombong.
5. Bersahabat dengan orang saleh.
Cahaya menular seperti kebaikan.
6. Muroqobah (merasa diawasi Allah).
Ia membuat hati hidup.
Pelajaran Besar dari Hikmah Ini
Ilmu bukan tujuan — tetapi jalan.
Ibadah bukan rutinitas — tetapi pintu perjumpaan.
Dan hidayah bukan usaha semata — tetapi anugerah.
Maka kita berdoa bukan hanya:
“Ya Allah, tambahkan ilmu untukku.”
Tetapi juga:
“Ya Allah, masukkan cahaya ilmu ke dalam hati kami dan jadikan ia hidayah, bukan hanya hafalan.”
Doa Penutup
اللَّهُمَّ اجْعَلْ نُورَ عِلْمِنَا نُورًا يَدْخُلُ قُلُوبَنَا،
وَلَا تَجْعَلْهُ نُورًا يَبْلُغُ الْعَقْلَ ثُمَّ يَضِلُّ عَنِ الْقَلْبِ،
اللَّهُمَّ نَقِّنَا مِنْ أَوْسَاخِ النَّفْسِ وَالْغَفْلَةِ،
وَافْتَحْ لَنَا أَبْوَابَ قُرْبِكَ وَمَعْرِفَتِكَ،
وَاجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِ النُّورِ وَالْهُدَى،
بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
“Ya Allah, jadikanlah cahaya ilmu kami sebagai cahaya yang masuk ke dalam hati kami.
Dan jangan Engkau jadikan cahaya itu hanya sampai pada akal, lalu tersesat dari hati.
Ya Allah, sucikanlah diri kami dari kotoran nafsu dan kelalaian.
Bukakanlah bagi kami pintu kedekatan dengan-Mu dan makrifat kepada-Mu.
Dan jadikanlah kami termasuk golongan ahli cahaya dan petunjuk,
Dengan rahmat-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.”
Penjelasan Makna dan Hikmahnya
1. “Jadikan Cahaya Ilmu Kami Masuk ke Dalam Hati”
Ilmu bukan sekadar informasi atau hafalan.
Ilmu yang sejati adalah yang menghidupkan hati, menggerakkan amal, memperbaiki akhlak, dan menuntun menuju Allah.
Ada ilmu yang tinggal dalam buku.
Ada ilmu yang berhenti di kepala.
Dan ada ilmu yang turun ke hati lalu menjadi nur (cahaya) yang menuntun hidup.
Imam Malik berkata:
"Ilmu bukanlah yang banyak dibicarakan, tetapi yang memberi manfaat."
2. “Jangan Jadikan Ilmu Itu Hanya Mencapai Akal”
Ini adalah permohonan agar kita selamat dari penyakit ulama tanpa amal dan ahli ilmu yang tidak mendapat hidayah.
Ada orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak tersentuh oleh kebenaran itu.
Lisannya berbicara tentang taqwa, tetapi hatinya keras.
Akalnya paham syariat, tetapi jiwanya jauh dari Sang Pencipta.
Ilmu yang tidak turun ke hati hanya menjadi:
• perdebatan,
• kesombongan,
• kebanggaan intelektual,
• dan modal membuktikan diri, bukan membuktikan ketundukan kepada Allah.
Karena itu doa ini memohon:
“Jangan hanya sampai akal—tapi turunkan ke hati.”
3. “Sucikan Kami dari Kotoran Nafsu dan Kelalaian”
Cahaya ilmu tidak akan tinggal di hati yang kotor, seperti cahaya yang tidak tampak di kaca yang gelap oleh debu.
Nafsu, dosa, riya’, hasad, ujub, cinta dunia, dan lalai adalah tabir yang menutupi cahaya hidayah.
Ibnu Athaillah berkata:
“Bagaimana cahaya akan masuk ke hati yang penuh dunia?”
Maka pembersihan diri (tazkiyatun-nafs) bukan pelengkap, tetapi syarat turunnya cahaya Ilahi.
4. “Bukakan Pintu Kedekatan dan Ma’rifat”
Kedekatan dengan Allah bukan hadiah untuk orang yang sekadar berpengetahuan, tetapi bagi mereka yang:
• beramal,
• bermujahadah,
• bersabar,
• menguliti ego,
• menundukkan keinginan diri,
• dan berserah diri kepada-Nya.
Ma’rifat bukan teori, tetapi keadaan hati.
Ia bukan dibangun dengan diskusi, tetapi dengan zikir, tadabbur, muhasabah, dan ibadah yang ikhlas.
5. “Jadikan Kami Ahli Cahaya dan Petunjuk”
Ini adalah puncak permohonan:
bukan hanya ingin tahu, tetapi ingin menjadi bagian dari mereka yang membawa cahaya itu.
Orang yang mendapatkan cahaya Allah akan:
• lembut perilakunya,
• terang akhlaknya,
• bersih hatinya,
• tenang jiwanya,
• dan membawa manfaat bagi manusia.
Allah berfirman:
﴿ فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ﴾
“Siapa yang Allah kehendaki mendapat petunjuk, maka Allah lapangkan dadanya.”
(QS. Al-An‘am: 125)
Penutup Renungan
Doa ini mengajarkan bahwa:
• Ilmu bukan tujuan — tetapi jalan menuju Allah.
• Hati bukan hanya tempat merasakan — tetapi wadah cahaya Allah.
• Ibadah bukan sekadar kewajiban — tetapi sarana penyucian diri.
Semoga Allah menjadikan ilmu kita penerang, bukan sekadar pengetahuan.
Semoga hati kita lembut, bukan keras.
Dan semoga langkah kita senantiasa menuju-Nya — sampai saat kita diperkenankan pulang dalam keadaan Allah ridha.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual dan Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)