Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Bobroknya Pelayanan Kesehatan, Efek Penerapan Sistem Kapitalisme dalam Kehidupan

Senin, 01 Desember 2025 | 04:45 WIB Last Updated 2025-11-30T21:45:28Z

TintaSiyasi.id -- Kasus penolakan pasien oleh rumah sakit kembali menjadi sorotan publik. Meski aturan tegas menyatakan bahwa setiap fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan medis darurat tanpa meminta jaminan apapun. Namun miris, realitas di lapangan menunjukkan wajah berbeda. Dari pasien yang dipingpong antarfasilitas, ditolak karena keterbatasan administrasi, hingga yang kehilangan nyawa karena terlambat mendapatkan penanganan. Semuanya menjadi potret buram pelayanan kesehatan yang semakin jauh dari kata manusiawi. 
 
Seperti kejadian di daerah Jayapura, Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya meninggal dunia setelah dibawa ke empat rumah sakit di Jayapura tanpa mendapat penanganan medis yang memadai. (detik.com, 16-11-2025)

Kasus penolakan rumah sakit pada ibu hamil yang berakibat fatal tersebut bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Masalah seperti ini bahkan sudah terjadi bahkan berulang kali. 

Apabila kita telisik, kasus penolakan rumah sakit terhadap pasien tidak lain adalah efek dari bobroknya sistem pelayanan kesehatan yang ada. Banyak rumah sakit yang masih terjebak pada logika administrasi. Pasien yang datang dalam kondisi kritis kerap disodori formulir, diminta uang muka, atau bahkan diarahkan ke rumah sakit lain dengan alasan kamar penuh, dokter tidak ada atau fasilitas tidak memadai. Ironisnya, proses administrasi yang rumit itu berlangsung justru pada saat nyawa seseorang sedang bergantung pada hitungan menit. 

Dari prespektif pelayanan publik, situasi ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan lebih memprioritaskan prosedur dibanding keselamatan manusia. Ketika birokrasi memenangkan pertarungan melawan urgensi medis, yang kalah adalah rakyat. 

Dan faktanya, penolakan pasien paling sering dialami kelompok ekonomi lemah. Ketika kemampuan finansial menjadi penentu apakah seseorang berhak mendapatkan tindakan medis. Maka di sana terlihat jelas bahwa layanan kesehatan masih berjalan dengan logika pasar. Padahal, kesehatan seharusnya hak, bukan komoditas. Ketimpangan ini memperjelas bahwa masalah bukan sekedar tindakan oknum tenaga medis, tetapi merupakan gambaran sistem yang menempatkan kesehatan sebagai layanan berbasis keuntungan, bukan kebutuhan mendasar manusia. 

Inilah gambaran nyata akibat penerapan sistem sekuler kapitalis. Aturan hidup yang menjadikan motif pelayanan kesehatan sebagai motif bisnis materialistik. 

Maka wajar, dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan publik dan kapitalisme yang menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama. Layanan kesehatan tidak lagi dipandang sebagai amanah negara untuk menjaga keselamatan rakyat. Sebaliknya, ia berubah menjadi sektor industri yang beroperasi berdasarkan logika pasar. Rumah sakit, obat-obatan, alat kesehatan, hingga tenaga medis, semua masuk dalam rantai bisnis. Harga ditentukan oleh mekanisme pasar, bukan kebutuhan masyarakat. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan penanggung jawab.

Jika kapitalisme menjadikan pelayanan kesehatan sebagai komoditas bisnis. Maka Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda. Dalam Islam, kesehatan adalah hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, bukan barang dagangan. Sistem Islam memandang nyawa manusia sebagai amanah yang harus dijaga oleh negara tanpa komersialisasi. Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, termasuk pemeliharaan kesehatan, keselamatan jiwa, dan kesejahteraan fisik. Ketika negara tidak menunaikan amanah ini, maka hal tersebut termasuk bentuk kezaliman struktural. Wallahu a'lam. []


Tuti Rahayu
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update