TintaSiyasi.id -- Dalam rentang satu bulan terakhir, berbagai wilayah di Indonesia dilanda bencana bertubi-tubi. Banjir besar merendam ribuan rumah di Sumatra hingga menelan korban jiwa dan memaksa warga mengungsi. Di sejumlah daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, longsor memutus akses antar-desa dan membuat warga terjebak berhari-hari tanpa bantuan. Sementara itu, angin puting beliung menerjang permukiman penduduk di Jawa Timur, menyapu rumah dalam hitungan menit dan membuat ratusan keluarga kehilangan tempat tinggal. Belum selesai duka itu, Gunung Semeru kembali erupsi dan memuntahkan abu vulkanik, memaksa evakuasi warga dari kawasan rawan bencana. Serangkaian kejadian ini bukan hanya menyisakan kerusakan, tetapi juga menunjukkan lambannya respons negara dalam upaya penyelamatan rakyat.
Berbagai bencana kembali mendera negeri ini. Dari banjir yang merendam pemukiman, longsor yang memutus akses warga, hingga puting beliung yang menyapu rumah-rumah dalam hitungan menit. Di banyak daerah, warga masih terjebak dan belum terevakuasi, sementara keluarga mereka hanya bisa menunggu dengan cemas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun BPBD di berbagai wilayah mengakui kesulitan melakukan evakuasi. Cuaca ekstrem, medan berat, dan keterbatasan tim membuat proses penanganan berjalan lambat. Padahal, nyawa manusia sedang dipertaruhkan.
Fenomena ini bukan peristiwa tunggal. Hampir setiap tahunnya kita menyaksikan pola berulang: bencana datang, korban berjatuhan, penanganan kacau, bantuan terlambat, dan negara kembali berdalih soal keterbatasan anggaran atau faktor alam. Seolah-olah rakyat harus menerima takdir pahit bahwa hidup di Indonesia berarti hidup berdampingan dengan bencana dan ketidakpastian nasib.
Padahal, banyak bencana di negeri ini bukan sekadar “musibah alam”, tetapi buah dari tata kelola ruang dan lingkungan yang amburadul. Perambahan hutan terus terjadi atas nama investasi. Daerah aliran sungai rusak akibat tambang dan pembangunan tak terkendali. Pemukiman tumbuh tanpa perencanaan, menabrak aturan daya dukung tanah dan kawasan rawan bencana. Sungai dipersempit, bukit digunduli, rawa ditimbun, dan ruang resapan air diperkosa oleh proyek ekonomi. Maka, ketika hujan turun deras, bencana bukan hanya mungkin terjadi, tetapi pasti terjadi.
Pada level penanganan, lambannya respon adalah bukti nyata bahwa mitigasi bencana masih sangat lemah. Tidak ada sistem komprehensif yang menyentuh individu, masyarakat, hingga negara. Edukasi kebencanaan seringkali bersifat seremonial, dilakukan hanya setelah bencana terjadi. Infrastruktur pencegah bencana tak diprioritaskan. Bahkan, peringatan dini sering tidak sampai ke warga karena minim fasilitas dan buruknya jaringan komunikasi.
Lebih ironis lagi, pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan tampak tidak serius menyiapkan kebijakan preventif maupun kuratif. Regulasi ada, tetapi implementasi lemah. Anggaran mitigasi minim, sementara anggaran untuk proyek mercusuar atau pembangunan berbasis kepentingan korporasi tetap berjalan. Negara terlihat lebih sibuk menjaga iklim investasi daripada menjaga nyawa rakyatnya sendiri.
Padahal dalam pandangan Islam, bencana adalah fenomena yang harus disikapi dengan paradigma yang utuh: ruhiyah sekaligus siyasiyah. Dimensi ruhiyah mengajarkan kita memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah, sekaligus momen muhasabah bahwa ada peringatan dalam setiap kejadian. Namun, Islam tidak berhenti pada sisi spiritual semata. Ada dimensi siyasiyah yang jauh lebih strategis, yakni bagaimana negara mengelola ruang hidup, menjaga ekologi, dan memastikan keselamatan rakyat melalui kebijakan yang benar dan amanah.
Dalam Al-Qur’an, Allah telah memperingatkan bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (TQS. Ar-Rum: 41). Ayat ini menegaskan bahwa perusakan alam bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi kedurhakaan terhadap aturan Allah dan ancaman bagi kemaslahatan manusia. Karena itu, edukasi ruhiyah harus dikuatkan agar masyarakat sadar bahwa menjaga lingkungan adalah kewajiban dan bagian dari keimanan.
Namun edukasi masyarakat tidak akan bermakna tanpa peran negara sebagai pemegang otoritas kebijakan. Dalam Islam, pemimpin bertanggung jawab penuh menjaga rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa keselamatan rakyat bukan urusan sampingan, tetapi amanah besar yang akan dihisab di hadapan Allah. Karena itu dalam sistem Islam, negara wajib mengelola tata ruang secara benar, ilmiah, dan maslahat. Tidak boleh tunduk pada kepentingan pemodal yang merusak lingkungan demi keuntungan jangka pendek.
Selain itu, mitigasi bencana menjadi tugas negara yang tidak bisa ditawar. Negara dalam Islam melakukan mitigasi secara serius, sistematis, dan menyeluruh: mulai dari pemetaan risiko, edukasi preventif, pembangunan infrastruktur tangguh bencana, hingga sistem peringatan dini yang bisa diakses semua warga. Setiap level masyarakat dibimbing agar siap menghadapi kondisi darurat, bukan dibiarkan gagap seperti sistem kapitalistik hari ini.
Saat bencana terjadi, negara Islam tidak akan membiarkan rakyat terkatung-katung menunggu evakuasi. Pemerintah wajib memberikan bantuan secara cepat dan layak. Para penyintas harus dipenuhi kebutuhan pokoknya: makanan, tempat tinggal sementara, pakaian, layanan kesehatan, hingga dukungan psikologis. Negara juga bertanggung jawab memastikan bahwa masyarakat bisa kembali menjalani kehidupan normal pasca bencana, bukan sekadar memberi bantuan sesaat lalu meninggalkan warga “mengurus nasibnya sendiri”.
Inilah beda antara negara yang menjadikan rakyat sebagai amanah dengan negara yang hanya menjadikan rakyat sebagai statistik. Bencana memang bagian dari ketentuan Allah, tetapi kelalaian negara dalam menjaga dan melindungi rakyat bukan takdir. Itu adalah pilihan dan konsekuensi dari sistem yang buruk.
Saatnya umat menyadari bahwa solusi parsial dan respons insidental tidak akan pernah menyelesaikan masalah bencana yang terus berulang. Kita membutuhkan sistem yang berlandaskan aturan Allah, yang memadukan kekuatan ruhiyah dan siyasiyah, serta menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas tertinggi. Karena ketika negara abai, rakyatlah yang terus menjadi korban.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua